Berbeda dengan tahun sebelumnya, perayaan Idul Fitri atau Lebaran tahun ini dilewati dengan penuh keprihatinan, karena bersamaan dengan munculnya wabah virus Corona yang merebak keseluruh dunia. Semangat merayakan bagi umat Islam masih ada, tetapi tentu saja terbatas, kebiasaan untuk pulang kampung atau mudik, salaman dengan famili, sholat jamaah di lapangan sudah terganti dengan silaturahmi secara virtual, terganti dengan kecanggihan teknologi.
Bahkan orang nomor satu di negeri ini mengungkapkan perayaan Idul Fitri tahun ini harus dirayakan dengan cara berbeda karena Indonesia sedang menghadapi pandemi virus corona. Sehingga, tradisi lebaran seperti mudik dan bersilaturahmi tak bisa dilakukan dengan cara biasanya. “Hari raya Idul Fitri ini kita rayakan dengan cara yang berbeda, karena menuntut pengorbanan kita semua untuk tidak mudik dan tidak dapat bersilaturahmi seperti biasanya,” ucap Jokowi dalam keterangannya, Sabtu ( kumparan.com 23/5/2020 lalu).
Ucapan juga datang dari Wakil Presiden, Ma’ruf Amin, yang menyampaikan selamat hari raya Idul Fitri 2020 kepada seluruh umat Islam di Indonesia. Meski di tengah wabah virus corona (COVID-19), dia meminta umat Islam tetap meningkatkan iman dan takwa. Ma’ruf juga mengingatkan seluruh umat Islam agar tetap melaksanakan ibadah salat Idul Fitri dengan menaati protokol kesehatan yang telah sering disampaikan pemerintah. Tujuannya, agar wabah tersebut tidak menyebar disaat perayaan Idul Fitri. Idul Fitri kali ini kita rayakan dalam suasana pandemi, oleh karena itu mari kita rayakan dengan tetap memegang aturan-aturan kesehatan dan marilah kita perkuat iman dan ketakwaan kita karena Allah janji kalau kita beriman dan bertakwa akan diberikan keberkahan,” katanya saat Takbir Virtual Nasional, Sabtu,( nasional.tempo.co 23 Mei 2020).
Kepala Negara dan wakilnya menyebutkan bahwa modal keluar dari wabah ini adalah tawakkal, takwa dan mendapat ridha Allah. Apa yang mereka ucapkan adalah benar. Tapi kebijakan-kebijakan mereka dalam menangani wabah tidak berpijak pada syariah. Juga tidak ada taubat nasional untuk membuang hukum-hukum buatan manusia yang selama ini menjadi rujukan mengelola bangsa. Apakah ini masih dikatakan takwa?
Tidak diambilnya kebijakan secara Islami yaitu karantina sejak pertama kali wabah ini muncul di negara ini menunjukkan bahwa penguasa negeri ini jauh dari kata takwa yang diucapkan. Kurangnya upaya memfasilitasi tenaga medis dalam proses perawatan pasien menyebabkan banyaknya korban baik dari masyarakat ataupun dari tenaga medis sendiri yang tertular. Ini membuktikan apa yang mereka ucapkan sangat bertolak belakang dengan apa yang dilakukan.
Padahal, dalam Islam takwa bermakna tunduk dan patuh terhadap ketentuan syariah yaitu melaksanakan semua hukum-hukum Allah SWT dalam semua aspek kehidupan baik dalam aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lainnya. Baik dalam ranah individu, masyarakat maupun negara. Lalu kita bisa melihat bagaimana bangsa ini dikelola. Ekonomi ribawi, politik kekuasaan yang abai terhadap pemenuhan kebutuhan rakyat secara maksimal dan sosial budaya jauh dari nilai-nilai takwa.
