“Manusia dikaruniai oleh penciptanya hak-hak yang tidak dapat disangkal, dan bahwa diantara hak-hak itu adalah kehidupan, kemerdekaan dan upaya mengejar kebahagiaan” (Thomas Jefferson 1776)
Narasi menggugah di atas adalah deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat yang diratifikasi oleh 56 delegasi dari kongres Continental 4 Juli 1776. Deklarasi yang mengutamakan “hak hidup” tersebut rupanya bertolak belakang dengan apa yang terjadi, seperti kesempatan hidup bagi warga minoritas (berkulit hitam) yang sangat kecil di negara maju seperti AS. Hal ini diperkuat oleh kajian dari organisasi non pemerintah bernama Mapping Police Violence menyatakan bahwa orang kulit hitam berpeluang tiga kali lipat lebih besar terbunuh oleh polisi daripada orang kulit putih.
Melihat AS yang masih menjadi Negara dengan angka positif Covid-19 tertinggi, ternyata dihadang persoalan yang menambah kegusaran. Terjadi demonstrasi besar-besaran dibeberapa kota AS khususnya Minnneapolis yang menyerukan “justice for george’. Lengkapnya George Floyd, seorang pria berkebangsaan Afrika Amerika menerima perlakuan yang membuat isu rasial di AS menyeruak kembali.
Terjadi Senin, 25 Mei 2020 saat seorang polisi bernama Derek Chauvin melakukan penangkapan terhadap Floyd yang dicurigai menggunakan uang kertas pecahan AS$ 20 palsu. Saat diamankan, Petugas mengatakan Floyd melakukan perlawanan, karena itu Chauvin melumpuhkannya dengan berlutut dileher Floyd selama 8 Menit 46 detik. Tiga menit kemudian Floyd tidak lagi responsif. Petugas tersebut mengangkat lututnya dan petugas yang lain memeriksa denyut nadi di tangan kanan Floyd. Setelah dibawa kepusat medis Hennepin, Floyd dinyatakan meninggal, (Minbasket.com).
Kabar duka ini tidak hanya membuat marah keluarga si kulit hitam, tapi mendapat perhatian lebih dari seluruh masyarakat AS. Bahkan siapa sangka, mantan pemain NBA Stephen Jackson ternyata sahabat Floyd, kini ikut lantang menyuarakan penangkapan terhadap polisi minneapolis yang harus bertanggung jawab atas kematian sahabatnya itu.
Sementara perhatian masyarakat yang ditonjolkan melalui aksi protes, justru berujung rusuh dihampir seluruh Negara bagian AS. Seperti kejadian vandalisme di kantor berita CNN di Atlanta dan pembakaran sebuah mobil polisi hingga kantor polisi ikut menjadi abu. Di daerah lain yakni di Brooklyn, massa yang unjuk rasa terlibat bentrokan dengan petugas kepolisian kemudian ada pula kerumunan massa yang besar terjadi disepanjang jalan kota New York. Ribuan demonstran pun ikut menyerbu Barclays Center. Mereka sama sekali tidak tidak menghiraukan himbauan pemerintah mengenai bahaya virus corona.
Kebrutalan para demonstran dipicu adalah saat sebelum ditetapkannya Chauvin sebagai tersangka pembunuhan, ia hanya mendapat sanksi pemecatan. Kemudian diperparah ketika jaksa menetapkan Chauvin hanya pada tuntutan pembunuhan tingkat tiga, (Bisnis.com).
Deklarasi kemerdekaan Thomas Jefferson sekaligus gaungan HAM di negara sekuler nampaknya tidak begitu menjamin bagi pihak minoritas, menjadi berbeda justru memantik diskriminasi. Kembali mengingatkan, bahwa kejadian George Floyd bukan kali pertama. Sebelum Floyd, 23 februari kemarin seorang pemuda 25 tahun bernama Ahmad Arbery yang sedang melakukan jogging tewas tertembak oleh mantan polisi AS berkulit putih hanya karena memiliki kemiripan wajah dengan pelaku kasus perampokan.
Belum sebulan kasus Arbery, 13 Maret kemudian petugas medis Breonna Taylor 26 tahun juga tewas ditembak oleh petugas karena tuduhan penggunaan narkotika. Namun pada saat apartemen miliknya di geledah, tak ditemukan apapun. Jika melirik deretan kasus mereka, hampir dari kesemuanya tidak memiliki bukti kejahatan. Hanya nampak sikap rasis dan diskriminasi yang menjadi alasan mereka mati sia-sia. Disini petugas tidak hanya menodai lencana penegak hukum, tapi ikut memusnahkan kepercayaan akan gagalnya mereka menghormati hak-hak persamaan.
Sikap seperti ini jelas tidak sesuai dengan ajaran Islam. Mungkin memang akan didapati manusia diciptakan berbeda satu dengan yang lain, seperti suku, agama, etnis dan lain sebagainya. namun tidak lantas menjadi alasan mereka di perlakuan tak adil. Sebab hanya takwa yang menjadi pembeda dihadapan sang pencipta.
Tidak hanya itu, dalam negara Islam juga akan didapati sebuah perlindungan bagi mereka yang non-Muslim (kafir dzimmi). Semua yang tinggal dalam naungan Negara Islam berhak memperoleh perlakuan yang sama. Tidak boleh ada diskriminasi antara muslim dan dzimmi. Negara akan menjaga dan melindungi keyakinan, kehormatan, akal, kehidupan dan harta benda mereka.
Kedudukan kafir dzimmi juga diterangkan oleh Rasulullah dalam sabdanya “Barang siapa membunuh kafir dzimmi tanpa alasan yang haq, maka ia tidak akan mencium wangi surga, bahkan dari jarak empat puluh tahun perjalanan sekalipun “ (HR. Ahmad)
Inilah Islam, satunya-satunya agama yang memanusiakan manusia. Dan hanya akan terwujud apabila aturan Allah dibumikan dalam suatu institusi negara yakni Khilafah. Wallahu a’alam.
Oleh: Melisa (Mahasiswa & Aktivis Back to Muslim Identity Makassar)