Kesenjangan Antara Kebijakan Ekonomi dan Ibadah

Ani Hayati

Sulit diterima akal sehat, ironi di negeri Indonesia dalam memutus mata rantai penyebaran virus corona (covid-19) yang belum dapat diprediksi secara pasti sampai kapan berakhirnya. Sangat memprihatinkan, karena pemerintah melempem dalam membuat peraturan dan disisi lain sebagian warga susah diatur. Contohnya saat ini ada warga yang rela berdesak-desakan di pasar hanya untuk berburu baju lebaran namun lupa tentang social distancing, berharap membendung perkembangan corona justru mengundang corona untuk menghampiri karena perkumpulan tersebut.

Pemerintah disatu sisi tegas dalam menghadapi masalah, namun disisi lain goyah, sehingga usaha untuk membendung dan menghentikan mata rantai penyebaran virus corona tersebut menjadi terkendala dengan adanya ketimpangan atau perbedaan sikap dari pemerintah yang tegas dengan penutupan rumah ibadah namun goyah dengan tempat publik lainnya.

Iklan Pemkot Baubau

Mengapa pelarangan hanya tegas dengan adanya perkumpulan di masjid namun pemerintah tetap membuka akses di pasar, mall, bahkan bandara?. Dimana bandara, mall dan pasar adalah tempat perkumpulan dan pergantian warga terbesar di ruang public yang merupakan salah satu pemicu terjadinya penyebaran virus covid-19.
Karena adanya perlakuan kesenjangan antara tempat peribadatan dan tempat public lainnya maka para ulama protes. Sehingga muncul wacana relaksasi tempat ibadah yang digaungkan Menteri Agama Fachrul Razi didukung oleh Persaudaraan Alumni 212. Menurut mereka jangan sampai ada diskriminasi saat pemerintah membuka akses bandara tetapi rumah ibadah tidak dibuka. “Sebab kalau tidak, ini bisa jadi bom waktu pembangkangan massal umat Islam karena merasa ada diskriminasi kebijakan,” ujar Ketua Persaudaraan Alumni 212, Slamet Maarif. Ia pun berharap wacana tersebut bisa cepat direalisasikan dan dikomunikasikan dengan pihak terkait termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ulama (MUI, PA 212, Dai) juga mempertanyakan ironi kebijakan pemerintah yang memihak kepentingan korporasi dan mengabaikan kepentingan rakyat serta menghambat kepentingan ibadah umat.

“Penerbangan buka, bandara buka, transportasi longgar, mall buka dan lainnya sementara tempat ibadah masih ditutup, ibadah diawasi, kacau ini. Hati-hati kalau menyangkut urusan agama ini sangat sensitif.” ujar Slamet. (https://www.tribunnews.com)
Melihat kondisi saat ini, jika dianalisis bahwa pemerintah belum siap berkorban sepenuhnya terhadap rakyatnya terutama masalah pemenuhan kebutuhan rakyatnya, wajar saja jika pabrik, bandara, mall, pasar, kantor dan tempat lainnya yang merupakan tempat perputaran ekonomi tetap dibuka di ruang pablik sehingga lupa mempertimbangkan efek yang akan membahayakan jiwa rakyatnya, sebagai konsekuensinya korban jiwa akan semakin bertambah yang merupakan tumbal keganasan covid-19.

Mau sampai kapan kita berlarut dalam kondisi seperti ini, apakah kita harus menunggu populasi warga habis? Untuk kebaikan dan terciptanya ketenangan dalam masyarakat maka pememrintah harus bisa mengevaluasi kebijakan dan tindakannya yang ada selama ini untuk kemudian membuat aturan yang jelas serta menegakkan dan memberikan perlakuan yang sama untuk semuanya kemudian semestinya ulama sebagai pengontrol kebijakan, bersuara lebih lantang untuk mengangkat setiap jenis aspirasi umat yang menjerit akibat kebijakan zalim rejim kapitalis. Juga mengangkat kritik bahwa wabah Covid-19 yang selayaknya menyadarkan agar kembali pada solusi Syariah.

Pandangan Islam

Negeri ini membutuhkan pemerintahan yang mandiri dan dunia membutuhkan kepemimpinan yang adil dan steril dari kerakusan kaum kapitalis. Dalam kondisi normal, pemimpin harus menjadi pengurus rakyat. Dalam kondisi darurat, lebih-lebih lagi. Pemimpin harus optimal dalam mengurusi rakyat, bekerja siang malam demi mencukupi kebutuhan rakyat. Pemimpin tak boleh bersikap sebagai pedagang yang selalu menggunakan hitung-hitungan untung rugi materi ketika mengurusi rakyatnya.

Dalam Negara Islam, seorang pemimpin sangat serius mengurusi urusan rakyat, menjaga keselamatan mereka terutama jika terjadi wabah penyakit seperti saat ini, untuk menjaga keselamatan rakyat akibat wabah Khalifah tidak akan ragu menetapkan lockdown yang tepat sebagai solusi sebagaimana perintah syariat, keputusan ini pun dibarengi dengan upaya penjaminan kebutuhan masyarat terdampak. Tak hanya itu, pemimpin dalam Islam akan mengupayakaan untuk meminimalisasi jumlah korban dan populasi yang terkena wabah.

Khalifah Umar bin Khaththab ra adalah seorang pemimpin yang membaktikan seluruh waktunya untuk rakyat. Tiap malam beliau patroli hingga pelosok kampung untuk memastikan semua rakyatnya hangat dan kenyang sehingga bisa tidur nyenyak. Sang khalifah sendiri jarang tidur. Saking lelahnya beliau kadang tertidur dibawah pohon kurma dekat Masjid Nabawi. Beliau dibantu oleh seluruh jajaran pemerintahannya selalu memastikan agar seluruh kebutuhan rakyatnya terpenuhi selama terjadinya musibah. Demikianlah gambaran singkat penerapan syariat Islam secara kaffah (sempurna) dan ini hanya bisa dilakukan oleh institusi khilafah. Bukan yang lain. Wallahu alam bi ash-shawab.

Oleh : Ani Hayati S.H.I (Ummu Rozan)