Kita pantas bertanya bagaimana bisa keluar dari wabah ini jika takwa yang diucapkan tidak sesuai dengan apa yang dilakukan? Apakah takwa sudah benar-benar melekat atau hanya sebatas jargon. Umat butuh solusi tuntas, yaitu solusi hakiki yang datang dari Dzat pembuat hukum. Yaitu aturan Islam dimana kekuasaan dibangun atas dasar takwa kepada Allah SWT. Benar apa yang diucapankan pemimpin negara tersebut. Namun tiada implementasinya.
Selama ini kebijakan yang dibuat atau aturan yang diterapkan oleh negeri ini tidak didasari hukum dari Allah SWT, termasuk juga cara mengatasi wabah. Wabah atau pandemi ini merupakan ujian yang diturunkan Allah kepada orang yang bertakwa dan merupakan azab bagi orang yang tidak bertakwa dan ini harus disadari oleh pemimpin negeri ini dengan arti takwa yang sebenar-benarnya.
Bagaimana takwa yang seharusnya riwayat menjelaskan. Suatu ketika, Abu Hurairah ra ditanya oleh seseorang, ”Wahai Abu Hurairah, apakah yang dimaksud dengan takwa itu?” Abu Hurairah tidak menjawab pertanyaan itu, tetapi memberikan satu ilustrasi. Pernahkah engkau melewati suatu jalan dan engkau melihat jalan itu penuh dengan duri? Bagaimana tindakanmu untuk melewatinya?” Orang itu menjawab, ”Apabila aku melihat duri, maka aku menghindarinya dan berjalan di tempat yang tidak ada durinya, atau aku langkahi duri-duri itu, atau aku mundur.” Abu Hurairah cepat berkata, ”Itulah dia takwa!” (HR Ibnu Abi Dunya). Kata takwa, menurut Hamka dalam tafsirnya, Al-Azhar, diambil dari rumpun kata wiqayah yang berarti memelihara. Memelihara hubungan yang baik dengan Allah SWT.
Memelihara jangan sampai terperosok kepada perbuatan yang tidak diridhai-Nya. Memelihara segala perintah-Nya supaya dapat dijalankan. Memelihara kaki jangan terperosok ke tempat yang penuh lumpur atau duri.
Takwa, dengan demikian, tidak dapat diartikan sebatas takut kepada Allah SWT. Rasa takut kepada Allah SWT adalah bagian kecil dari takwa. Sebagaimana kandungan takwa yang diilustrasikan Allah SWT. ”Itulah Alquran yang tidak ada satu pun keraguan didalamnya. Ia adalah petunjuk bagi orang-orang bertakwa. Yaitu, mereka yang beriman kepada hal-hal gaib, mendirikan shalat, dan menyedekahkan sebagian harta yang mereka miliki dari rezeki Kami. Dan, juga mereka yang beriman dengan yang Kami turunkan kepadamu wahai Muhammad, dan yang diturunkan kepada para nabi dan rasul sebelummu. Mereka juga beriman kepada akhirat. Itulah mereka yang mendapatkan petunjuk dari Tuhan mereka. Dan, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS Al-Baqarah: 2-5).
Maka, takwa, sebagai upaya pemeliharaan diri, harus terus-menerus tertanam dalam hati. Dengan bekal takwa, seseorang akan mampu mengendalikanl tingkah laku, apakah yang dilakukan sesuai dengan tuntunan Allah SWT dan rasul-Nya atau tidak. Jika takwa sudah menjadi bekal hidup seseorang, maka takwa akan menjadi patokan hidupnya.
Allah SWT berfirman, ”Jika penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa, maka Kami akan bukakan untuk mereka pintu-pintu keberkatan dari langit dan bumi.” (QS Al-A’raf: 26). Dengan demikian, takwa adalah ketaatan kita kepada Allah, taat akan perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Negara ini dapat dikatakan bertakwa jika sudah menjalankan seluruh syariah Allah SWT tanpa terkecuali. Wallahu a’lam bi as-Shawab.
Oleh : Umma Aqila Safhira