Kondisi Pandemi Masih Kritis, Memulai Ajaran Baru. Perlukah?

Oom Rohmawati

Belum lama ini pro-kontra dari masyarakat kembali muncul. Pasalnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan membuka kembali sekolah pada pertengahan Juli mendatang. Keputusan pemerintah memulai ajaran baru dalam kebijakan new normal, jelas menuai banyak pertanyaan.

Mengingat kondisi Covid-19 ini terus merebak, bahkan setiap hari jumlah kasus positif Covid-19 terus bertambah dan meningkat. Ini sangat beresiko dan membuat khawatir orang tua jika wacana pembelajaran tahun 2020-2021 ini diberlakukan.

Iklan Pemkot Baubau

Dinas Pendidikan Kabupaten Bandung turut menyoroti empat hal yang akan dinilai sebagai masalah dalam fase new normal ini. “Kita masih menyisakan permasalahan ketika new normal di sekolah,” kata Juhana dalam On Air di Radio PRFM 107.5 News Channel pada Jumat 29 Mei 2020 seperti dikutip Pikiranrakyat-bandungraya.com dari PRFM News.

Wacana pemerintah mengaktifkan kembali aktivitas belajar mengajar bisa jadi merupakan angin segar bagi yang sudah rindu sekolah. Akan tetapi apakah keputusan tersebut sudah dipertimbangkan secara matang? Mengingat angka pasien positif Covid-19 belum menujukkan penurunan. Maka wajar jika muncul pertanyaan apa yang melatarbelakangi wacana pemerintah ini?.

Bahkan menurut Ketua Satgas Covid-19 dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Zubairi Djoerban menilai rencana sekolah dibuka pada Juli 2020 menjadi opsi terakhir setelah pelonggaran PSBB. Karena pada prinsipnya, langkah tersebut dilakukan setelah Covid-19 turun drastis. Khususnya angka kematian dan jumlah kasus positifnya. “Memang semua menduga dan berharap bahwa Juli sudah turun, walaupun Singapura bilang masih mungkin Agustus, September baru selesai gitu ya, untuk Indonesia. Jadi kalau kemudian minggu terakhir ini banyak kluster baru, saya kira mendingan hati-hati”, ujarnya Saat dihubungi Liputan 6.com. Selasa, (19/5/2020).

Kebijakan untuk membuka kembali sekolah tentu bukan tanpa alasan. Hal ini merupakan bagian dari upaya pemulihan kondisi ekonomi. Namun niat pemulihan ekonomi dengan tidak diiringi kepastian bahwa virus covid-19 tidak lagi merebak, tentu menjadi masalah. Faktanya, untuk memastikan siapa saja yang terinfeksi melalui tes PCR (Polymerase Chain Reaction) masif pun belum dilakukan, dengan alasan adalah kekurangan alat. Dari sini terlihat betapa pemerintah lebih mengedepankan pemulihan ekonomi dibandingkan keselamatan nyawa rakyatnya sendiri. Pemulihan ekonomi bukan tidak penting, tetapi tidak tepat di saat virus Covid-19 ini belum hilang.

Untuk apa ekonomi pulih bila banyak korban jiwa berjatuhan akibat ketidakhati-hatian pemerintah dalam mengambil kebijakan? Karena setiap kebijakan yang diambil berpengaruh terhadap apa hasil yang akan diraih.

Sejak diumumkannya kasus pertama pasien yang terinfeksi virus Covid-19, terkesan di mata publik pemerintah lamban dalam melakukan penanganan hingga angka kasus terus mengalami peningkatan. Hingga Selasa, 9Juni 2020 tercatat pasien terkonfirmasi positif 33.076. Kondisi ini semestinya dijadikan cerminan dalam mengambil kebijakan jangan sampai melakukan kesalahan yang sama yaitu dengan alasan materi mengakibatkan banyak jiwa masyarakat melayang. Bukankah seorang pemimpin itu pelindung bagi rakyatnya?.

Namun sayang dalam sistem kapitalis sekuler seperti yang diterapkan di negeri ini, maka kebijakan inilah yang berlaku. Pada sistem ini akan lebih mengutamakan perputaran roda ekonomi untuk kepentingan pengusaha ketimbang nyawa rakyatnya. Terlihat dari pemberlakuan new normal di sejumlah titik yang mendahulukan dibukanya kembali mall, tempat-tempat rekreasi, dan lain sebagainya. Bahkan pemberlakuan new normal di sejumlah titik yang didahulukan adalah mall daripada tempat ibadah.

