Kasus positif dan angka kematian akibat covid-19 di Indonesia hari ini masih terus menunjukkan tren peningkatan bahkan tembus di angka 25.773 orang positif dan 1573 orang dinyatakan meninggal dunia. Rakyatpun harap-harap cemas dengan kondisi ini khususnya para tenaga medis yang menjadi pahlawan terdepan. Namun tak sedikit pula yang terlihat masih menganggap remeh bahkan mengabaikan protokol kesehatan terlebih menjelang hari raya idul fitri. Lantas apakah hal ini sepenuhnya akibat kelalaian dan kekeliuran masyarakat?
Jika kita melihat fakta yang ada, justru hal tersebut timbul dari adanya kebijakan pemerintah yang cenderung tidak konsisten bahkan cenderung tidak jelas di tengah wabah yang semakin banyak memakan korban jiwa. Kebijakan pemerintah yang tidak konsisten, seperti pelonggaran aturan bepergian dinilai bisa menyebabkan munculnya gelombang kedua atau second wave virus Covid-19 di Indonesia.
Potret antrean yang membludak serta bertumpuk di bandara dan mall tanpa memperhatikan jarak aman pun membuat miris. Pakar Epidemiolog Universitas Indonesia (UI) Hermawan Saputra mengatakan, bahwa kebijakan yang tidak konsekuen sekarang ini seperti pelarangan mudik, tapi ternyata ada pelonggaran, hal ini jelas bertolak belakang (CNNIndonesia.com, Jumat, 15/5/2020).
Faktor lain pemicu hadirnya gelombang kedua covid-19 adalah pengelolaan kebijakan dan aturan yang parsial alias per daerah, misalnya saja kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang tidak merata dan hanya diberlakukan di beberapa daerah. Terlebih dengan tidak adanya aturan ketat hilir mudik warga di area perbatasan. Tidak adanya pemberlakuan dan koordinasi aturan yang sistematis dari tingkat pusat, daerah, hingga tingkat RT/RW membuat masyarakat menjadi bingung dalam bertindak dan terjebak dalam kondisi yang serba salah. Kebijakan inkonsisten dan tak konsekuen inilah yang justru bisa memperpanjang masa wabah yang tentu akan semakin memperburuk kondisi negeri.
Lalu melihat dari adanya kebijakan yang tumpah tindih ini, kemunculan klaster baru yang tak terkendali karena sebagian besar terkonsentrasi di satu tempat dengan kehadiran orang dalam jumlah banyak menjadi hal yang harus diwaspadai. Hal ini tentu sangat berbahaya bagi upaya memutus mata rantai sebaran virus karena justru bisa memicu gelombang kedua covid-19. Padahal, kurva covid-19 di negeri ini belum mendekati kata turun ataupun melandai.
Hal ini harusnya menjadi pelajaran bahwa virus ini belum bisa ditaklukkan. Dan harusnya menjadi pertimbangan terlebih rakyat saat ini diminta hidup berdamai dan berdampingan dengan corona. Pertanyaannya, siapkah negeri ini dalam menghadapi munculnya gelombang kedua disaat kondisi masih belum terkendali?
Lantas hal ini sekali lagi menunjukkan bahwa tidak adanya rencana strategi penanganan oleh negara dalam kondisi wabah. Amburadulnya kebijakan yang dikeluarkan justru memperlihatkan bahwa negara tidak serius dan absennya tanggung jawab penuh dalam melayani rakyat. Bukannya menghadirkan kebijakan yang melindungi jiwa dan keselamatan rakyat, yang dimunculkan di tengah pandemi ini justru kebijakan yang cenderung hanya untuk melindungi perekonomian segelintir golongan. Kenaikan iuran BPJS, pengesahan RUU Mineral dan Batu Bara dan Perpu corona menjadi undang-undang semuanya dilakukan dalam waktu yang bersamaan di tengah pandemi.
Inilah yang terjadi dalam sistem sekuler-kapitalis, kebijakan yang dikeluarkan negara pun seringkali dikendalikan oleh kepentingan korporasi. Kondisi ini memang akan terus terjadi, ketika negeri ini masih dicengkeram oleh sistem kapitalis-neoliberal. Karena tolok ukur kebijakan pun hanya bertumpu pada asas kemanfaatan dan materialisme, yang cenderung memunculkan sifat pragmatis dan menafikan nilai-nilai kemanusiaan dan keberlangsungan generasi. Itulah mengapa alih-alih membawa keamanan bagi masyarakat, nyaris setiap kebijakan yang berparadigma kapitalis-neoliberal yang dilakukan justru seringkali diiringi oleh berbagai permasalahan yang tak bertepi. Termasuk mengabaikan jiwa dan keselamatan rakyat yang berdampak pula pada nasib tenaga medis yang saat ini telah kewalahan menangani para pasien.
Hal ini tentu berbeda dengan pengaturan kebijakan menurut syariat Islam. Dalam Islam, negara berfungsi sebagai pengurus dan penjaga rakyat. Yakni dengan menerapkan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan, baik politik, ekonomi, sosial, pendidikan,kesehatan yang memang diturunkan oleh Sang Pencipta sebagai rahmat bagi seluruh alam. Bahkan penerapan aturan inilah yang akan menjaga jiwa rakyat dengan baik, karena mengimplementasikan penciptaan manusia sebagai khalifah atau pengelola bumi yang bisa diwujudkan dengan sempurna. Penguasa yang sesuai dengan syariat islam pun akan senantiasa berusaha untuk menjaga jiwa dan keselamatan rakyatnya. Seperti sabda Rasulullah shalallahu alaihi wasallam “Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.’” (HR Ibnu Asakir, Abu Nu’aim).
Seorang penguasa atau pemimpin yang peduli rakyat, maka ia pun akan melayani warganya dengan rasa tulus mengabdi serta membuat kebijakan tepat dan cepat sesuai dengan kebutuhan dan kondisi rakyat. Memastikan keselamatan dan nyawa rakyat tentu menjadi prioritas utamanya. Jika semua penguasa negeri bersikap seperti ini, maka keselamatan dan keamanan rakyat di tengah pandemi bukanlah mimpi.
VIKHABIE YOLANDA MUSLIM, S.TR.KEB (PRAKTISI KESEHATAN)