Tagihan Listrik Selangit Bikin Resah Pribumi

Risnawati

Pandemi global telah berhasil mengacak-acak tatanan ekonomi dunia hingga mampu membawa pertumbuhan ekonomi di titik terkritisnya. Alhasil banyaklah orang-orang tak bersalah jadi korban terutama pribumi. Pasalnya, dimasa pandemi ini juga telah memaksa sektor pabrik, perkantoran, dan tempat usaha lainnya untuk melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Akibatnya justru memunculkan masalah baru, jutaan pengangguran lahir di dunia termasuk di Indonesia. Mereka tak bisa memenuhi kebutuhan sehari-harinya, untuk makan saja sulit ditambah lagi tagihan listrik tiba-tiba ikut naik. Ironis!.

Iklan Pemkot Baubau

Dilansir dari Jakarta, cnbc Indonesia – PT PLN (persero) menekankan tidak ada kenaikan tarif listrik. Sebab, menaikkan tarif adalah kewenangan pemerintah bukan pln. hal ini menegaskan soal kasus-kasus pelanggan pasca bayar yang tagihan listriknya bengkak beberapa waktu lalu.

Direktur human capital management PT PLN (persero), syofvi f. roekman menegaskan, bahwa pihaknya juga tidak pernah melakukan manipulasi dalam penghitungan tarif. Penghitungan dilakukan berdasarkan hasil meteran yang juga bisa dilakukan oleh pelanggan sendiri.

“Prinsipnya kami tidak pernah melakukan adjustment terhadap tarif karena itu domainnya pemerintah, dan bukan domain PLN,” ujarnya melalui video conference, sabtu (6/6/2020).

Mengurai Sumber Masalahnya
Permasalahan kenaikan listrik yang terus menerus terjadi dalam waktu pandemic ini yang tidak terlepas dari buah diterapkannya sistem ekonomi kapitalisme-neoliberal dan sistem politik demokrasi yang mencengkram saat ini. Sistem ini menyebabkan liberalisasi pada tata kelola listrik, baik sumber energi primer maupun layanan listrik.

Pertama, liberalisasi sumber energi primer. UU No. 22 tahun 2001 menjadi payung hukum legalisasi perampokan terhadap ladang minyak dan gas (migas) di Indonesia. Akibatnya hampir 80%  ladang Migas Indonesia dikuasai asing (ugm.ac.id, 26/9/2013). Pemerintah tidak lebih sebagai regulator dan fasilitator saja, sementara pengeloaan diserahkan pada mekanisme bisnis.

Kedua, liberalisasi (komersialisasi) layanan listrik. kekacauan pengelolaan listrik terjadi sejak tahun 1992, ketika swasta mulai diperkenankan turut serta dalam bisnis penyediaan listrik dengan dikeluarkannya kepres no. 37 tahun 1992. Saat itu digembar-gemborkan bahwa kita akan kekurangan pasokan listrik. oleh karenanya perlu dibuka pintu lebar-lebar bagi swasta untuk membangun pembangkit baru. Maka sejak itu berdirilah berbagai pembangkit swasta untuk membantu suplai listrik PLN.

Liberalisasi ini diperkuat dengan UU no. 30 th 2009 tentang ketenagalistrikan. Dilakukan unbundling vertikal (pemecahan secara fungsi, yaitu fungsi pembangkit, transmisi dan distribusi).  Dengan demikian  pembangkit, transmisi dan distribusi hingga ritel/penjualan ke konsumen dapat dilakukan sepenuhnya oleh swasta. Meski saat ini PT PLN berstatus perusahaan listrik negara akibat unbundling semua fungsi dilakukan secara komersil.

Akibatnya seperti yang terjadi di filipina yang menggunakan model unbundling harga listriknya termahal di dunia atau di kamerun, pada beban puncak tarif listrik naik menjadi 5-10 kali lipat. Jadi, akibat liberalisasi ini maka harga listrik akan terus menerus naik namun layanannya tetap atau semakin buruk. karena listrik merupakan hajat hidup orang banyak maka berapapun harganya pasti dibeli meski dengan layanan seadanya. Mengingat begitu mahalnya tagihan  listrik saat ini, menjadi bukti kelalaian pemerintah menyelesaikan masalah ini.

