Covid-19 dan Kelaparan
Kecil-kecil cabai rawit. Peribahasa yang tepat untuk menggambarkan efek dahsyat dari virus berukuran 125 nanometer tersebut. Covid-19 adalah virus yang telah menginfeksi jutaan jiwa manusia. Virus tersebut berhasil menciptakan resesi ekonomi di berbagai negara. Selain itu juga berpotensi membidani lahirnya kelaparan global.
Program Pangan Dunia (WFP), Organisasi Pangan dan Pertanian (FPO) dan 14 lembaga lainnya menerbitkan laporan Global 2020 tentang krisis pangan. Sebelum pandemi virus corona, laporan itu menyebut 135 juta orang di dunia menderita kelaparan parah. Jumlah tersebut akan bertambah dua kali lipat pada akhir tahun ini karena adanya wabah corona, jika tidak segera dilakukan tindakan. (voaIndonesia.com, 22/04/2020).
Indonesia tidak luput dari imbas tersebut. Deretan cerita pilu bermunculan di media sosial. Mulai seorang bapak yang menjual hp bututnya seharga Rp. 10.000 untuk biaya makan keluarganya, sampai seorang ibu di Serang yang meninggal karena dua hari menahan lapar.
Problem Distribusi sampai PHK
Peneliti Center for Food, Energy and Sustainable Development Indef Dhenny Yuartha Junifta menuturkan kondisi defisit pangan sebetulnya bukan hal baru. Defisit bahan pangan kerap dialami Indonesia bahkan jauh sebelum pandemi muncul. Di Indonesia, defisit pangan disebabkan oleh kurang meratanya distribusi serta ketergantungan impor pada sejumlah komoditas pangan. (CNN, 29/04/2020).
Sebelum pandemi, Global Food Security Index mendudukkan Indonesia pada peringkat 62 dalam hal ketahanan pangan. Permasalahan klasik terkait ketersediaan bahan pangan, mulai dari mahalnya ubo rampe pertanian dan peternakan sampai kejahilan para tengkulak masih sering membelit ibu pertiwi.
Dengan hadirnya pandemi covid-19, ketahanan pangan Indonesia semakin gonjang-ganjing. Dilansir dari katadata.co.id, 15/04/2020, Direktur Utama PT Perkebunan Nusantaran (PTPN) VIII menyatakan “Diperkirakan produksi gabah turun hingga 50 %,”. Hal ini tersebab diterapkannya PSBB serta rasa khawatir petani untuk keluar rumah disertai ketidaksiapan menghadapi perubahan iklim serta terjadinya serangan hama.
Penutupan kran ekspor oleh negara eksportir menambah ketar ketir. Bisa dipahami karena selama ini Indonesia masih menggantungkan pemenuhan bahan pangan pada impor. Studi NSEAS pada September 2018 menyebutkan Indonesia masih bergantung pada impor sebanyak 29 komoditas pertanian dari beragam negara seperti: beras dan beras khusus, jagung, kedelai, biji gandum, tepung trigu, gula pasir, gula tebu, daging lembu, kentang dsb.
Distribusi bahan pangan bisa disebut sebagai permasalahan lama. Selain kendala transportasi karena status Indonesia sebagai negara kepulauan, distribusi bahan pangan juga tidak merata pada semua lapisan masyarakat. Selama ini kecukupan bahan pangan hanya bisa diakses oleh golongan tertentu. Masyarakat lapisan bawah terkendala akses bahan pangan yang memadai. Jangankan menikmati empat sehat lima sempurna, mendapat raskin saja sudah sangat bersyukur. Dengan adanya covid-19, kondisi terasa semakin sulit.
PHK dan banyaknya tempat usaha yang tutup akibat covid-19, membuat orang berstatus tidak mampu makin melejit. Dilansir dari katadata.co.id, 15/04/2020, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat 1,5 juta orang telah kehilangan pekerjaan akibat Corona. Sebanyak 10,6 % di antaranya atau sekitar 160 ribu orang kehilangan pekerjaan karena PHK, sedangkan 89,4 % lainnya dirumahkan. Buntutnya, kebutuhan hidup tidak bisa terpenuhi. Selain itu, fenomena panic buying semakin memperkeruh suasana.
Belajar dari Umar ra
Kesulitan yang dialami pemerintah saat ini pernah juga dialami oleh khalifah kedua. Institusi yang dipimpin oleh amirul mukminin pernah diuji Allaah dengan kondisi yang lebih sulit. Beberapa wabah yang datang pada waktu hampir bersamaan. Wabah kelaparan akibat paceklik di wilayah Hijaz dan tho’un amwas di Syam pada tahun 18 H.
Keberhasilan sang khalifah mengeluarkan rakyat dari masa-masa gelap itu, ada baiknya dijadikan teladan bagi pemimpin saat ini.
Dari penerapan isolasi sampai pemenuhan kebutuhan pangan. Isolasi di wilayah Syam dilakukan untuk memutus penyebaran wabah. Kebutuhan pangan rakyat dipenuhi oleh negara lewat baytul maal. Ketika persediaan pangan di baytul maal menipis, khalifah Umar ra segera memerintahkan gubernur di wilayah lain yang berstatus zona hijau untuk mengirimkan bahan pangan.
Langkah Isolasi sendiri telah disabdakan oleh Rasulullaah sholallaahu ‘alayhi wa salam lewat sabda beliau “Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu” (HR. Bukhari)
Ketahanan pangan begitu diperhatikan oleh khalifah. Beliau mengambil langkah-langkah pengembangan dan mengembalikan kondisi orang-orang yang bekerja di bidang pertanian.
Beliau menghadiahkan tanah kepada orang yang sejak awalnya mengolahnya. Tapi siapa saja yang selama tiga tahun gagal mengolahnya, maka yang bersangkutan akan kehilangan hak kepemilikannya atas tanah tersebut. Sehingga tanah menjadi produktif. Begitulah khalifah menjalankan wasiat Nabi sholallaahu ‘alayhi wa salam dalam hal ihyaul mawat.
Munculnya berbagai macam inovasi di bidang pertanian, membuktikan bahwa Umar ra dan para pemimpin Islam setelahnya menaruh perhatian yang besar pada aspek pertanian. Beberapa inovasi pertanian seperti pompa al Jazari, pompa air enam silinder Taqiuddin, kincir angin vertikal berhasil meningkatkan produksi pertanian.
Selain distribusi bahan pangan yang baik kepada rakyat, Umar bin Khathab ra juga semakin meningkatkan taqarub ilallaah, mengajak rakyatnya untuk memperbanyak doa. Beliau juga menghimbau rakyat untuk berhemat, serta negara tidak menarik zakat pada saat itu.
Begitulah sekelumit gambaran kehebatan Umar bin Khathab ra dalam menghadapi wabah. Sistem apakah yang digunakan Umar bin Khathab ra untuk mengatur negaranya sehingga menjadi sedemikian makmur dan bisa melewati masa-masa sulit itu?
Oleh : Dedi SW