‘Babak Belur’ Tenaga Medis di Tengah Pandemi

Rindyanti Septiani

Saat ini beban berat tenaga medis kian meningkat. Tidak hanya harus siap menghadapi banyaknya pasien yang terpapar pandemi Covid-19 setiap harinya, tetapi terus berjatuhan tenaga medis yang gugur saat menangani wabah. Namun tidak mendapat perhatian memadai dari pemerintah.
Jangankan memberikan perlindungan utuh dengan kebijakan terintergrasi agar pasien covid tidak terus melonjak, bahkan proteksi finansial juga tidak diberikan. Sejumlah tenaga medis melaporkan belum mendapat insentif yang dijanjikan pemerintah. Mirisnya, sebagian dari mereka malah dirumahkan, namun pemerintah beralasan keterlambatan pencairan insentif karena proses verifikasi.

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) menekankan pentingnya menjamin hak dan menjamin keselamatan tenaga medis yang berada di garis depan perang melawan Covid-19.
Berdasarkan data Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) per 1 Juni 2020, ada setidaknya 358 aduan terkait perawat yang bermasalah dengangaji dan THR semasa pandemi. Sekretaris Badan Bantuan Hukum (BBH) Dewan Pengurus Pusat (DPP) PPNI Maryanto menyebutkan, sebanyak 96 aduan di antaranya melaporkan atas nama kelompok atau institusi.

Iklan Pemkot Baubau

Pemecatan di tengah pandemi pun terjadi juga pada 109 tenaga medis di RSUD Ogan Ilir, Sumatera Selatan, dipecat karena menuntut transparansi insentif dan alat pelindung diri (APD) demi keselamatan kerja, asupan vitamin dan rumah singgah yang layak.

Menurut pengakuan seorang dokter umum di salah satu Rumah Sakit swasta rujukan Covid-19 di Surabaya, Malik, sudah empat kali menginap di hotel. Karena ia khawatir telah tertular dari para pasien Covid-19 yang ia tangani. Untuk itu, ia harus mengeluarkan Rp 1,5 juta- 2 juta per bulan dari kocek pribadinya sendiri.

Tak hanya itu, dokter yang saban harinya harus memerika 30-60 pasien Covid-19 juga harus dihadapkan pada pemotongan gaji 20% setiap bulan. Sudahlah nyawa dipertaruhkan menghadapi wabah, kini nasib kesejahteraan mereka juga ikut terancam. (today.line.me, 8/06/2020)

Salah satu tenaga medis yang tidak mau disebutkan namanya mengungkapkan bahwa mereka tidak berharap kondisi seperti ini, rasanya terzolimi. Mereka mau menanyakan keselamatan mereka, menanyakan hak-hak mereka, tetapi akhirnya justru banyak dari mereka dirumahkan. Ungkap mereka pada BBC News Indonesia, Rabu (28/05).
Padahal gugurnya tenaga medis atau pemecatan sama dengan berkurangnya prajurit di garda depan medan tempur melawan pandemi.
Tenaga Medis Digantung Birokrat

Janji pemberian insentif tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor HK.01.07/MENKES/278/2020 tentang Pemberian Insentif dan Santunan Kematian Bagi Tenaga Kesehatan yang Menangani Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).

Beleid itu ditandatangani Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto pada 27 April 2020. Disiapkan dana sebesar rp 5,9 triliun untuk selutuh tenaga medis yang bekerja di RS rujukan Covid-19. Dengan rincian, tenaga medis pemerintah pusat akan mendapat Rp 1,3 triliun, sisanya Rp 4,6 triliun diberikan untuk tenaga medis pemerintah daerah.

Selain itu, pemerintah juga berjanji akan memberikan santunan kematian sebesar Rp 300 juta kepada tenaga medis yang meninggal saat bertugas menangani pasien Covid-19.

