Suasana Ramadan Sepanjang Tahun, Why Not?

MU’ADZ AL HAFIDZ
(ANALIS POLITIK SEKOLAH PERADABAN)

Ramadan telah pergi meninggalkan kita, walaupun tahun ini sedikit berbeda, seperti yang kita rasakan bersama. Kemeriahan Ramadan dirusak oleh hadirnya pandemi, hingga lahir aturan pelarangan sholat tarwih, ceramah, hingga takbiran. Umat Islam layak kecewa dengan kebijakan tersebut, sebab disaat yang sama, pemerintah justru melonggarkan aktifitas di pasar, mall, terakhir di bandara. Padahal seperti yang kita ketahui, aktifitas ibadah di masjid jauh lebih mudah dikontrol ketimbang aktifitas dipasar atau ditempat-tempat yang lain. Corona,

menampakkan bagaimana rezim begitu ketat kepada aktifitas agama (masjid) namun begitu longgar terhadap aktifitas ekonomi (pasar). Namun, kita tidak fokus bahas problem itu disini.

Iklan Pemkot Baubau

Ramadan datang memberikan kesegaran kepada jiwa yang kering kerontang, sebelas bulan lamanya fokus mengejar dunia, mengamalkan agama sekenanya. Ramadan datang memberikan kesejukan, memenuhi hari dengan amalan wajib, ditambah amalan sunnah. Pribadi yang tak terbiasa sholat lima waktu sebelum Ramadan, maka di bulan Ramadan, jangankan lima waktu yang jumlah total raka’atnya hanya tujuh belas raka’at , sholat sunnah dua puluh rakaat pun sanggupi plus tiga rakaat sholaat witir, belum lagi sholat tahajjud di sepertiga malam. Diluar bulan suci Ramadan, jangankan mendengar ceramah berpuluh menit, sekedar nasehat hitungan menit yang kebetulan mampir di beranda FB, beranda YouTube atau story WA seketika diskip, Namun di bulan Ramadan, sanggup duduk khusyu mendengar ceramah puluhan menit dari guru yang hadir silih berganti. Inilah kehebatan Ramadan yang tak dimiliki bulan lainnya.

Menguak tabir kehebatan Ramadan dalam mengubah seketika karakter seseorang, dari yang malas beribadah menjadi rajin, maka kita akan dapati, selain karena janji lipatan pahala, atau ancaman dosa, disana juga ada kontrol masyarakat yang memainkan peran penting. Tekadang masih ada saja pribadi-pribadi yang tidak mengindahkan perintah dan larangan Allah, ditabrak semaunya, diiming-imingkan surga dia tak peduli, diancam neraka justru marah dan membuat kondisi makin tak karuan.

Disinilah kontrol sosial memainkan peran, kita lihat orang-orang yang tak berpuasa di bulan Ramadan, namun tidak juga mereka pamerkan di pinggir jalan atau di keramaian, masyarakat bakal mencibir, memandang sinis, bahkan menegur jika dianggap sudah kelewatan.
Dengan itu semua, intinya Ramadan membentuk pribadi untuk taat secara total, bukan sekedar meninggalkan yang haram, yang halal sekalipun di luar bulan suci Ramadan menjadi haram dan wajid ditinggalkan. Makan dan minum disiang hari, itu halal, namun di bulan Ramadan itu menjadi haram. Menggauli istri di siang hari beleh-boleh saja, namun di bulan Ramadan, hal itu haram, bahkan sanksinya begitu berat.

Jika sesuatu yang halal saja menjadi haram di bulan Ramadan, apatah lagi sesuatu yang dasarnya memang haram, sanksinya akan jauh lebih berat. Dengan ketatnya aturan dan larangan di bulan Ramadan, apakah ada seseorang yang pernah protes atau merasa keberatan dengan itu semua?

