Belum usai wabah ini melanda, kini rakyat di tambah lagi bebannya dengan naiknya tagihan listrik di bulan juni 2020. Berawal dari ramainya di media sosial dengan keluhan warganet yang mengeluh mengenai tagihan listrik yang naik pada bulan juni, padahal mereka mengaku sudah menghemat listrik dan pemakaiannya pun sama seperti bulan sebelumnya.
Merespons hal tersebut, PT PLN (Persero) menegaskan tidak ada kenaikan tarif listrik selama pandemi Covid-19. Direktur Human Capital Manajemen PLN Syofvie Felianti Roekman menilai, salah satu alasan membengkaknya tagihan sejalan dengan meningkatknya konsumsi listrik selama kebijakan beraktivitas dari rumah dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diterapkan. Bahkan ia juga mengaku tagihan listrik dirumahnya pun juga ikut menaik.
Selain itu, PLN menjelaskan dalam dua bulan terakhir PLN menggunakan penghitungan rata-rata dari tiga bulan terakhir penggunaan untuk menentukan besaran tagihan listrik.(tribunnewsmasker.com 8/6/2020)
Selain keluhan masyarakat terhadap naiknya tagihan listri di bulan juni, sebelumnya juga banyaknya keluhan masyarakat karena dampak yang sangat dirasakan akibat wabah global ini, yang mana wabah ini bukan saja membuat krisis kesehatan pada masyarakat, bahkan sampai krisis ekonomi yang membuat phk besar-besaran terjadi, akibatnya sebagian rakyat sangat susah untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Parahnya fakta dilapangan juga sampai terjadi kelaparan, bahkan sampai menyebabkan kematian.
Di tambah lagi kebijakan pemerintah yang malah semakin mencekik rakyatnya dengan menaikan iuran BPJS di tengah wabah. Wajar, bila masalah ini semua menghasilkan keluhan di tengah masyarakat. Karena keadaan rakyat saat ini bagaikan perumpamaan “sudah jatuh tertimpa tangga pula”.
Meskipun pihak PLN telah mengemukakan alasannya mengenai naiknya biaya tarik dasar listrik. Namun, fakta dilapangan yang terjadi malah semakin banyaknya keluhan di tengah masyarakat, pasalnya lonjakan tersebut tidak sebanding dengan pemakaianya.
Misal saja dari salah satu postingan warganet, sebut saja N. Ia merasa kaget dengan tagihan listriknya yang dianggap tidak masuk akal, pasalnya ia mengaku selama 3 bulan sejak Covid-19 datang ia tinggalkan rumahnya pulang kampung. Tapi mengapa biaya yang dikeluarkan sama seperti tarif yang di pakai layaknya seperti biasa. Ia pun mengakhiri keluhannya dengan kata “mohon jangan menindas rakyat terus menerus” ujarnya di grup Facebook info Depok, Jakarta, Minggu 6/6/2020. (okezone.com 6/6/2020)
Dari fakta diatas membuktikan dan seharusnya menyadarkan kita bahwa kepemimpinan hari ini bukan malah meringankan beban rakyatnya, melainkan malah semakin menyusahkan dan mencekik rakyatnya sendiri.
Naiknya biayanya tarik dasar listrik, tidak terlepas dari kepemimpinan kapitalisme hari ini. Yang mana kepemimpinan hari ini menjadikan kekuasaan sebagai jalan mencari materi sebanyak-banyaknya, sehingga watak seorang pemimpinnya abai dan enggan memenuhi hak-hak rakyatnya. Akhirnya banyak dari rakyatnya mengalami kesusahaan bahkan parahnya sampai melakukan pencurian karena kelaparan.
PLN hari ini hadir pun bukan lagi sebagai pemenuhan kebutuhan hak masyarakat atas kelistrikan, pasalnya UUD yang disahkan nomor 20 tahun 2002 tentang ketenagalistrikan malah membuka Liberalisasi pada listrik, di karenakan UUD ini juga mengatur mengenai pembukaan luas bagi keterlibatan swasta. Sehingga keberadaan PLN ini tidak dapat menjamin rakyat banyak untuk memperoleh haknya terhadap energi listrik dengan mudah dan murah. Malah menambah beban ditengah masyarakat.
Sebagai seorang muslim yang sadar akan kewajibannya terhadap rabbnya, tentu akan menjadikan islam sebagai standar perbuatannya. Allah menurunkan islam dengan begitu sempurna dalam mengatur segala aspek apapun dalam kehidupan, islam bukan saja mengatur dalam hal peribadatan, melainkan ia juga mengatur hajat hidup orang banyak termaksud solusi dalam kelistrikan. Sebagai muslim yang benar tentu akan mengambil solusi dan pandangan dari kaca mata yang berasal dari islam yang lain.
Kelistrikan dalam islam digolongkan sebagai kepemilikan umum, listrik yang digunakan sebagai bahan bakar, sebagai sumber energi yang pembuatannya berasal dari barang tambang seperti migas dan batu bara di katagorikan dalam islam sebagai api atau energi. Yang mana ini termaksud dalam kepemilikan umum. Ini di dasarkan dari hadis Nabi Muhammad SAW
Manusia berserikat dalam tiga hal : air, padang gembala dan api. (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Dari hadis ini menjelaskan mengenai kepemilikan secara umum, dan pengelolaaannya terdapat dua cara yaitu yang pertama, air, padang rumput, api, jalanan umum, laut dan lain nya dapat dipakai seluruh individu masyarakat untuk dimanfaat secara langsung namun tetap diawasi oleh negara dalam pemanfaatannya. yang kedua negara mengelola kekayaan umum yang mana kekayaan tersebut tidak dapat di manfaatkan secara langsung oleh rakyat, melainkan membutuhkan keahlian serta teknologi maupun biaya untuk mengelolanya, Namun hasil dari pengelolaannya tetap akan dikembalikan untuk rakyatnya.
Mengenai cara pengelolaan kelistrikan agar dapat dimanfaatkan sebagai energi listrik yaitu mealui cara kedua, yang mana sseorang pemimpin (Khalifah) berperan mengelola sumber daya tersebut dengan mempersiapkan segala keahlian yang berkaitan dan pembiayaan dalam pengelolanya. Sehingga hasil dari pengelolaan tersebut akan dikembalikan kepada rakyat demi mencukupi segala kepentingannya.
Karena islam memandang seorang seorang pemimpin dan pemerintahannya adalah sebagai ra’in yaitu pemimpin yang bertanggung jawab atas segala kebutuhan rajyatnya. Dan dengan kebijakan ini pun tentu rakyat akan sejahtera akan kebutuhannya termaksud dalam kebutuhan energi listrik.
Sehingga seluruh rakyat akan dipenuhi segala kebutuhan listriknya tanpa memandang kalangan. Dan tentu ini semua akan terwujud dalam sistem pemerintahan islam dibawah negara khilafah islamiyah bukan dibawah kepemimpinan jahiliyah kapitalisme dan liberalisme yang hanya memikirkan untung rugi dalam mengurusi rakyatnya. Dan menjadi tugas kita sebagai kaum muslimin untuk memperjuangkan pemerintahan islam tersebut. Wallahu a’lam bis-shawab.
Oleh : Retina Nurfianti (Mahasiswi)