Mencermati Potensi Bangkitnya Komunisme dalam RUU HIP

AINUL MIZAN (PEMERHATI SOSIAL POLITIK)

Dalam sidang paripurna DPR tanggal 12 Mei 2020, telah disepakati RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila) sebagai RUU inisiatif DPR. Lebih lanjut RUU HIP akan masuk daftar prolegnas periode 2020 – 2024.

Tentunya RUU HIP ini sangat layak untuk dikritisi. Lebih – lebih menyangkut arah masa depan bangsa dan negara. Terdapat beberapa poin yang disinyalir berpotensi memberi peluang bangkitnya Komunisme di Indonesia. Adapun beberapa poin tersebut adalah berikut ini.

Iklan Pemkot Baubau

Pertama, di bagian konsiderannya tidak mencamtumkan TAP MPRS No 25 Tahun 1966 tentang pelarangan PKI dan ajaran Komunisme – Marxisme dan Leninisme. Justru yang dicantumkan adalah 8 konsideran yang tidak terkait langsung dengan Pancasila.

Kedelapan konsideran tersebut adalah Pasal 20 dan 21 UUD 1945, TAP MPR No 11 Tahun 1998 tentang pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, TAP MPR No 16 Tahun 1998 tentang politik ekonomi, TAP MPR No 5 Tahun 2000 tentang pemantapan persatuan dan kesatuan nasional, TAP MPR No 6 Tahun 2001 tentang etika kehidupan berbangsa, TAP MPR No 7 Tahun 2001 tentang visi Indonesia masa depan, TAP MPR No 8 Tahun 2001 tentang arah dan kebijakan pemberantasan KKN, serta TAP MPR No 9 Tahun 2001 tentang agraria dan pengelolaan SDA.

Padahal disebut ideologi mesti mensyaratkan adanya metode penjagaannya dari unsur lain. Tatkala tidak tercantumnya TAP MPRS No 25 Tahun 1966, artinya sangat rentan masuknya unsur Komunisme di dalam RUU HIP. Hal ini tidak bisa dinafikkan. Tidak bisa juga dikatakan bahwa walau tidak tercantum, Komunisme tidak boleh hidup di Indonesia sudah maklum. Pertanyaannya, siapakah yang menjamin? Nanti ketika ada benih Komunisme muncul susah jadinya untuk menjeratnya dengan UU. Pasalnya, tidak ada deliknya. Jadi runyam.

Kedua, Prinsip dasar haluan Pancasila disebutkan di dalam pasal 3 ayat 1 yaitu: ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan dan keadilan sosial. Anehnya di dalam ayat 2, kelima prinsip dasar tersebut didefinisikan sebagai wujud kepribadian bangsa yakni gotong royong. Tentunya ini penyederhanaan makna, terkesan dipaksakan.

Pada pelaksanaannya gotong royong ini berpotensi dipakai untuk memasung pelaksanaan ajaran agama oleh pemeluknya. Ambil contoh, wacana pelarangan cadar dan celana cingkrang bagi kaum muslim. Dianggap eksklusif dan tidak menunjukkan nilai gotong royong budaya asli Indonesia.

Ketiga, dalam Pasal 5 ayat 1 disebutkan sendi pokok Pancasila adalah keadilan sosial. Jadi kelima prinsip Pancasila tersebut dilebur menjadi keadilan sosial.

Disebut sendi pokok berarti yang menopang tegaknya. Di dalam RUU HIP terdapat upaya sekulerisasi kehidupan. Nilai halal haram tidak menjadi asas dan sendi kehidupan.

Bahkan makna keadilan sosial ini lantas diarahkan pada frame Komunisme. Keadilan sosial dalam frame komunisme adalah sebuah masyarakat tanpa kelas. Semuanya merasakan perlakuan yang sama. Tidak ada lagi ketertindasan kaum lemah oleh para borjuis dan kapitalis. Apakah ini akan mengarah kepada pelemahan peran umat Islam yang mayoritas di negeri ini?

Jika kita menilik di Pasal 5 ayat 2 butir d, keadilan sosial itu meliputi dalam berkebudayaan. Apakah ini tidak berpeluang terjadinya sinkretisme budaya?

Yang terjadi di lapangan saat ini mendukungnya. Di tengah pandemi, TKA China masih saja berdatangan. Bahkan gaji mereka lebih tinggi dari pribumi. Lambat laun penduduk pribumi yang mayoritas harus berkeadilan sosial dengan budaya China yang mulai familiar di dalam negeri.

