Utang Luar Negeri : Bunuh Diri Ekonomi

Yeni Marlina

Belum bisa dipastikan kapan pandemi Covid-19 akan berakhir. Sekalipun di banyak negara sudah mulai resah dan mengamankan diri dengan akan memulai “new normal live” yang baru saja dicanangkan. Atau mulai pelan-pelan memberlakukan pelonggapan PSBB. Sementara belum ada data valid dan pernyataan para ahli serta pakar tentang kelayakan untuk bisa memulai kehidupan bak tanpa ada wabah. Bahkan pembicaraan masih seputar angka-angka penambahan korban yang masih menunjukan bahwa wabah ini masih menunjukan eksistensi dirinya. Artinya ke depan masih banyak membutuhkan fokus perhatian untuk makhluk renik ini agar kehidupan benar-benar bisa distabilkan kembali.

Tidak bisa dielakan seiring dengan kondisi yang tidak stabil ini, salah satu faktor yang paling dominan adalah pemenuhan berbagai kebutuhan pokok. Finansial masyarakat dan negara akan menuntut pembenahan di sana-sini.

Iklan Pemkot Baubau

Pemerintah membutuhkan banyak dana demi menaggulangi dampak Pandemi Corona alias COVID-19 dan melindungi perekonomian nasional. Untuk memenuhi dana tersebut, salah satunya pemerintah melebarkan defisit anggaran dan pendapatan belanja negara ( APBN) tahun 2020 ke level 6,27% terhadap produk domestik bruto (PDB). Defisit anggaran yang melebar ke 6,27% itu setara dengan 1.028,5 triliun terhadap PDB. Untuk memenuhi itu pemerintah rencananya akan menerbitkan utang baru sekitaf Tp 990,1 triliun.

Dan pemerintah menerbitkan surat utang negara (SUN) senilai Rp 420,8 triliun hingga 20 mei 2020. Dan tital utang Rp 990,1 triliun ini dengan penerbitan SUN secara keseluruhan baik melalui lelang, ritel, maupun private placement, dalam dan atau luar negeri. Pelebaran defisit juga dianggap sebagai bentuk dukungan program pemulihan ekonomi nasional (PEN) yang akan diatur dalam bentuk SKB antara pemerintah dan BI (Bank Indonesia), sebagaimana yang dirilis detik.com (28/5/2020).

Bank Indonesia (BI) mencatat utang luar negeri Indonesia kuartal I 2020 sebesar US$ 389,3 miliar atau sekitar Rp 5.835 triliun (kurs Rp 15.000/US$). Angka ini tumbuh 0,5% dibandingkan periode kuartal sebelumnya yang tumbuh 7,8%.(detik.com 15/5/2020)

Nampaknya langkah utang luar negeri menjadi kreatifitas pemerintah sebagai jalan tol untuk penyelamatan pendanaan. Pemerintah lebih memilih menggadaikan nasib rakyat daripada menyelamatkan ekonomi secara sehat.

Bahkan yang lebih mengejutkan Indonesia telah menerbitkan obligasi global atau global bond senilai 4,3 miliar dolar AS atau setara Rp69,55 triliun (kurs Rp16.175 per dolar AS).

Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan penerbitan obligasi ini menjadi yang pertama dari negara-negara Asia sejak pandemi Corona atau Covid-19 saat banyak pemerintahan menahan diri lantaran besarnya ketidakpastian global.

“RI berhasil menerbitkan 4,3 miliar dolar AS global bond. Ini satu kesempatan yang sangat kecil karena ketidakpastian global bergerak cukup dinamis dan tidak pasti,” ucap Sri Mulyani dalam teleconference bersama wartawan, Selasa (tirto.com 7/4/0220).

Penerbitan global bond ini digunakan untuk memenuhi pembiayaan APBN secara umum. Salah satunya adalah biaya penanganan Covid-19.

Rinciannya global bond ini terbagi menjadi 3 seri surat utang.
Seri terakhir adalah RI 0470, tenornya mencapai 50 tahun dan jatuh tempo pada 15 April 2070.

Sri Mulyani menjelaskan penerbitan ketiga bond itu memecahkan 2 rekor. Pertama penerbitan ini menjadi yang terbesar sepanjang sejarah penerbitan bond dalam dolar oleh pemerintah. Penerbitan ini juga memiliki tenor terpanjang yaitu 50 tahun yang pernah dilakukan pemerintah.

Sri Mulyani lantas berdalih ini menunjukkan kepercayaan investor terkait kondisi ekonomi dan pengelolaan keuangan negara. Di sisi lain ia menyatakan penerbitan bond jangka panjang ini juga mendatangkan sejumlah keuntungan.

Beginilah cara pandang para petinggi negeri ini, bisa dibayangkan perpanjangan beban utang ini sama saja artinya untuk 50 tahun ke depan negeri ini sudah dipertaruhkan dengan lilitan jeratan pusaran utang.

Namun yang sangat membuat miris bukan hanya sekedar menggunungnya utang, namun prosesi dan sistem utang yang dibangun melalui sistem ribawi dengan bunga yang akan menjadi beban sampai ke seluruh anak cucu negeri ini turun temurun.

