Melonjaknya impor bahan pangan ditengah wabah terus dilakukan, seiring dengan kebijakan pemerintah melalui Kementerian Perdagangan yang telah melakukan relaksasi impor sementara untuk bawang putih dan bawang bombai. Dibawah Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Indrasari Wisnu Wardhana mencatat, impor bawang putih yang sudah masuk ke tanah air tanpa Persetujuan Impor (PI) mencapai 28 ribu ton. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor sayur- sayuran sepanjang tahun 2019 meningkat dari tahun 2018, menjadi 770 juta dollar AS atau setara Rp 11,3 triliun (asumsi kurs Rp 14.700 per dollar AS).
Pada awal tahun 2020 hingga bulan ini untuk impor, komoditas sayuran asal China membanjiri Indonesia. Namun, BPS tak merinci lebih lanjut komoditas dari sayuran ini. Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi (Kemenko Marves) mengatakan, bahwa untuk memenuhi pasokan dalam negeri perlu impor tambahan karena terjadi kenaikan kebutuhan yaitu untuk garam, bawang putih dan bawang bombai di tahun 2020 ini. (katadata co.id 23/04/2020).
Adanya lonjakan impor yang dilakukan pemerintah tentu bertentangan dengan kedaulatan dalam hal pangan. Sebab kedaulatan pangan menjadi satu program prioritas pemerintah, bahkan pemerintah sendiri menargetkan kedaulatan pangan lewat swasembada pangan bisa terlaksana dalam tiga tahun.
Tetapi, tujuan swasembada pangan yang digagas, komoditas pangan impor malah membanjiri Indonesia setiap tahunnya dan lonjakan impor disaat wabah. Pemerintah berkilah dan mengklaim bahwa produksi lokal turun, hingga dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan rakyat juga pandemi yang melanda menjadikan adanya pelonggaran syarat impor. Padahal dari segi pemenuhan kebutuhan rakyat memang harus dipenuhi oleh negara, namun tidak harus dengan impor barang. Sebab rakyat mampu untuk menghasilkan barang pangan tersebut, tinggal bagaimana pemerintah memberikan fasilitas pertanian hingga mampu memproduksi dengan jumlah melimpah.
Adanya perbedaan sikap antara Kementerian Perdagangan dan Pertanian dalam soal impor di masa wabah menegaskan bahwa tidak ada kebijakan yang terintegrasi untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyat. Karenanya rencana swasembada atau kemandirian produksi pangan tidak sejalan dengan peluang cukai yang ingin didapat oleh kementerian perdagangan dan lebih berpihak pada kepentingan pembisnis yang mendorong pelonggaran syarat impor. Pada dasarnya, negara tidak mungkin menutup diri terhadap ekspor-impor karena hal itu dibutuhkan.
Namun, dalam sebuah perdagangan seharusnya bisa memberikan manfaat pada para petani lokal.
Jika dilihat impor barang adalah cara yang paling mudah, murah dan cepat untuk mengatasi kekurangan suatu komoditi dalam sebuah negeri. Hanya saja adanya impor justru akan membuat masalah baru dengan meningkatkan ketergantungan terhadap negara lain dan mematikan produksi didalam negeri sendiri.
Diambilnya kebijakan ini tak lepas dari Liberalisasi ekonomi yang diterapkan oleh rezim yaitu mengacu pada konsep ekonomi politik akhir abad 20 yang prinsipnya adalah menolak intervensi pemerintah dalam ekonomi. Padahal produktivitas suatu pangan dan efisiensi akan tercapai bila didukung oleh pemerintah. Keberpihakan pemerintah terhadap rakyat demi ketahanan pangan harus dilakukan untuk mewujudkan kemandirian dan kedaulatan pangan adalah sebuah keharusan dengan cara mencukupi pangan dari produksi sendiri, mengatur kebijakan pangan secara mandiri, serta melindungi dan menyejahterakan petani dan rakyatnya dengan membangun infrastruktur air dan lahan besar-besaran, mekanisasi pertanian, juga penemuan teknologi bidang benih, bibit dan rekayasa teknik budidaya dan lainnya.
Diadopsinya system Kapitalisme yang menganut ekonomi Liberal hingga perdagangan bebas yang dipaksakan melalui lembaga dunia-World Trade Organization (WTO) yang pada akhirnya Negara berkembang harus membuka pasar. Negara yang mengandalkan pertumbuhan ekonomi dari sektor pertanian harus menghadapi persaingan dan didikte dengan negara maju, dan pada akhirnya tidak ada batasan terhadap impor yang harusnya segera diakhiri serta tidak ada distribusi yang merata dan perlindungan pada petani membuktikan gagalnya sistem buatan manusia ini.
Bercermin pada kepemimpinan Islam di masa Rasulullah SAW, beliau sampai turun sendiri ke pasar untuk melakukan pengawasan agar tidak terjadi penipuan harga maupun penipuan barang alat tukar. Oleh sebab itu dalam Islam melarang seseorang untuk menimbun barang kekayaannya. Hal ini dapat dilihat dari sabda Rasulullah SAW yang berbunyi:
عن مَعْمَر، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنِ احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ» (رواه مُسْلِمٌ
Artinya: “Dari Ma’mar ia berkata, Rasul SAW bersabda: “Barang siapa yang menimbun barang, maka ia bersalah (berdosa)” (HR. Muslim). Distribusi merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang sangat penting bagi kehidupan manusia karena dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak luput dari kegiatan distribusi.
Ekonomi Islam menawarkan sistem pendistribusian ekonomi yang mengedepankan nilai kebebasan dalam bertindak dan berbuat dengan dilandasi oleh ajaran agama serta nilai keadilan kepemilikan yang disandarkan pada dua sendi, yaitu kebebasan dan keadilan. Keadilan dalam hal ini yaitu bertujuan untuk mempersempit jurang pemisah antara individu maupun golongan satu sama lain, dengan membatasi keserakahan orang-orang kaya di satu sisi dan meningkatkan taraf hidup orang-orang fakir miskin disisi lain. Larangan seperti ini diberikan oleh Rasulullah SAW karena berpotensi membahayakan banyak orang dan hanya menguntungkan sebagian orang. Demikian gambaran singkat betapa system Islam mampu mengatur perekonomian dan seluruh problematika kehidupan.
Wallahu alam Bisshawab.
Oleh : Imam Aqila Shafira