Keempat, pemerintah melalui RUU HIP ini berusaha untuk memaksakan pemahaman Pancasila kepada warganya. Sedangkan lembaga yang ditugaskan untuk merumuskannya adalah BPIP. Hal ini terlihat dalam Pasal 4, 42, 43 dan 44.

Bahkan pemerintah berusaha untuk mengontrol alam pikiran dan pemahaman masyarakat tentang Pancasila. Lantas, Pancasila yang seperti apa? Tentunya pemerintah melalui BPIP yang punya hak paten Pancasila. Ini mirip gaya demokrasi terpimpin ala Sukarno. Di dalam demokrasi terpimpin itulah Komunisme bisa tumbuh subur. Saat itu pemaknaan Pancasila dengan Nasakom menjadi haluan negara.

Kelima, di Pasal 6 ayat 1 berbunyi:” Ciri pokok pancasila itu trisila yakni: ketuhanan, nasionalisme dan gotong royong”. Di ayat 2 berbunyi: “Trisila dalam ayat 1 terkristalisasi dalam ekasila yakni gotong royong”.

Tentunya ini bisa mengarah kepada kebijakan politik Nasakom (Nasionalis, Agamis dan Komunis). Ketiga kekuatan politik berusaha dirangkul Sukarno demi untuk menopang kekuasaannya. Akan tetapi justru kekuasaannya cepat tumbang karena adanya pembusukan politik. PKI justru melakukan upaya permusuhan terhadap Islam. Mereka berhasil melarang Masyumi menggunakan tangan Sukarno.

Pencabutan BHP Ormas HTI menjadi pembusukan politik tersendiri bagi negara. Karena justru yang timbul di tengah umat Islam adalah pandangan bahwa pemerintahan yang ada itu anti Islam. Bukankah ini bunuh diri politik bagi mereka sendiri? Jadi ketika pemerintahan suatu negeri terpisah dari rakyatnya, bahkan bila cenderung represif, hanya memperpendek usia kekuasaan. Lebih – lebih kekuasaan itu terpisah dari umat Islam.

Beberapa poin tersebut bisa muncul dalam beberapa pasal RUU HIP berawal dari konsiderannya. Penghilangan TAP MPRS No 25 Tahun 1966 dalam konsideran, telah meniscayakannya penyusupan konsepsi Komunisme yang mengatasnamakan Pancasila.

Kesalahan Paradigmatik

Bangkitnya Komunisme memang tidak bisa dipisahkan dari masa orde lama. Hingga pada tataran Komunisme melalui PKI melakukan kudeta di tahun 1948 dan 1965.

Konsepsi ekonomi Marhaenisme yang digagas Sukarno tidak bisa dilepaskan dari doktrin Sosialisme Marxisme. Memang Sukarno tidak mengambil aqidah dialektika materi atau atheisme dalam Marxisme. Pertimbangannya, tidak sesuai dengan bangsa Indonesia yang relijius. Yang diadopsinya adalah konsep Materialisme historis dalam perjuangannya dalam mewujudkan keadilan sosial, tanpa penindasan kaum kapitalis kepada kaum lemah seperti Marhaen. Semua warga adalah marhaen – marhaen tanpa melihat lagi agamanya. Semuanya berjuang untuk mewujudkan keadilan sosial.

Hanya saja yang luput dari Sukarno adalah Komunisme itu ideologi. Mengambilnya harus satu paket dengan konsepsi aqidah dan sistemnya. Walhasil, Presiden Sukarno mau tidak mau harus menerima kenyataan adanya kekuatan politik Komunisme sebagai ideologi dan gerakan. Kebijakan nasakom diambilnya. Dan ini menjadi noktah hitam sejarah pemerintahannya.

Sudah sekitar 75 tahun Indonesia merdeka. Kehidupan berbangsa dan bernegara belum menunjukkan perbaikan di segala bidang. Kemisknan, keterbelakangan dan penjajahan masih mendera. Berbagai formulasi dari ideologi dunia, Komunisme dan Kapitalisme diakui atau tidak telah diterapkan di negeri ini. Nasib negeri ini tidak berubah. Bahkan kecongkakan pemerintahan terhadap Islam dan umatnya, menyebabkan Allah mengirim wabah Corona di negeri ini.

Pertanyaannya, tidakkah saatnya bangsa dan negeri ini mengambil formulasi Ideologi Islam untuk bisa keluar dari krisis dan penjajahan? Ataukah bangsa ini mau jatuh ke dalam lubang yang sama untuk kedua kalinya?

AINUL MIZAN (PEMERHATI SOSIAL POLITIK)
Penulis tinggal di Malang