Ironis kebijakan negara kapitalis, yang selalu mencari solusi keuntungan dengan standar materi dan membuat keputusan yang tidak pernah menghadirkan syatiat dan kepentingan rakyat .

Terlebih lagi penyandaran penyelamatan ekonomi bertumpu pada utang luar negeri berupa pinjaman kepada negara asing atau lembaga keuangan internasional yang natabene berbasis praktek ribawi. Praktek seperti ini alih-menyelamatkan ekonomi, justru menjadi jurang kehancuran dan bunuh diri ekonomi. Kenapa negara tidak pernah evaluasi dan memaksimalkan pengelolaan segala potensi kekayaan negeri ini yang sarat dengan aset-aset berharga?. Bukankah negeri ini dikaruniai berbagai sumber daya alam dalam jumlah potensi yang sebagian besarnya masuk dalam peringkat sepuluh besar dunia. Semestinya bisa menjadi negeri makmur dan sejahtera apabila dikelola dengan baik.

Seperti halnya dalam sistem pemerintahan Islam. Negara Islam dengan sistem kekhilafahan adalah negara yang mandiri. Negara Khilafah memiliki baitul maal sebagai lembaga khusus menangani harta yang diterima, dikelola dan mendistribusikannya sesuai dengan alokasi yang telah ditetapkan syariat.

Sistem keuangan negara dalam pengaturan Islam telah terbukti berhasil mewujudkan kemakmuran, kesejahteraan dan keadilan bagi muslim dan non muslim yang menjadi warga negara selama berabad-abad. Termasuk kecermatan negara khilafah dalam menangani berbagai bencana. Seperti penanganan wabah pada masa kekhilafahan Umar bin Khattab. Sukses menangani wabah serta memenuhi berbagai kebutuhan rakyat setempat selama karantina atau lockdown, tanpa belas kasihan dari negara asing.

Negara khilafah memiliki sumber pemasukan baitul maal dari tiga pos utama. Pertama, bagian Fai dan Kharaj. Fai adalah harta yang diperoleh dari rampasan perang, sedangkan Kharaj adalah retribusi atas tanah atau hasil produksi tanah wilayah yang telah ditaklukan oleh kaum muslimin.
Kedua, bagian kepemilikan umum yaitu segala sesuatu menjadi kepemilikan vital bagi masyarakat secara alami tidak bisa dimiliki dan dimanfaatkan oleh individu. Seperti barang tambang yang depositnya tidak terbatas dan sumber daya alam lainnya. Ketiga, bagian sadaqah yaitu pemasukan dari berbagai pos zakat yang telah disyariatkan. Baik zakat maal dan perdagangan, zakat pertanian dan buah-buahan serta berbagai zakat ternak.

Dari sumber-sumber utama pemasukan baitul maal ini, negara mampu mencukupi berbagai kebutuhan negara termasuk berbagai kebutuhan publik bagi rakyat. Infrastruktur, pendidikan, keamanan termasuk kesehatan.

Khalifah sebagai kepala negara akan menjalankan amanah sebaik-baiknya dalam pengelolaan harta semata-mata untuk kemaslahatan rakyat bukan untuk yang lainnya. Karena amanah kepemimpinan akan diminta pertanggung jawaban di akhirat kelak. Bahkan menyelamatkan kesehatan dan nyawa rakyat lebih utama bagi negara dibandingkan penyelamatan ekonomi. Karena negara khilafah selalu menjaga kestabilan ekonomi yang dikelola dengan sistem ekonomi sesuai syariat.

Sekalipun dalam keadaan keterbatasan cadangan pendanaan baitul maal, negara khilafah tidak akan mengambil langkah pinjaman berupa utang luar negeri. Pinjaman dari negara asing dan lembaga-lembaga internasional tidak diperbolehkan oleh syariat. Sebab selain berbasis pinjaman ribawi juga terikat dengan syarat-syarat tertentu. Riba diharamkan secara pasti apapun alasannya. Sementara persyaratan (yang menyertai pinjaman) sama saja dengan menjadikan negara dan lembaga donor tersebut berkuasa atas kaum muslimin.

Apa yang kita saksikan hari ini adalah buah pahit sistem ekonomi kapitalis. Akibatnya keinginan dan kepentingan kaum muslimin tergadai pada keinginan negara kafir dan lembaga donor. Maka dengan tegas syariat Islam telah melarang praktek seperti ini. Bahkan utang luar negeri merupakan bencana yang berbahaya atas negeri-negeri Islam dan menjadi penyebab orang-orang kafir menguasai kaum muslimin. Jadi, selama memiliki beban utang untuk menutupi anggaran belanja maka umat ini akan selalu berada dalam kondisi terpuruk.

Saatnya kembali kepada tatanan pengaturan sistem ekonomi Islam. Yang akan bisa terealisasi dibawah perlindungan payung institusi Daulah Khilafah Islamiyyah, yang akan selalu menghidupkan ekonomi yang sehat dan dijauhi dari murka Allah karena larangan keras terhadap pelaku praktek ribawi.

“Rasulullah melaknat pemakan riba, orang yang memberi makan dengan riba, juru tulis transaksi riba, dua orang saksinya, semuanya sama saja.”(HR.Bukhari)
Na’udzubillah.

Yeni Marlina, A.Ma
(Pemerhati Kebijakan Publik, Akitivis Muslimah)