Padahal jelas seorang pemimpin itu perisai bagi masyarakatnya sebagaimana sabda Rasulullah Saw; Sesungguhnya seorang pemimpin itu adalah perisai, orang-orang di belakang dia dan berlindung kepada dirinya “. (HR. al-Bukhori dan Muslim). Karena itu kesehatan dan keselamatan masyarakat ada di tangan pemimpin.

Indonesia sebagai mayoritas muslim terbesar, semestinya mengambil kebijakan itu kembali pada agamanya. Islam sebagai agama yang sempurna memberi tuntunan dalam setiap perkara. Karena Allah Swt. memerintahkan jika terjadi sesuatu perkara, maka kembalikan perkara itu kepada Allah. Dalam firman-Nya. “….. kembalikanlah perkara itu kepada Allah (Al-Quran dan as-Sunnah) jika kalian benar-benar mengimani Allah dan hari akhir.” (TQS: An-Nisa ‘ [4]:59).
Kebijakan yang dilakukan kepemimpinan Islam (Khilafah) dalam menangani pandemi, yakni dengan menghentikan penularan sehingga pemulihan kondisi bisa dilakukan setelah situasi terkendali. Demi memastikan perintah tersebut dilaksanakan, Rasulullah Saw, membangun tembok di sekitar daerah yang terjangkit wabah penyakit. Peringatan kehati-hatian pada penyakit kusta juga dikenal luas pada masa hidup Rasulullah Saw. Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu menuturkan bahwa Rasulullah Saw bersabda, ” Jauhilah orang yang terkena kusta, seperti kamu menjauhi singa.” (HR Al-Bukhari).

Pada masa Rasulullah Saw, jika ada sebuah daerah atau komunitas terjangkit penyakit Tha’un, beliau memerintahkan untuk mengisolasi atau mengarantina para penderitanya di tempat isolasi khusus, jauh dari pemukiman penduduk. Ketika diisolasi, penderita diperiksa secara detail. Lalu dilakukan langkah-langkah pengobatan dengan pantauan ketat. Para penderita baru boleh meninggalkan ruang isolasi ketika dinyatakan sudah sembuh secara total.
Kemudian, pada masa kekhalifahan Umar bin al-Khaththab juga pernah terjadi wabah penyakit menular. Saat itu Khalifah Umar keluar untuk melakukan perjalanan menuju Syam. Saat sampai di wilayah bernama Sargh, beliau mendapat kabar adanya wabah di wilayah Syam.

Abdurrahman bin Auf kemudian mengabari Umar bahwa Rasulullah Saw, pernah bersabda, “Jika kalian mendengar wabah terjadi di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah itu. Sebaliknya, jika wabah terjadi di tempat kalian tinggal, janganlah kalian meningggalkan tempat itu.” (HR al-Bukhari).

Nah, begitulah langkah-langkah yang dilakukan oleh kepemimpinan Islam, kepemimpinan yang amanah dalam mengurus rakyatnya dengan penuh tanggung jawab, bijaksana penuh kasih dan sayang karena paham betul bahwa setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala.

Rasulullah Saw, bersabda:
“Imam (pemimpin) itu pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus” (HR al-Bukhari dan Ahmad).
Maka, hanya sistem Islamlah satu-satunya sistem yang sudah terbukti berhasil mengatasi semua problematika kehidupan. Hanya Islam yang dapat memberikan solusi terbaik dalam penanganan wabah dan hanya dalam sistem pemerintahan Islam sajalah dapat ditemui seorang pemimpin yang memimpin dengan penuh tanggung jawab dan kearifan, serta menjalankan pemerintahan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh Allah Swt.

Hanya dengan kepemimpinan Islam (khilafah) yang menerapkan Islam secara kaffah (menyeluruh) semua problematika kehidupan bisa diatasi. Saatnya kita kembali pada sistem Islam yang sudah terbukti selama kurang lebih 13 abad memimpin dunia, memberikan kesejahteraan dan rasa aman terhadap rakyatnya. Khilafah adalah satu-satunya sistem pemerintahan yang layak untuk diperjuangkan oleh semua kalangan masyarakat, baik di Indonesia maupun dunia dan layak memimpin dunia.

Dengan begitu, manusia dan semua makhluk yang ada akan hidup dalam keberkahan dan kesejahteraan. Sehingga Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta bisa dirasakan.
Wallahua’lam A’lam bishshawab.

Oleh :Oom Rohmawati (Ibu rumah tangga dan member AMK)