Sejak awal para petinggi Negeri pun merespons wabah ini penuh dengan candaan tidak menganggap wabah corona sebagai sesuatu yang harus segera dicegah penyebarannya, apalagi melakukan penjagaan ketat terhadap bandara serta pelabuhan sebagai tempat keluar masuknya orang asing dari luar Negeri.
Berbagai alasan dikemukakan rakyat mengapa mereka tidak puas. Antara lain kebijakan yang tidak konsisten, pemerintah lambat mendistribusikan bantuan sosial, data penerima bantuan tidak akurat, serta penanganan secara umum lambat.
Kemudian ditambah lagi Kebijakan presiden dan pembantunya sering berbeda, aturan banyak dilanggar, pasien terinfeksi semakin banyak, pemerintah tidak tegas terhadap TKA, penerapan PSBB tidak serius. Juga penanganan kemiskinan dan pengangguran akibat pandemi juga buruk.
Luar biasa begitu banyak catatan buruk dari kinerja pemerintahan di bawah kepemimpinan rezim saat ini. Kemudian di samping itu, penerapan PSBB mengakibatkan rakyat sulit bekerja dan mendapatkan pekerjaan, kartu prakerja belum efektif, belum ada solusi yang tepat bagi yang menganggur. Kemiskinan semakin bertambah, korupsi dana bantuan, jumlah bantuan sedikit, serta masih banyak masyarakat miskin yang tidak terbantu.
Prestasi buruk terus diukir pemerintah, tapi anehnya mereka tetap dengan segala kebijakannya untuk dijalankan tanpa menghiraukan suara tangis jeritan derita rakyatnya. Bahkan dengan tidak tahu malunya, mereka masih bisa mengadakan konser amal meminta rakyat turut memberikan sumbangan atas nama kepedulian atas sesama. Miriskan.
Lalu muncul pernyataan yang disampaikan oleh Menteri yang menjabat dalam kepemimpinan rezim saat ini. Sebenarnya dapat diartikan bahwa negara berlepas tangan atasi masalah ekonomi rakyatnya. Itu pun penuh dengan “candaan” yang diakhiri dengan kata maaf dari para pejabat tinggi Negara.
Miris negeri ini, menelanjangi bobroknya kepemimpinan kapitalisme. Wabah corona menelanjangi borok-borok kepemimpinan kapitalisme.
Pejabat juga mengaku pusing ketika pemerintah harus mengambil keputusan. Apalagi pemerintah kerap berbeda-beda dalam menyampaikan kebijakan terkait penanganan percepatan pandemi.
Setiap tahun pemerintah harus menyisihkan ratusan triliun dari APBN untuk membayar utang akibat penyelewengan dana obligasi yang terjadi pada tahun 2000, senilai Rp. 430 triliun dengan bunga utang sebesar Rp. 600 triliun. Saat itu dana obligasi ditujukan untuk menyelamatkan bank.
Kebijakan menyisihkan ratusan triliun dari APBN untuk membayar utang dengan cara menyunat subsidi rakyat dan anggaran sosial yang vital seperti kesehatan. Maka publik dapat melihat saat ini buruknya sistem jaminan dan layanan kesehatan Negara guna menghadapi wabah corona.
Rakyat tidak puas dengan berbagai kinerja pemerintah di tengah wabah. Lalu menterinya juga pusing terhadap kebijakan yang diambil suka tidak sinkron. Ini menandakan lemahnya kepemimpinan dan buruknya sistem yang diterapkan. Kedua hal tersebut menjadi klop menyulitkan kondisi rakyatnya.
Sejatinya wabah corona menjadi cambuk bagi Negeri ini untuk kembali mengoreksi rezim dan sistem yang diterapkan. Keduanya harus mendapat perhatian yang besar, dan sudah saatnya menjadikan Islam sebagai satu-satunya sistem untuk memperbaiki kondisi negeri. Sebagaimana pantun berikut ini, “Bunga Mawar, Bunga Melati. Islam Penawar, Solusi Negeri.”
