Tidak terasa setelah usai berpuasa satu bulan lamanya, umat Islam di seluruh penjuru dunia bersukacita karena dipertemukan dengan hari kemenangan yang telah ditunggu-tunggu kedatangannya. Biasanya, di saat seperti ini rasa gembira dan sedih bersatu membuncah ruah dalam diri setiap orang yang beriman. Gembira, karena bertemu dengan hari kemenangan setelah sebulan penuh berjuang menjalani ketaatan. Sedih, karena meninggalkan bulan Ramadan yang begitu sarat kemuliaan dan pujian.
Namun, saat ini umat Islam di seluruh penjuru dunia termasuk Indonesia, merayakan hari raya Idul Fitri 1441 H dengan suasana yang sangat berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Bagaimana tidak, kemenangan dihari yang fitri tersebut harus dirayakan di tengah gempuran pandemi yang belum juga mereda sehingga shalat Id harus dilaksanakan oleh sebagian besar masyarakat di rumah. Seperti yang disampaikan oleh kepala Negara RI bahwa situasi lebaran yang berbeda ditahun ini dilakukan demi kepentingan semua masyarakat. Namun, ia yakin cobaan ini dapat dilewati bersama-sama. (kumparan.com, 23/5/2020).
Sayangnya, pesan pemimpin tertinggi RI tersebut tidak diikuti dengan kebijakan-kebijakan penanganan wabah yang berpijak pada syariah. Banyak kebijakan-kebijakan sebelah mata yang justru malah membuat keprihatinan dan keresahan ditengah masyarakat. Misalnya disatu sisi tempat ibadah harus ditutup demi mencegah penularan Covid 19. Namun, di sisi lain pasar dan tempat transportasi dibuka demi perekonomian. Hal ini sangat disayangkan. Sebagaimana yang disampaikan Sekretaris Jenderal MUI Anwar Abbas yang menyesalkan perbedaan kebijakan ini.
Menurutnya pemerintah hanya tegas pada penutupan tempat ibadah, tapi justru longgar di tempat perbelanjaan dan transportasi. (inibaru.id, 19/5/2020).
Selain fasilitas kesehatan dan teknologi, ada satu senjata yang teramat penting untuk menghadapi pandemi ini, yaitu ketakwaan. Ketakwaan inilah yang akan menjadi dasar untuk menyelesaikan semua ragam masalah ini. Sebagaimana tujuan utama puasa Ramadan adalah menambah ketakwaan terhadap Allah Swt. Di sisi lain, sesungguhnya Idul Fitri lebih layak dirayakan oleh Mukmin yang puasanya melahirkan takwa. Tentu bukan takwa yang pura-pura. Sekedar demi citra. Demi meraih tahta dan kuasa. Namun, takwa yang bertambah sempurna. Takwa yang makin paripurna. Sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah Swt. dalam QS Ali Imran [3] ayat 102, yaitu takwa yang sebenarnya (haqqa tuqâtih).
Salah satu definisi takwa dinyatakan oleh Imam al-Hasan. Kata Imam al-Hasan, sebagaimana dikutip oleh Imam ath-Thabari di dalam tafsirnya, kaum yang bertakwa adalah mereka yang senantiasa takut terjerumus pada apa saja yang telah Allah Swt haramkan atas mereka dan menunaikan apa saja yang telah Allah wajibkan kepada mereka.
Dengan demikian, takwa memiliki empat unsur yaitu:
Pertama, Al-Khawf min al-Jalîl, yakni memiliki rasa takut kepada Allah SWT. Orang yang bertakwa tentu selalu berhati-hati dalam hidupnya karena takut akan terjatuh pada segala perkara yang haram. Sebab setiap keharaman yang dilakukan pasti menuai dosa. Setiap dosa bakal mengundang murka dan siksa-Nya. Inilah yang ditakutkan orang yang bertakwa. Jika pasca puasa rasa takut terhadap murka-Nya ini selalu melekat dalam diri seorang Muslim maka dia layak bergembira di Hari Raya. Sebab, sebagaimana kata sebagian ulama, “Hari Raya bukanlah untuk orang yang mengenakan sesuatu yang serba baru. Hari Raya hanyalah untuk orang yang takut terhadap ancaman [murka-Nya]).”
