Sudah jatuh ditimpa tangga pula. Itulah ungkapan yang bisa mewakili kehidupan rakyat di era pandemi ini. Ekonomi kian anjlok. Rakyat kini bersusah-susah hanya untuk mencari sesuap nasi. Para pedagang pun banting stir berjualan bahkan di emperan jalan. Sedang pekerja kantoran yang notabene masih tenaga kontrak terkena PHK massal. Dampak pandemi sungguh memilukan. Negara pun menjawab kisah pilu rakyat dengan mendatangkan bantuan sosial. Namun sayang jika bantuan itu sama sekali tak sampai ke tangan rakyat bahkan dipermainkan oleh oknum tertentu dengan memangkas bantuan tersebut. Rakyat bertambah pilu.
Sebagaimana dilansir baubaupost.com (31/5/2020) bahwa di Kelurahan Sukanayo, Kecamatan Kokalukuna, Kota Baubau, Bantuan Langsung Tunai (BLT) bernilai Rp 600 ribu dipotong 50 persen. Lurah Sukanayo, Masria Mauso mengakui bahwa Rp 300 ribu yang dipotong itu merupakan sumbangan sukarela masyarakat penerima BLT yang diberikan kepada pihak pegawai Kantor Kecamatan Kokalukuna yang mengurus administrasi terkait pengurus ahli waris dapat mengambil BLT.
Namun, berita tersebut mendapat komplen dari penerima BLT. Seperti di laman facebook Fifin Sadarudin La Ida yang menulis distatus berandanya, “Maaf sebelumnya yah, cuma sekedar diperjelas kenapa di potong BLT Rp 300.000. Dari surat dinyatakan terima Rp 600.000, tapi kenapa pas diterima di potong Rp 300.000, mohon yang tahu diperjelas. itu bukti foto nenek saya terima BLT Rp 300.000,” demikian status Facebooknya.
Masria kemudian menerangkan masyarakat yang menerima BLT ternyata perwakilan dari orang tuanya yang telah meninggal, sedang pemotongan tersebut sebagai tanda terima kasih kepada pihak kecamatan yang telah membantu pengurusan administrasi.
Kasus yang sama juga terjadi di Desa Buluduri, Kecamatan Lae Parira, Kabupaten Dairi, Sumut, tak tanggung-tanggung BLT dipangkas hingga Rp 500 ribu. Perkeluarga hanya menerima Rp100 ribu (wartakota.tribunnews.com, 13/05/2020). Demikian juga di Wonosobo, bansos yang diberikan oleh Kementerian Sosial harus dikembalikan ke pihak desa sebelum dibagikan kembali setelah dipotong Rp 200 ribu (suaramerdekaedu.id, 29/05/2020).
Harap Pamrih di Tengah Rakyat Menjerit?
Datangnya bantuan oleh pemerintah kepada rakyat terdampak covid-19 sungguh sangat diharapkan. Meski dari jumlah besaran senilai Rp 600 ribu jelas tak bisa memenuhi kebutuhan rakyat. Namun setidaknya bisa meringankan kondisi rakyat di masa stay at home ini.
Rasa lega rakyat dengan harap bantuan bisa sampai ke tangan rakyat secara utuh ternyata tak sesuai kenyataan. Rakyat harus memenuhi syarat dan administrasi yang telah ditentukan jika ingin mendapat bantuan. Belum lagi, meski telah terpenuhi segala adminstrasi, bantuan pun masih juga diutak-atik oleh sebagian oknum. Padahal sasaran bantuan adalah rakyat terdampak covid. Pihak terkait hanya sebagia penyalur. Tak semestinya penyalur ikut menikmati.
Sungguh miris, ditengah pandemi sebagian oknum masih juga mencari pamrih ketika bekerja. Bukankah seorang abdi negara sudah tentu telah digaji oleh negara? Lalu mengapa masih harus memangkas hak rakyat?
Sudah seharusnya pemerintah pusat dan daerah berkoordinasi dengan baik dalam hal pengurusan terhadap rakyat, termasuk bantuan sosial. Namun acapkali dilihat kebijakan yang ditetapkan jauh panggang dari api. Sama sekali bukan untuk rakyat. Bahkan oleh daerah pun berani mempermainkan hak rakyat. Pusat seakan melepaskan diri dari pemerintah daerah.
