Perppu Corona, Rezim Korup Makin Absolut

Ika Rini Puspita

“Kini giginya (DPR) sudah ompong bagaikan singa tua. Ia hanya kelihatan gagah dan menakutkan, tapi sudah powerless,” (Muhyiddin Wakil ketua MUI)
Pemerintah telah mengsahkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 menjadi undang-undang (UU). Dalam aturan tersebut, pemerintah menambah alokasi belanja dan pembiayaan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (ABPN) 2020 sebesar Rp 405,1 triliun. Menariknya hanya fraksi PKS yang menolak, ada apa? Karena dalam sistem demokrasi walau ada yang menolak pun tidak akan berdampak apa-apa, jika mayoritas mengiayakan lanjut terus.

Kita nampaknya tidak boleh terlalu berharap kepada partai dalam Parlemen, sikap yang berubah-ubah menunjukkan kepentingan adalah segalanya. Bahkan banyak partai tersebut menjadi tukang stempel pemerintah, karena sudah tersandera kepentingan kekuasaan. Tangan dan kakinya diikat lalu mulutnya disumbat. Berkutik pun sudah tak sanggup.

Iklan Pemkot Baubau

Meski sudah banyak pakar yang menyebut Perppu Corona berpotensi melanggar konstitusi dan UUD 1945, bahkan kelompok NGO dan kelompok aktivis antikorupsi mengugat ke MK terkait Perppu ini, namun hasilnya seperti biasa tidak diindahkan. Perppu pada dasarnya adalah peraturan yang dikeluarkan untuk mengatasi kedaruratan berdasarkan pada pasal 22 UUD 1945.

UU Imunitas Elite Korup
Menyoroti Perppu, kita harus memperhatikan sendi negara hukum, sendi konstitusi dan sendi demokrasi itu sendiri, jangan sampai dengan alasan pandemi sehingga penegakan hukum dilakukan secara sewenang-wenang. Sampai menabrak sistem itu sendiri atau menjadikan UU sebagai tunggangan.

Dalam pelaksanaan Perppu ini berpotensi disalahgunakan kita semua tahu para koruptor dengan legowo menjalankan aksinya. Gurita korupsi pun kian menjadi-jadi dengan adanya UU ini (imunitas korup), karena uang yang dipakai akan sulit jauh dari unsur tranparansi. Korupsi sampai saat ini masih menjadi tantangan terbesar Indonesia. Menurut survei yang dilakukan oleh Transparency International, CPI Indonesia tahun 2018 berada di skor 38 dan berada di peringkat 89 dari 180 Negara yang disurvei. Dalam 4 tahun terakhir Indonesia meraih skor berturut-turut 36, 37, 37 dan 38. Artinya posisi Indonesia berada di tiga puluh persen Negara terkorup dunia.

Lebih lanjut kita menyoroti tentang, terbitnya Perppu jangan sampai ada udang dibalik batu, salah satu pasal yang menjadi sorotan yaitu pasal 27.
Pasal 27 ayat (1) “Biaya yang telah di keluarkan pemerintah atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksaan kebijakan Negara dalam bidang perpajakan, belanja Negara, keuangan daerah, pembiayaan, sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi Nasional merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk menyelamatkan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian Negara”. Pasal ini membuat penegakan hukum menjadi tidak adil. Justru memberikan perlindungan bagi mereka yang melakukan sesuatu yang merugikan bangsa dan Negara. Pasal ini rawan ditunggangi penumpang gelap, memanfaatkan situasi pandemi untuk memperkaya diri.

Pasal 27 ayat (2) “Anggota KSSK, pejabat atau pegawai Kementerian keuangan, Bank Indonesia, jasa keuangan, lembaga penjamin simpanan, dan pejabat lainnya. Yang berkaitan pelaksanaan Perppu ini tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana. Jika dalam pelaksaan tugas jika dalam pelaksaan tugas didasarkan pada itikad baik sesuai UU”.

Intinya ayat 2 di atas akan menghilangkan pertanggungjawaban hukum bagi pelaksana kebijakan (kebal hukum). Padahal setiap manusia sama dihadapan hukum. Jangan sampai dalih menyehatkan perbankan justru UU ini bisa dijadikan modus pemilik bank untuk menyelamatkan usahanya, jangan sampai skandal Century terulang kembali.
Pasal 27 ayat (3) ”Segala tindakan termasuk keputusan Perppu, bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha Negara”.

Intinya dari pasal 27 ayat 1, 2 dan 3 adalah hak imunitas penguasa untuk berlaku sewenang-wenang kepada rakyat di tengah Pandemi. Ketentuan ini jelas akan menghilangkan fungsi yudisial dalam penanganan Corona sehingga dapat menimbulkan kekuasaan yang absolut dalam pelaksaan Perppu. Artinya apapun yang dilakukan pemerintah kita hanya bisa menonton dan tidak bisa digugat secara pidana, perdata maupun PTUN.

Kemudian pasal 28 meniadakan keterlibatan DPR dalam pembuatan APBN dan hanya diatur melalui peraturan Presiden. Jika keterlibatan DPR ditiadakan sebagai penyambung lidah rakyat, lalu suara rakyat dikemanakan? Bukankah dalam demokrasi semua kebijakan atas nama rakyat? Maka pantas saja jika Wakil ketua MUI Muhyiddin menyebutkan DPR giginya ompong.
Disahkannnya Perppu Corona menjadi UU, kita semua tentu sangat khawatir sebelum adanya UU hasilnya begini serampangan, apatahlagi jika sudah diperkuat UU tentu imunitas pemerintah akan lebih otoriter lagi dan mungkin tidak bisa dikendalikan. Karena ada payung hukumnya. Tentu ini semua wajar dalam sistem sekarang. Konsepnya manusia yang membuat hukum dalam artian (asas ide kebebasan yang diemban) dan standar yang diambil adalah mayoritas. Sedangkan jika kita berbicara sistem Islam, hukum berasal dari Allah Swt. sebaliknya Islam tidak mengenal istilah kebebasan dalam pengertian Barat. Islam justru mewajibkan keterikatan manusia dengan syariah Islam.

Sedangkan standar pengambilan pendapat tergantung dari materi yang dibahas. Misal, jika pembahasan mengenai status hukum syariah, standarnya adalah dalil syariah terkuat bukan suara mayoritas. Selanjutnya jika menyangkut aspek teknis dari suatu aktivitas standarnya suara mayoritas. Dan jika pembahasannya menyangkut hal-hal yang memerlukan keahlian, standarnya adalah pendapat yang paling tepat (ahlinya) bukan suara mayoritas. Dengan kejelasan ini semua InsyaAllah dalam sistem Islam kebijakan yang diambil tidak akan berat sebelah, juga mengenai sikap korup akan diminimalisir mulai dari ketegasan sistem, pemahaman aqidah sangat diperhatikan dan lain-lain. Wallahu a’lam.

Oleh: Ika Rini Puspita
(Penulis Buku ‘Negeri ½’)