Rasisme, Penyakit Akut Kapitalisme dan Komunisme

Ainul Mizan

Kerusuhan anti rasialis terus terjadi di beberapa negara bagian AS. Bahkan pula terjadi di Washington DC, beberapa kilometer dari Gedung Putih. Aksi kerusuhan ini dipicu oleh meninggalnya George Floyd, warga Amerika berkulit hitam di Mineapolis pada 25 Mei 2020.

George Floyd meninggal oleh ulah anggota polisi AS di negara bagian Mineasota. Floyd tidak bisa bergerak dan tidak bisa bernafas. Lehernya dikunci di tanah oleh lutut Dereck Couvin. Diduga Floyd tertangkap setelah melakukan aksi kejahatan. Mestinya hukum yang bertindak. Aksi brutal polisi AS ini telah membuka penyakit akut Kapitalisme, yakni Rasialisme.

Iklan Pemkot Baubau

Aksi demonstrasi dan kerusuhan di AS berjalan sekitar satu pekan. Pasukan Garda Nasional diturunkan guna menertibkan keadaan. Trump menegaskan akan bertindak lebih keras dalam hal ini. Tentunya, keadaan yang tidak stabil dalam jangka lama akan mempengaruhi elektabilitasnya sebelum Pemilu Nopember mendatang.

Di samping itu, akan memperburuk ekonomi nasional. Melemahnya kurs dollar. Rupiah menguat di kisaran angka Rp 14.750 – 14.850 per dollar AS. Begitu pula, perdagangan emas menguat. Harga emas sementara bertengger di 1726,3 dollar AS per troy ons. Sebelumnya 1.720 dollar AS per troy ons. Hal demikian akan menciptakan tren mengurangi supremasi AS sebagai adidaya. Para investor menarik sahamnya ramai – ramai mencari mata uang lainnya.

Rasisme, adalah wajah sejati Kapitalisme. Buktinya, Trump langsung menuduh gerakan Antifa di belakang aksi protes yang berlangsung. Sedangkan Antifa sendiri merupakan anti fasisme, yang berhaluan Komunis Jerman. Fasisme merujuk kepada ide supremasi kulit putih gerakan Nazi. Gerakan Antifa berkelindan dengan gerakan Ras Apartheid Nelson Mandela. Dengan kata lain, Rasisme tidak bisa dilepaskan dari wajah Kapitalisme yang dikomandani AS.

Penjajahan yang menjadi metode penyebaran Kapitalisme adalah praktek rasialisme terbesar dalam sejarah. Daerah jajahan dihisap. Kekayaannya diusung ke negeri mereka. Dunia Islam pun merasakan penderitaan. Setelah dihapusnya Khilafah oleh konspirasi sekutu dan Barat, tanah umat Islam dibagi – bagi dan dicaplok. Para penguasa negeri – negeri Islam yang dipasang adalah yang loyal kepada tuannya, negara – negara Kapitalis imperialis tersebut. Eksploitasi SDA untuk kepentingan Negara Imperialis. Tidak peduli rakyatnya menjadi miskin. Contoh, Freeport Mc Moran AS yang mengeksploitasi tambang emas di Papua.

Tanah Palestina dicaplok Israel. Cara – cara pembunuhan dengan kuncian lutut banyak dilakukan oleh tentara Israel terhadap pengunjuk rasa dari warga Palestina. Di tahun 2019, setidaknya ada 135 orang meninggal dunia, baik di Gaza dan Tepi Barat. Artinya, cara – cara kuncian lutut ini sama – sama dilakukan oleh tentara Israel dan kepolisian AS.

Tidak ada protes dan unjuk rasa tentang apa yang menimpa warga Palestina oleh kekejaman Israel. Di Mineapolis, seorang George Floyd membangkitkan gelombang protes yang berpotensi menenggelamkan kedigdayaan Kapitalisme AS.

Kaum muslimin dengan Islamnya berpotensi besar menjadi penghalang atas ambisi Kapitalisme dan Komunisme. Rejim Lenin sendiri anti terhadap Khilafah. Saat sentimen Pan Islamisme al – Afghani mengemuka di Timur Tengah di awal abad 20, Lenin kuatir hal itu akan menguatkan institusi Khilafah Islam. Jadi bisa dimengerti alasan diamnya Rejim Komunis baik Rusia maupun China membisu atas penderitaan umat Islam. Bahkan Rejim Komunis China sendiri melakukan penganiayaan kepada Muslim Uighur. Sebaliknya, Rejim Kapitalisme global pun diam membisu.

Demikianlah wajah asli Ideologi Kapitalisme dan Komunisme. Ideologi Islam menjadi common enemy mereka.

Betul, di antara Kapitalisme dan Komunisme itu terjadi saling berebut dominasi. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah Swt dalam firmanNya:

تحسبهم جميعا وقلوبهم شتى
Kalian mengira mereka itu bersatu padu, padahal hati – hati mereka berpecah belah (Al Hasyr ayat 14).

Tapi, jangan lupa, keduanya bisa saling berkombinasi guna mencapai ambisinya. China sendiri. Di dalam negeri, yang dijalankan adalah Komunisme. Sedangkan keluar, China mengadopsi Kapitalisme dalam proyek OBOR.

Oleh karena itu, umat Islam dunia harus memiliki masa depannya sendiri. Masa depan umat Islam bukanlah perjuangan Ras Apartheidnya Nelson Mandela. Bukan pula keberhasilan kaum Antifa dalam mengakhiri diskriminasi ras dunia. Masa depan umat Islam adalah penerapan kembali Syariat Islam secara paripurna di dalam negerinya dan ke luar negeri. Di sinilah letak urgensi institusi Khilafah mengemban tugas menyebarkan Islam ke seluruh dunia. Islam akan mengakhiri semua bentuk rasialisme dan membebaskan manusia dari semua bentuk penjajahan. Islam mengarahkan manusia menuju kesejahteraannya.

Oleh : Ainul Mizan (Pemerhati Sosial Politik dan Penulis tinggal di Malang)