Kedua, Al-‘Amal bi at-Tanzîl, yakni mengamalkan seluruh isi Al Qur’an yang telah Allah turunkan. Tentu dengan menerapkan semua hukumnya. Dengan melaksanakan dan menerapkan syariahnya secara kaffah. Penerapan syariah secara kaffah itu hanya bisa diwujudkan melalui kekuasaan yang menerapkan sistem pemerintahan Islam.
Ketiga, Al-Qanâ’ah bi al-qalîl, yakni selalu merasa puas/ridha dengan karunia yang sedikit. Qanâ’ah akan melahirkan sikap zuhud terhadap dunia. Zuhud terhadap dunia akan melahirkan sikap wara’, yakni senantiasa berhati-hati terhadap dosa.
Keempat, Isti’dâd[an] li yawm ar-rahîl, yakni menyiapkan bekal untuk menghadapi ‘hari penggiringan’, yakni Hari Kiamat.
Sebagaimana diketahui, kedatangan Hari Kiamat bukanlah sesuatu yang lama. Kedatangannya sangat dekat. Bekal terbaik untuk menghadapi Hari Kiamat tidak lain adalah takwa.
Takwa tentu harus diwujudkan tidak hanya dalam ranah individu belaka, tetapi juga pada ranah masyarakat dan negara. Inilah yang boleh disebut sebagai “ketakwaan kolektif”. Ketakwaan kolektif ini hanya mungkin bisa diwujudkan dalam institusi negara yang menerapkan syariah Islam secara kâfah. Institusi negara inilah yang pernah dipraktikkan secara nyata oleh Khulafaur Rasyidin ridwânulLâh alayhim dulu. Menurut Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitabnya, Ash-Shawâiq al-Muhriqah (hlm. 7), kewajiban menegakkan institusi ini bahkan telah menjadi Ijmak Sahabat. Menurut Imam al-Ghazali dalam kitabnya, Al-Mustashfâ (1/14), Ijmak Sahabat itu tidak bisa di-naskh (dihapuskan/dibatalkan).
Selain wajib, kembalinya institusi ini adalah janji Allah SWT dan kabar gembira Rasulullah Saw, sebagaimana sabda beliau: Kemudian akan datang kembali masa Khilafah yang mengikuti metode kenabian (HR Ahmad).
Sungguh kita butuh institusi penjaga, agar Ramadan ke Ramadan bisa benar-benar menjadi jalan mewujudkan ketakwaan. Terlebih sejatinya Ramadan adalah bulan perjuangan dan bulan mengokohkan ketaatan. Sementara Idul Fitri adalah momentum merayakan kemenangan perjuangan umat Islam melawan kekufuran. Umat harus bersatu, menyamakan persepsi dan tujuan pergerakan menuju arah yang ditetapkan Allah dan Rasul. Intelektual, penguasa, militer, ulama, umat, seluruh komponen membentuk simpul dukungan yang kuat terhadap penerapan hukum Allah.
Melanjutkan kehidupan Islam dengan aktivitas dakwah menyeru manusia kepada kemuliaan Islam, dan menyongsong kemenangan hakiki hidup dalam naungan institusi Islam yang menyejahterakan. Ini harus jadi cita-cita bersama yang lahir dari ketakwaan setelah digembleng sebulan penuh pada bulan Ramadan.
Jadi takwa bukan sekadar jargon belaka, dia berwujud nyata dalam amal perbuatan dan keyakinan penuh untuk menyambut kemenangan Islam. Semoga Allah Swt. berkenan memberi umat ini kemenangan yang sebenarnya dalam waktu yang tak lama. Mengangkatnya dari kehinaan, menjadi kembali mulia. InsyaAllah, masa yang mulia itu akan segera tiba. Terakhir, marilah kita sama-sama berdoa kepada Allah Swt. Bermunajat penuh harap kepada-Nya. Semoga Allah Swt mengabulkan doa-doa kita. Allaahumma Aamiin.
Wallahu a’lam bishshawab
Oleh :Oktavia Tri Sanggala Dewi, SS., M.Pd (Aktivis Dakwah Islam, Jambi)