Rakyat mengalami kesengsaraan  yang luar biasa, seharusnya negara bertanggung jawab sepenuhnya terhadap hajad hidup orang banyak, bukan malah diserahkan kepada pihak swasta lokal maupun asing untuk dikomersilkan.

Maka, tak heran bila tagihan listrik tiba-tiba naik karena negara ibarat korporasi besar yang menjual listrik dengan harga selangit. Bukan sebagai pengurus rakyat yang berkewajiban menyediakan listrik dengan harga murah, dan berkualitas bahkan gratis.

Islam Menuntaskan Masalah Listrik
Allah SWT berfirman, Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu, dan ketahuilah bahwa Allah menguasai hati manusia, dan sesungguhnya kepada-Nya lah kamu akan dikumpulkan. (QS. al-anfal [8]:24).

Sungguh Islam adalah agama yang paripurna. akidah islam melahirkan seperangkat aturan yang tak hanya komprehensif tapi juga solutif. Dalam pandangan Islam, listrik merupakan kepemilikan umum. hal ini dipandang dari dua aspek.

Pertama, listrik sebagai bahan bakar termasuk dalam katagori api (energi) yang merupakan milik umum. sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahualaihi Wa Sallam, Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara: padang rumput (kebun/hutan), air, dan api (energi). (HR. Ahmad). Hal tersebut termasuk di dalamnya berbagai sarana dan prasarana penyediaan listrik seperti tiang listrik, gardu, mesin pembangkit, dan sebagainya.

Kedua, batubara dan migas sebagai sumber energi yang digunakan untuk pembangkit listrik baik oleh PT PLN maupun swasta, juga merupakan milik umum. Sebagaimana disebutkan dalam hadits sebelumnya. Karena menjadi kepemilikan umum, sumber energi seperti batubara dan migas jelas haram dikelola secara komersial oleh pihak asing dan swasta. juga haram mengkomersilkan hasilnya seperti listrik. Oleh karena itu, tata kelola kelistrikan negara tidak boleh melibatkan bahkan diserahkan secara komersial kepada pihak asing dan swasta dengan alasan dan dalih apapun.

Karena menjadi tanggung jawab negara menjamin kebutuhan listrik setiap rakyatnya, baik dari kualitas maupun kuantitas. dengan harga murah bahkan gratis. Untuk seluruh rakyat, tanpa memandang kaya atau miskin. muslim atau non muslim. Prinsip pengelolaan listrik dalam Islam ini juga mencegah negara dari krisis listrik yang berkepanjangan dan tarif dasar listrik tinggi. maka, saatnya memberikan kesempatan islam untuk menuntaskan problematika listrik nan pelik. dan membuang jauh liberalisasi listrik yang menimpa negeri.

Alhasil, syariah Islam telah menetapkan negara (Khilafah) sebagai wakil umat untuk mengatur produksi dan distribusi energi (termasuk listrik) tersebut untuk kepentingan rakyat. negara tidak boleh mengeruk keuntungan dari kepemilikan umum ini. Negara hanya boleh memungut tarif sebagai kompensasi biaya produksi dan distribusi barang-barang tersebut (lihat: abdurrahman al-maliki, as-siyâsah al-iqtishâdiyah al-mutslâ).

Karena itu, solusi syariah untuk mengatasi permasalahan listrik saat ini dapat dilakukan dengan cara menghentikan liberalisasi energi, termasuk listrik, dan mengembalikan seluruhnya ke tangan negara sebagai pengelola utama. Maka listrik harus dikelola oleh sebuah badan milik negara yang statusnya adalah institusi pelayanan, dan bukan dijadikan sebagai institusi bisnis. Konsekuensinya, badan milik negara yang mengelola listrik ini memang harus terus disubsidi oleh negara. Pertanyaannya: dari mana negara bisa mendanainya? Jawabannya mudah. Sebagaimana kita ketahui, kekayaan alam Indonesia sangat melimpah-ruah, dengan syarat pengelolaannya harus didasarkan kepada Syariah Islam dalam bingkai Khilafah ala minhaji an-Nubuwwah. Wallahu alam.

Oleh : Risnawati (Pengiat Opini Media Kolaka)