Tetapi apa yang terjadi, antara janji dan faktanya jelas berbeda. Sebagaimana yang diungkapkan Juru Bicara Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Halik Malik, mengimbau pemerintah untuk mempermudah birokrasi pencairan insentif tenaga medis, seperti halnya layanan medis yang memudahkan birokrasi layan pasien Covid-19 di fasilitas kesehatan.
Saling lempar tanggung jawab terkait pemberian insentif dan santunan kematian tenaga medis dipertontonkan pada pulik. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, lambannya proses pencairan dana insentif nakes itu terjadi karena kendala proses verifikasi data di Kemenkes.
Menurutnya, pihak Kemenkeu sudah mendorong Kemenkes untuk mempercepat prosesnya agar insentif nakes bisa segera dicairkan.
Sebaliknya, pernyataan berbeda disampaikan Kepala Bidang Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia (PPSDM) Kemenkes Abdul Kadir justru mengatakan, lambannya proses realisasi insentif nakes justru terkendala pada lamanya pencairan dana dari Kemenkeu. (today.line.me, 8/6/2020)

Publik dapat menilai begitu ruwet dan membingungkan setiap kebijakan birokrasi di negeri ini. Tapi tetap yang akan menjadi korban dari segala keruwetan tersebut ialah rakyatnya, kali ini kondisi tenaga medis. Hal ini bukan pertama kalinya terjadi, saling lempar tanggung jawab dan ‘digantungnya’ nasib rakyat.

Berbeda dengan Islam yang begitu menghargai dan memberikan perhatian pada tenaga medis. Pada masa Kekhilafahan Turki Utsmani, bidan saja biasanya mendapat gaji bulanan dan mendapat pelayanan istimewa seperti bangsawan.

Dalam kepemimpinan Islam, gaji dokter berkisar antara 50-750 US dolar. Seorang residen yang berjaga di rumah sakit dua hari dan dua malam seminggu memperoleh sekitar 300 dirham per bulan. Angka yang sangat besar pada masa itu, terlebih lagi kebutuhan dasar seperti perumahan, pendidikan, dan kesehatan sudah dijamin oleh negara.

Sejumlah dokter juga mampu memperkaya diri karena hebatnya keahlian yang dimiliki. Salah satunya Jibrail Bin Baktishu, yang merupakan direktur RS Baghdad merangkap dokter pribadi Khalifah, memiliki berhektar-hektar tanah pertanian dan bisa membeli berbagai macam emas, perak, dan kobalt. Menurut keterangan sekretarisnya, pendapatan Jibrail berkisar 4,9 juta dirham per tahun.

Pemimpin negara di masa Islam berlomba-lomba membangun rumah sakit selain sebagai wujud rasa peduli terhadap rakyat juga merupakan bentuk ketaatanyya terhadap hukum syara (aturan Allah Swt). Negara melalui Baitul Mal bertanggung jawab memberikan suntikan dana, termasuk urusan pemeliharaan kesehatan kaum miskin dan papa.

Negara mengalokasikan dana sangat besar untuk pembiayaan rumah sakit. Sebagai gambaran, RS Al-Muqtadir menerima uang sebesar 200 dinar sebulan. RS Al-Arghun yang merupakan rujukan penyakit jiwa, seluruh kebutuhannya ditanggung oleh negara, termasuk biaya obat-oabtan, instrumen dan penelitian.

Sungguh luar biasa penghargaan dan perhatian negara dalam Islam terhadap tenaga medis. Apalagi nyawa manusia di mata Islam amat berharga. Kesehatan tidak dianggap sebagai komoditas yang dapat diperjual-belikan. Sebaliknya, kesehatan adalah tanggung jawab negara dan bagian dari amal jariyah. Negara bersama para pejabat, kaum bangsawan, bahkan rakyat jelata bahu membahu menyediakan dana demi terwujudnya kesehatan untuk semua.

Tentu publik mengharapkan kondisi demikian terwujud di negeri ini. Namun, yang menjadi tanya, komersialisasi kesehatan masih terus terjadi meski di tengah pandemi, akankah hal itu bisa terwujud? Berharap adanya perubahan di negeri ini, hal itu hanya terjadi dengan menerapkan Islam sebagai sistem kehidupan.

Oleh : Rindyanti Septiana S.Hi
(Kontributor Muslimah News & Pemerhati Sospol)