Negara kian krisis empati. Bahkan di tengah wabah masih ada juga praktik korupsi oleh tikus berdasi. Abdi negara minim empati. Bahkan hilang rasa peduli. Tentu semuanya sudah tersistem. Seorang bawahan sudah tentu melihat contoh dari sang atasan. Inilah watak sistem kapitalisme sekuler, materi menjadi puncak atas segala hal. Bahkan untuk urusan rakyatpun masih mencari untung. Walhasil kepercayaan rakyat terhadap negara kian runtuh.
Islam Solusi Tuntas
Sebagai seorang muslim tentu kita melihat segala persoalan dalam kacamata islam. Segala urusan tak pernah lepas dari islam. Semuanya sudah sangat komplit diatur oleh islam. Sebab islam datang dari Maha Pengatur, Allah SWT. Dalam hal rakyat, islam sangat serius mengaturnya.
Dalam islam, pada kondisi apapun negara wajib memenuhi keperluan rakyat. Apalagi di masa pandemi, negara tentu lebih perhatian kepada rakyat. Bantuan sosial dan penyalurannya tak akan dipersulit.
Rasulullah SAW, tauladan kita, melarang keras mempersulit urusan rakyat. Dari Said bin Abi Burdah, dari bapaknya, dari kakeknya, berkata : Sungguh Nabi SAW pernah mengutus Mu’adz dan Abu Musa ke Yaman. Beliau bersabda kepada keduanya, “Mudahkanlah dan jangan dipersusah. Buatlah gembira dan jangan membuat lari. Buatlah patuh dan jangan membuat perselisihan” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalil tersebut menunjukkan pengurusan terhadap rakyat wajib dipermudah. Pun dalam pelayanannya, negara islam adalah yang sangat cepat tanggap. Sebagaimana Khalifah Umar Bin Khattab ketika sampai berita musibah dari Irak, beliau langsung menyalurkan harta di Baitul Mal untuk membantu warga di Irak. Khalifah Umar berkata “Demi Tuhan Ka’bah, harta itu tidak akan tinggal di bawah atap rumah sampai aku membagikannya”.
Bahkan Khalifah Umar tak segan-segan terjun langsung ke lapangan untuk memastikan semua penduduk mendapat bantuan makanan yang diberikan negara. Ketika beliau mendapati seorang ibu dan anaknya yang kelaparan. Tanpa menunggu lama, Khalifah Umar menuju ke Baitul Mal dan memikul sendiri gandum untuk dibawa ke keluarga tersebut.
Sosok pemimpin layaknya Umar Bin Khattab tak akan ditemui di sistem yang serba mementingkan kepentingan tertentu juga haus akan materi. Jangankan kepala negara turun tangan, urusan penyaluran bantuan pun diberikan kepada orang tak punya kapabilitas.
Dalam islam, orang yang tak punya kemampuan mengurus rakyat tak diberi jabatan. Dari Abu Musa ra menuturkan bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda : “Sungguh kami, demi Allah tidak akan menyerahkan pekerjaan ini kepada seseorang yang memintanya dan orang yang sangat berhasrat (berambisi) padanya” (HR. Muslim).
Sedang di sistem kapitalisme siapa saja boleh mengambil jabatan (dengan syarat tertentu) namun tak lagi dilihat kepiawaian dan kemampuannya mengurus rakyat. Akibatnya, memangkas hak rakyat tak jadi masalah. Padahal ini sama saja dengan mencuri dan itu adalah sebuah kejahatan. Islam sangat tegas kepada pelaku kejahatan, meski kepada pemangku kebijakan sekalipun.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha perkasa, Maha bijaksana.”(QS. Al-Ma’idah : 38)
Demikianlah islam mengatur. Segala urusan rakyat tertangani tanpa bertele-tele. Tentu sangat jauh berbeda dengan pengaturan sistem kapitalisme sekuler, terbukti tak becus mengurus rakyat. Sudah saatnya kita berbenah, buang jauh-jauh kapitalisme. Terapkan syariat islam agar negeri berkah dan sejahtera.
Wallahu a’lam bishshowab.
Oleh : Nisa Revolter (Praktisi Pendidikan)