Sejak pemerintah pertama kali mengkonfirmasi kasus Covid-19 pada tanggal 2 Maret 2020, jumlah kasus terus bertambah. Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, mengatakan terjadi penambahan kasus baru pasien positif covid 19 sebanyak 687 orang pada Kamis, 28 Mei 2020. Sehingga total 24.538 kasus positif, 6.240 sembuh, dan 1.496 meninggal,” kata Yurianto, Kamis, 28 Mei 2020. Jumlah orang yang telah diperiksa adalah 201.311 orang.(Tempo.id, 28/05/2020). Hal itu menunjukan kurva COVID-19 di Indonesia belum ada tanda-tanda melandai. Ditengah fakta tersebut bergulir wacana pemberlakuan The New Normal. Hal ini diserukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan pernyataan mengajak hidup berdampingan dengan Corona atau virus Covid 19.
Apa itu The New Normal? The New normal adalah fase di mana Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dilonggarkan dan publik diperbolehkan untuk kembali beraktivitas dengan sejumlah protokol kesehatan yang ditentukan pemerintah sebelum ditemukannya vaksin (cnnindonesia, kamis 28/05/2020). The New Normal menjadi program yang dianjurkan oleh WHO. Dengan kata lain, masyarakat tidak bisa menjalani kehidupan dengan menerapkan pola hidup normal yang dulu, tetapi harus ada The New Normal ketika beradaptasi dan hidup berdampingan dengan virus Covid-19. (Halodoc.com, 19/05/2020)
Program The New Normal harus dijalankan agar perekonomian negeri bisa terus berjalan. Aktivitas ekonomi terutama perkantoran, industri dan supermarket akan berjalan meski ada PSBB. (Tirto.id, 28/05/2020)
Rencana New Normal ini mendapat tanggapan dari berbagai pihak, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon mengatakan, Presiden Jokowi terkesan mengambil keputusan yang tidak tegas dan inkonsisten. Fadli juga menilai kepercayaan dunia internasional terhadap Indonesia bisa hilang karena kebijakan penanganan COVID-19 tidak jelas. Menurutnya, hal itu dapat berdampak pada pelarangan WNI yang akan berpergian ke luar negeri. (tribunnews.com, 28/05/2020)
Kritikan juga muncul dari Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menyatakan, skenario the new normal yang ingin diterapkan pemerintah, khususnya yang terkait dengan bisnis maupun layanan publik, masih terlalu dini. Hal itu lantaran pemerintah dinilai belum mampu untuk mengendalikan penyebaran Covid-19, yang mana kurva positif virus ini pun belum melandai, bahkan masih menunjukkan tren kenaikan. Memberlakukan kebijakan the New Normal ketika suasana masih dalam fase bahaya adalah tindakan abnormal yang dapat menumbalkan nyawa rakyat banyak. Lantas, kenapa Pemerintah ngotot akan melakukan new normal?
Alasan pemerintah melakukan program new normal, diantaranya adalah pertama, karena adanya alasan ekonomi. Kondisi ekonomi yang terus terpuruk setiap menit, jam dan harinya. Apalagi, negara tidak bisa mengandalkan utang terus-menerus. Kedua, alasan politik. Alasan ini diperkuat dengan adanya desakan dari banyaknya warga yang tidak betah akan PSBB. Dengan memberlakukan The New Normal, pemerintah akan dianggap peduli terhadap masyarakat kelas menengah ke bawah. (Kompasiana, 26/05/2020)
Fakta tersebut menunjukan bahwa pemerintah gagap dalam menangani wabah Covid-19 ini. Hal ini bukan tanpa sebab, mengapa Indonesia tidak menetapkan lockdown dan malah justru lebih memilih new normal. Sebab akar permasalahannya adalah penerapan sistem kapitalisme sekuler yang diterapkan di indonesia. Sistem yang hanya mencari keuntungan materi semata. Untuk itu negara harus mengikuti agenda agenda yang telah dirancang oleh barat melalui elit kapitalisnya. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya Indonesia hanya negara pengekor saja yang mengikuti apa kata tuan nya. Alhasil, tidak bisa dipungkiri penderitaan yang akan ditimbulkan pada masyarakat tentu akan lebih dalam lagi.
Dengan pertimbangan ekonomi semata rezim berkuasa berlepas tangan dari mengatasi pandemi Covid-19 yang tengah berkecamuk. Meskipun akan mengorbankan jutaan bahkan milyaran nyawa manusia. Karena negara hanya berjalan sebagai pelayan para korporasi dan pelakon hegemoni ekonomi barat. Itulah wajah peradaban sistem kapitalis yang sedang menguasai dunia saat ini, termasuk Indonesia.
Berbeda dengan konsep sistem Islam yang begitu manusiawi karena melindungi kesehatan dan kehidupan insan, di samping konsep lockdown sebagai kunci bagi pemutusan rantai penularan secara cepat. Hal itu tidak saja mencegah wabah meluas, namun juga berhenti dengan segera, di samping terjaminnya akses setiap orang terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas meski gratis.
Demikianlah buah manis yang akan dirasakan setiap orang ketika sistem kesehatan Islam yang ditopang oleh pelaksanaan syariat Islam secara kaffah dalam bingkai sistem islam. Ia benar-benar menjamin kesehatan dan kehidupan manusia, sebagaimana karakter konsep Islam itu sendiri. Sehingga, kembali kepada pangkuan kehidupan Islam, yakni khilafah adalah kewajiban syar’i dan kebutuhan mendesak.
Saat ini, dunia sangat membutuhkan kepemimpinan global baru untuk membuat masyarakat keluar dari kegelapan menuju terang, dari ketidakadilan kapitalisme dan sekularisme menuju keadilan Islam dan negaranya, yaitu dengan tegaknya negara Khilafah Rasyidah ‘ala minhājin nubuwah. Bagi Allah subhānahu wa ta’āla mewujudkan semua itu sangatlah mudah, “Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nya.
Sungguh, Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu.” (TQS ath-Thalaq [65] : 3).
Wallahu’alam bi Ash shawab.
Oleh: Solihati, S.Kom (Aktivis Muslimah)