Spirit Ramadan inilah yang seharusnya hidup ditengah-tengah masyarakat, bukan hanya di bulan Ramadan, tetapi di bulan-bulan lainnya juga seharusnya demikian. Ketaatan itu harus terus terawat, jika Ramadan diibaratkan tungku api yang membakar dosa-dosa, membersihkan tiap jiwa, menjaga pribadi untuk menjalani hidup sesuai panduan Allah, maka tungku api itu harus terus membara dan tak boleh padam. Esensi dari tungku api inilah yang dibutuhkan, yang terus membersihkan walaupun Ramadan telah berlalu.

Perlu dipahami, pilar yang menjaga agar kehidupan bermasyarakat bisa berjalan dengan baik, bahkan mengalahkan spirit Ramadan, itu dibangun atas tiga pondasi utama. Pondasi itu tiada lain, yang pertama ketakwaan individu, kemudian kontrol masyarakat, dan yang terakhir supremasi hukum oleh negara. Ramadan hanya membentuk ketaatan melalui dua pondasi saja, ketakwaan dan kontrol masyarakat, itulah mengapa saat di luar Ramadan, pribadi-pribadi yang tadinya sudah mulai taat, cenderung kembali ke kondisi sebelumnya, ingkar kepada Allah.

Rasulullah Saw, dahulu pernah menyampaikan kepada kita, bagaimana kota Madinah hadir ibarat tungku api yang menyala-nyala. Madinah mampu membersihkan tiap individu yang menginjakkan kaki di kota itu, membuang segala bentuk perbuatan buruk dan terus meningkatkan kualitas perbuatan baik, sebagaimana tungku api yang apabila besi berkarat dimasukkan kedalamnya, maka yang ke luar besi murni tanpa karat, bila besi murni yang dimasukkan, maka besi yang semakin murni yang akan keluar. Hal ini telah dikisahkan dalam sebuah riwayat yang mahsyur.

Waktu itu di Madinah, datang tamu dari luar kota Madinah, tamu ini tiba menjelang adzan dhuhur berkumandang, saat terdengar seruan sholat oleh Bilal, seketika para pedagang di pasar berbondong-bondong mendatangi masjid, meninggalkan dagangan serta toko-toko mereka begitu saja, tak dibereskan apalagi ditutup. Pemandangan tersebut tentunya membuat bingung para tamu itu, belum pernah mereka jumpai ada pedagang yang berani meninggalkan tokonya tanpa ditutup, bukan hanya satu, tapi semua pedagang melakukan hal yang sama. Inilah kondisi sehari-hari di Madinah, mampu membentuk rasa aman bagi seluruh penduduknya.

Bukan hanya rasa aman, tiap kewajiban yang diatur dalam Islam, seperti Sholat, Zakat dll, negara memastikan tak ada satupun individu yang meninggalkannya. Intinya umat Islam akan dikondisikan sedemikian rupa untuk taat dan tunduk pada aturan yang telah Allah turunkan, demi menjamin kebahagian di dunia terlebih di akhirat.

Rahasia keberhasilan Madinah, dalam mendidik penduduknya, selain karena ketakwaan, dan kotrol masyarakat yang kuat, disana ada peran negara yang begitu kuat dan tegas dalam mengatur masyarakat. Hukum berdaulat penuh diberlakukan pada seluruh masyarakat tanpa memandang status dan jabatan yang diamanahkan kepadanya. Rasulullah menegaskan ini dalam sabdanya, ”Demi Allah yang jiwaku ditangan-Nya. Sekiranya Fatimah binti Muhammad mencuri, maka saya sendiri yang akan memotong tanggannya.” (HR. Bukhari).

Maka menjadi pelajaran bagi umat Islam hari ini. Suasana Ramadan bisa terjadi sepanjang tahun, dimana rasa aman, spirit ibadah yang tinggi, dan tiap bentuk tindakan kriminalitas akan berkurang bahkan dihilangkan. Itu semua hanya akan terjadi dengan pemberlakuan hukum-hukum Islam oleh negara. Tentulah hal ini mustahil kita dapatkan pada era kepemimpinan Ideologi Sekuler sebagaimana hari ini, sebab kriminal dianggap sebagai kebutuhan yang tak boleh hilang, makanya terus dirawat dan dijaga keberlangsungannya.

MU’ADZ AL HAFIDZ
(ANALIS POLITIK SEKOLAH PERADABAN)