Nah Liberalisasi ekonomi di tengah pandemi juga kian tercium aroma busuknya. Ketika pemerintah menerbitkan Omnibus Law, menyederhanakan 70 lebih undang-undang menjadi satu undang-undang payung demi memikat investasi dan penciptaan lapangan kerja. Hal ini menunjukkan obsesi penguasa untuk melakukan liberalisasi ekonomi secara sempurna.
Serta yang paling nyata, tidak ada kesungguhan pemerintah atasi wabah. Justru mengupayakan new normal life di saat wabah semakin meningkat penyebarannya. Mereka sebut akan memberlakukan protokol kesehatan. Dengan dalih ekonomi negara harus terus berjalan tapi jiwa rakyat tidak menjadi prioritas untuk diselamatkan. Makin jelas dan terang benderang dalam kepemimpinan kapitalis yang diutamakan ialah uang dan keuntungan. Bukan keselamatan manusia.
Ibnu Aljawzi juga menuliskan dalam bukunya mengenai kehidupan Khalifah Umar Ibnu Abdul Aziz, bahwa Umar bertanya kepada para gubernurnya di seluruh Negeri untuk menghitung jumlah semua orang-orang buta, orang-orang berpenyakit kronis dan orang-orang cacat.
Khalifah Umar memberikan seorang pemandu bagi setiap orang buta dan dua orang pembantu bagi setiap orang berpenyakit kronis atau orang cacat di seluruh Negeri Islam yang membentang dari Cina di timur hingga ke Maroko di Barat, dan Rusia di utara hingga ke Samudera Hindia di Selatan.
Semua orang sakit biasa pergi ke Bimaristan (rumah sakit) bagi kaum miskin dan kaum kaya, tanpa perbedaan. Dokter berasal dari banyak tempat di wilayah Timur, dan mereka juga mendapat bayaran yang baik. Ada apotik yang penuh dengan obat-obatan dan instrumentasi, dengan dua perawat yang melayani setiap pasien. Ketika selesai dirawat, setiap pasien akan diberikan lima keping emas sehingga para mantan pasien itu tidak perlu bekerja segera setelah ia meninggalkan rumah sakit.
Kemudian Khalifah Umar juga meminta para Gubernur untuk membawa kepadanya orang-orang miskin dan tidak mampu. Beliau menutupi semua kebutuhan mereka yang diambil dari baitul mal. Lalu beliau bertanya siapa di antara mereka yang punya utang dan tidak mampu membayarnya, kemudian membayarkan utang-utang mereka secara penuh dengan dana yang diambil dari baitul mal.
Sistem Islam menenteramkan jiwa
Sistem kapitalisme terus menorehkan catatan buruk sepanjang masa kepemimpinannya. Berbeda halnya dengan Islam. Negara Islam menjamin kesejahteraan rakyat hasil dari penerapan hukum Allah Swt.
Kesejahteraan dan kemakmuran rakyat di bawah kekuasaan Islam terjamin. Bahkan pada masa Khalifah Alwalid Ibnu Abdul Malik, Khalifah memerintahkan rakyat untuk tidak mengemis melainkan meminta kepada Negara jika mereka tidak memiliki sesuatu yang mencukupi mereka.
Kemudian coba kita bandingkan dengan sistem kapitalis. Ketika pemerintah berutang, siapa yang membayar? Siapa lagi kalau bukan publik atau warga Negara, alias kita semua yaitu rakyat.
Sementara dalam sistem kapitalisme, pemerintah berupaya terus menghisap uang rakyat lewat BPJS dan berbagai pajak. Memprihatinkan bukan?
Jika rakyat tidak puas dengan kepemimpinan kapitalis, memang sudah saatnya menuntut diterapkannya Islam dalam naungan Khilafah, terbukti Khilafah menenetramkan jiwa serta menjamin segala kebutuhan rakyatnya, Kemaslahatan bukan hanya dirasakan manusia, tapi juga seluruh alam semesta. Wallahu a’lam.
Oleh: Ikbal Hasri
(Mahasiswa Universitas Negeri Makassar)