BPIP Serius Mengajak Perang Dunia dengan Corona?

Ainul Mizan

Dalam rangka Hari Lahir Pancasila, 1 Juni 2020, Kemenpan R&B mengadakan diskusi virtual. Kepala BPIP menegaskan bahwa saat ini Pancasila perang dunia dengan Corona. modal utamanya adalah sila ke-1, Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurutnya, semua harus menurunkan ego politik kembali kepada kesepakatan bersama. Dengan itu akan diraih keberhasilan untuk kembali ke kondisi yang normal (www. kumparan. com, 8 Juni 2020).

Mencermati pernyataan Kepala BPIP tersebut, setidaknya terdapat 3 catatan mendasar sebagai berikut ini.

Iklan Pemkot Baubau

Pertama, BPIP termasuk berani mengemukakan adanya perang antara Pancasila dengan Corona. Sementara pemerintah sudah mencanangkan New Normal sebagai bentuk hidup damai dengan Corona. Jadi sebenarnya Indonesia ini mau perang atau damai?

Kalau disebut perang, tapi kok PSBB sudah diakhiri, portal penjagaan perumahan dan desa – desa dibuka, pokoknya kondisi sekarang seperti kondisi tidak ada pandemi. Yang tersisa hanya protokol kesehatan berupa pakai masker dan cuci tangan pakai sabun. Apakah perangnya sudah berhasil?

Justru yang ada di lapangan, kasus positif corona mengalami peningkatan. Per 9 Januari 2020, 33.076 positif. Yang sembuh ada 11.414. Dan yang meninggal sebanyak 1.923 orang.

Sungguh disayangkan para penyelenggara negara masih bermain retorika yang membingungkan. Ujung – ujungnya secara teratur melepaskan tanggung jawab. Sementara rakyat harus berjuang sendiri di tengah pandemi.

Kedua, Pernyataan Kepala BPIP tentang Sila ke-1 sebagai modal utama adalah sebuah kejujuran. Karena sesungguhnya asas kehidupan bangsa Indonesia ini adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini dengan dinyatakan di dalam Pembukaan UUD 1945 alinea kedua yang menyatakan bahwa kemerdekaan Indonesia itu atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa.

Jadi sendi kehidupan bangsa bukanlah gotong – royong. Gotong royong berada dalam ranah sebuah harapan dan cita – cita. Tentunya tidak bisa dijadikan sebagai asas dan sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sendi dan asas yang seharusnya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan begitu, arah, panduan, nilai dan cita – cita bangsa dan negara bersumber dari asas Ketuhanan tersebut.

Ketiga, terkait modal utama memerangi Corona adalah sila ke-1 Pancasila. Pertanyaannya, bentuk dan penerapan Sila ke-1 Pancasila sebagai modal perang melawan Corona itu seperti apa dan bagaimana?

Apakah menundukkan ego politik kembali pada kesepakatan bersama sebagai penerapan Sila ke-1 melawan Corona? Kesepakatan bersama yang seperti apa yang dimaksud?

Kalau merujuk kepada RUU HIP yang BPIP ikut membidaninya, terdapat istilah Ketuhanan yang Berkebudayaan. Sementara Pancasila diperas menjadi trisila hingga menjadi ekasila yakni gotong royong. Artinya Ketuhanan yang berkebudayaan merujuk pada sendi gotong royong. Hal ini berpotensi mereduksi ajaran agama khususnya Islam bila dianggap tidak sesuai dengan nilai gotong royong. Ambil contoh, dalam penanganan pandemi ini. Islam menetapkan bahwa negara bertanggung jawab penuh menjamin kebutuhan rakyatnya selama masa karantina wilayah. Termasuk penyediaan fasilitas kesehatan yang memadai, pendidikan di masa pandemi dan pembiayaan proyek penelitian guna menemukan vaksin.

Akan tetapi pemusatan tanggung jawab pada negara, dipandang kurang sesuai dengan prinsip gotong royong. Secara masif pula diiklankan rakyat diminta saling membantu menghadapi pandemi. Di lain pihak, negara mengumumkan New Normal. Alasannya, biar kegiatan ekonomi masyarakat tetap berjalan. Bisa dibilang alasan ekonomi lebih penting bagi negara. Bukankah dalam Kapitalisme Sekuler seperti saat ini, ekonomi adalah faktor utama penyangga kehidupannya. Sementara negara abai terhadap keselamatan rakyatnya.

Di lain pihak, Islam Nusantara dipandang lebih sesuai dengan budaya asli Indonesia. Pertanyaannya, budaya asli Indonesia yang mana? Justru Islam menjadi budaya asli Indonesia yang diterapkan oleh sekitar 33 Kesultanan Islam di seluruh nusantara dalam masa beratus – ratus tahun lamanya.

Terdapat upaya yang sistematis menggeser Islam dari kehidupan bangsa dan negeri ini. Tentunya Islam Nusantara tidak berkepentingan dengan Ideologi Kapitalisme maupun Komunisme yang menjajah negeri ini. Sedangkan Islam kaffah yang menjadi batu sandungan kepentingan penjajahan Neo-Kapitalisme dan Neo-komunisme.

Dengan demikian, ajakan perang dunia dengan Corona yang digaungkan BPIP hanya akan menjadi isapan jempol belaka, bila tidak mengadopsi konsepsi Islam secara paripurna dalam menanggulangi pandemi. Termasuk konsep Islam dalam menata New Normal yang menenteramkan dan menyejahterakan.

Oleh Ainul Mizan (Pemerhati Sosial Politik dan Penulis tinggal di Malang)