Boneka di jadikan manusia itu cerita, manusia dijadikan boneka itu nyata. Boneka cantik dari India boleh di lirik tak boleh di bawa. Boneka antiq dari Indonesia tak boleh di kritik nanti dipenjara! (@TanYoana).
Berbicara +62, tidak akan pernah ada habisnya. Corak Negara hukum, nyatanya hanya sebatas simbol minim aplikasi. Menjunjung tinggi keberagaman namun, menampilkan ragam anti kritik dan anti terhadap protes sosial. Apakah Negara hukum yang menjunjung tinggi nilai Pancasila, sekarang berkonotasi dengan anti kritik dan celaan? +62 juga akan bermutasi seperti hukum rimba ‘yang salah lebih galak ketimbang korban’. Apakah menginjak ketentraman lain, suatu keharusan di sistem sekarang?
Penulis sesekali ingin juga menulis yang baik-baik seperti keindahan, kedamaian, ketentraman untuk Negeri tercinta dan menunjukkannya kepada dunia. Ingin meluruskan tuduhan miring +62, tapi selalu gagal. Misal tuduhan ‘anti kritik’ fakta di lapangan mengiyakan goyunan tersebut.
Misal baru-baru ini kita dihebohkan mengenai penangkapan Panglima Serdadu Eks Trimata Nusantara, Ruslan Buton.
Ruslan kemudian diamankan oleh tim Bareskrim Polri bersama Polda Sulawesi Tenggara dan Polres Buton pada 28 Mei 2020 pukul 10.30 WITA. Dia ditangkap di wilayah Kecamatan Wabula, Kabupaten Buto, Sulawesi Tenggara. Ditangkap hanya karena rekaman suara, surat terbuka untuk Presiden Joko Widodo (Jokowi). Di mana salah satu poinnya meminta agar Jokowi mundur. Dia merasakan kekecewaan kepada Jokowi dalam menangani pandemi Covid-19. Dia bahkan sempat berujar tidak menutup kemungkinan ada revolusi rakyat jika Jokowi tak kunjung melepas jabatannya” JawaPos.com, (28/5).
Selanjutnya mengenai agenda seminar atau diskusi online bertema “Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan” yang diselenggarakan mahasiswa UGM menjadi gonjang ganjing. Reaksi mulai dari pendapat yang menyatakan bahwa kegiatan tersebut makar hingga teror yang terjadi pada Panitia maupun Narasumber Prof. DR. Ni’matul Huda, SH M. Hum dari Universitas Islam Indonesia (UII) (Beritahmi.com, 31/5/2020).
Kajian akademik soal pemecatan Presiden bukan hal yang tabu apalagi terlarang termasuk di masa pandemi. Sepanjang aturan Konstitusi mengatur persoalan pemecatan Presiden maka kajian tersebut menjadi sah sah saja. Jangankan di lingkungan akademik di masyarakat pun hal yang wajar adanya diskursus soal pemecatan Presiden. Mereka yang melakukan bahasa makar apalagi melakukan teror jelas merupakan perilaku menyimpang yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum. Aparat penegak hukum harus mengejar pelaku teror tersebut.
Sungguh wajar pembelaan masyarakat akademik atas terjadinya teror dan kebodohan ilmiah ini. Jangankan sekedar diskusi hingga pemecatan Presiden juga adalah sah sepanjang dilakukan oleh DPR diproses MK dan ditetapkan MPR. Jadi tak ada yang harus dimasalahkan atau dikasuskan. Bila memang Presiden melakukan penghianatan, kejahatan berat, serta melalukan perbuatan tercela, UUD menyatakan Presiden bisa untuk dipecat.
Kemudian apa yang salah dengan pernyataan Pak Ruslan di atas, bukankah setiap individu punya hak berserikat, berkumpul dan berpendapat? Yang tercantum dalam pasal 28 UUD 1945. Jika kebebasan itu dibelenggu, untuk apa ada HAM jika pada akhirnya hanya sebatas teori? Sengkarut masalah +62 dalam menangani pandemi Covid-19 dan masalah lainnya yang dianggap belum maksimal. Maka wajar bila sebagian orang menuntut haknya untuk disejahterahkan (jika tidak becus mengurus untuk apa dipertahankan). Kerasnya kehidupan, berteriak pun tidak boleh.
Bisajadi Pak Ruslan representasi dari jeritan rakyat, namun karena tidak berani bicara akhirnya diam seribu bahasa. Karena rakyat sudah mua’ tidak menutup kemungkinan ada revolusi rakyat, bisa jadi!
Sikap anti kritik yang ditunjukkan rezim berdampak besar ke masyarakat. Rakyat sepertinya tergiring layaknya ‘mayat’ buruan yang tidak berdaya. Jika melawan (kritik) dengan segera pelaku di cap ‘berperilaku tercela’, tukang ribut, kurang kerjaan, dan dimasukkan ke penjara (teror). Setiap tahun korban berjatuhan atau paling tidak dijadikan tumbal oleh rezim demokrasi.
Negeri hukum katanya, namun kadang tidak adil dalam menetapkan sesuatu hukum. Sama-sama kritik namun ada hak istimewa tersendiri bagi sebagian orang. Sebut saja istimewa hukum (kebal hukum) bagi anak konglomerat China yang menghina bahkan mengancam akan membunuh Presiden dalam vidionya yang memegang foto Jokowi beberapa tahun yang lalu. Pelaku kemudian meminta maaf, pungkasnya hanya karena lucu-lucuan bersama teman-temannya (Kompasiana, 211/1/2019). Apakah sebercanda itu sampai ingin membunuh kepala Negara? Bukankah di mata hukum, setiap individu memiliki hak yang sama? Maka pantas saja bila ada sebagian orang yang mengatakan hukum sekarang tidak adil.
Sikap antikritik yang ditunjukkan rezim sejatinya erosi bagi demokrasi itu sendiri (pengikisan nilai-nilai demokrasi). Semakin hari ia (Kapitalisme-Sekularisme) menunjukkan ketidakberdayaanya dalam mengatur kehidupan. Sedangkan jika kita berbicara sitem Islam ia berbeda dari sistem lain, aturan yang berasal dari sang pencipta manusia. Mengoreksi penguasa yang lalai, salah dan keliru, termasuk perkara yang wajib bagian dari Islam. Salah satu hadits yang mendorong untuk mengoreksi penguasa, menasihati mereka, adalah hadits dari Tamim bahwa Nabi Muhammad saw. bersabda, “Agama itu adalah nasihat” Para sahabat bertanya: “Untuk siapa?” Nabi saw. bersabda: “Untuk Allah, kitab suci-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum Muslimin dan kaum Muslimin pada umumnya.”(HR. Muslim).
Fakta lain mengkritisi pemimpin di ruang publik dalam sejarah sistem Islam, ketika Umar bin Khattab RA tidak mau membagi-bagi tanah Syam yang ditaklukkan para mujahidin kepada kaum Muslim. Nafi’ bin Maula Ibnu Umar RA meriwayatkan, tindakan Khalifah Umar diprotes oleh Bilal bin Rabbah RA secara tegas. “Bagilah tanah itu, atau kami ambil tanah itu dengan pedang!” Tegas Bilal (HR. Baihaqi). Riwayat ini menjadi dalil bolehnya berbicara tegas dan lantang kepada pemimpin di depan umum. Wallahu a’lam.
Oleh: Ika Rini Puspita, S.Si (Penulis Buku ‘Negeri ½’)