Sejak kemunculannya di akhir tahun 2019, kini virus corona masih saja menyebar dihampir seluruh dunia, walaupun beberapa Negara sudah mulai pulih dari virus ini, namun sejumlah ahli memprediksi pamdemi virus corona Covid-19 bisa berlangsung lama.
Pemerintah pun mengeluarkan kebijakan lockdown hingga Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Pembatasan yang dilaksanakan dalam bentuk pelarangan kerumunan orang dalam kegiatan sosial dan budaya serta berpedoman pada pandangan lembaga adat resmi yang diakui pemerintah dan peraturan perundang-undangan. Hal ini juga termasuk semua perkumpulan atau pertemuan politik, olahraga, hiburan, akademik, dan budaya.
Diam di rumah, beraktifitas hingga bekerja di rumah telah ‘memukul keras’ sektor-sektor penggerak roda perekonomian, hingga perekonomian mulai ‘depresi’ dan terguncang, kini sejumlah Negara mulai melonggarkan kebijakan terkait mobilitas warganya, kendati virus covid-19 masih terus mengancam. Kondisi ini pada akhirnya membawa konsep new normal life, yang secara bertahap mulai diimplementasikan.
Disaat wabah covid-19 belum usai, pemerintah justru sudah merilis beberapa skenario new normal life untuk pekerja (PNS, BUMN dan Perusahaan) (https://www.cnbcindonesia.com). Istilah new normal life sudah santer ditengah jejak digital namun masih hangat terdengar di telinga kita yaitu melakukan aktivitas normal dalam kehidupan ditengah wabah pendemi covid-19. Semua upaya dilakukan untuk menormalkan kondisi ekonomi, namun tidak diiringi dengan peningkatan penanganan wabah dari aspek kesehatan.
Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Dr Hermawan Saputra mengkritik persiapan pemerintah menjalankan kehidupan new normal. Menurut dia belum saatnya, karena temuan kasus baru terus meningkat dari hari ke hari. “Saya kira baru tepat membicarakan new normal ini sekitar minggu ketiga/empat Juni nanti maupun awal Juli. Nah, sekarang ini terlalu gegabah kalau kita bahas dan memutuskan segera new normal itu,” ujar Hermawan saat dihubungi merdeka.com, Senin (25/5). (https://www.merdeka.com)
Kita dapat ‘melirik’ Negara sebelah, setelah mencabut pembatasan sosial pada 6 Mei lalu, Korea Selatan mulai kembali dihantui peningkatan kasus infeksi virus Corona.
Kondisi itu memaksa pemerintah memberlakukan kembali pembatasan sosial dibeberapa wilayah. Kebijakan new normal atau kenormalan baru yang diterapkan Korea Selatan selepas curva infeksi menurun nyatanya tak bisa bertahan lama. Kebijakan itu terbukti gagal di mana lonjakan infeksi terbesar terjadi pada Kamis (29/5/2020).(https://www.suara.com).
Seharusnya pemerintah bisa mengambil pelajaran dari Korea Selatan, bahwa penerapan normal new life telah gagal, terlebih saat pemerintah belum memiliki peta jalan, new normal life hanya mengikuti tren global tanpa menyiapkan perangkat memadai agar tidak menjadi masalah baru. Yakni bertujuan membangkitkan ekonomi namun membahayakan manusia. Alih-alih ekonomi bangkit justru wabah gelombang ke dua mengintai di depan mata. Ini yang ditakutkan, contoh lain jika sekolah aktif seperti nomal lagi, maka sekolah akan menjadi cluster baru penyebaran covid-19. Jika ini terjadi dan dipaksakan, dampaknya kita akan kehilangan generasi. Kita sudah banyak kehilangan dokter, nakes dan guru besar yang Negara butuh waktu panjang untuk ‘lahirkan’ mereka.
Jika Negara lain menerapakan kebijakan the new normal, karena disana Covid-19 sudah bisa dikendalikan. Namun berbeda di Indonesia dengan kebijakan yang masih carut-marut dan membingungkan rakyat, kurva covid-19 belum stabil bahkan terus meningkat dan belum ditemukannya vaksin atau obat untuk virus Corona. Pertanyaannya apakah Indonesia sudah layak dan siap mengadopsi new normal life?.
Pandangan Islam
Negeri ini membutuhkan pemerintahan yang mandiri dan dunia membutuhkan kepemimpinan yang adil dan steril dari kerakusan kaum kapitalis, bukan ‘membebek’ pada tren global. Faktanya, betapa banyak barang dan jasa di Indonesia adalah kiriman dari asing, jangan sampai kebijakan pun produk asing yang cenderung berpihak pada kaum kapitalis yang menanpikan aturan agama. Kini saatnya kita memikirkan dan melahirkan inovasi yang original untuk mendobrak dalam pembangunan bangsa, menopang perekonomian umat, dan umat pun tentunya selamat. Pemimpin tak boleh bersikap meremehkan terhadap urusan apa pun.
Apalagi terhadap corona yang telah ditetapkan menjadi pandemik dunia.
Sejarah Islam, ketika terjadi wabah kolera di Syam, khalifah Umar bin Khaththab memutuskan untuk tidak ke Syam dan kembali ke Madinah. Amirul Mukminin tidak meremehkan penyakit yang terjadi di Syam, meski tidak terjadi di Madinah. Khalifah Umar bin Khaththab ra adalah seorang pemimpin yang membaktikan seluruh waktunya untuk rakyat.
Tiap malam beliau patroli hingga pelosok kampung untuk memastikan semua rakyatnya hangat dan kenyang sehingga bisa tidur nyenyak. Sang khalifah sendiri jarang tidur. Saking lelahnya beliau kadang tertidur dibawah pohon kurma dekat Masjid Nabawi. Dalam kondisi normal, pemimpin harus menjadi pengurus rakyat. Dalam kondisi darurat, lebih-lebih lagi. Pemimpin harus optimal dalam mengurusi rakyat, bekerja siang malam demi mencukupi kebutuhan rakyat. Pemimpin tak boleh bersikap sebagai pedagang yang selalu menggunakan hitung-hitungan untung rugi materi ketika mengurusi rakyatnya.
Dalam sistem ekonomi Islam, Negara mendayagunakan semua potensi ekonomi (baik berupa fai’ dan kharaj, dharibah, infak rakyat dan utang syar’i ke warga negara yang kaya) untuk mengatasi wabah. Negara menggratiskan semua layanan kesehatan, mulai dari deteksi, perawatan, hingga obat-obatan. Negara juga mendakwahkan pola hidup bersih dan sehat melalui sistem pendidikan dan infokom Negara.
Demikianlah gambaran singkat penerapan syariat Islam secara kaffah (sempurna) dan ini hanya bisa dilakukan oleh khilafah. Bukan yang lain. Wallahu a’lam bi ash-shawab.
Ani Hayati , S.H.i (Ummu Rozan)