Baru-baru ini media maya dihebohkan dengan foto seorang pria berkulit hitam yang di tindih lehernya menggunakan lutut oleh salah satu aparat kepolisian hingga akhirnya korban meninggal dunia.
Seperti yang dilansir oleh salah satu media bahwa Empat personel Kepolisian Minneapolis di Amerika Serikat (AS) dipecat setelah kematian tragis seorang pria kulit hitam bernama George Floyd yang memicu aksi demo besar-besaran. Salah satu polisi yang terekam kamera sedang menekan leher Floyd dengan lututnya. (detik.com, 29/05/2020).
“Lututmu di leherku, aku tidak bisa bernapas, mama… mama…” pinta George Floyd berulang kali kepada polisi yang menahannya di tanah. Polisi itu, Derek Chauvin, mengabaikan permintaan Floyd yang nampak jelas kesulitan bernapas. Dia terus menekan lututnya ke leher Floyd hingga akhirnya Floyd terdiam dan tidak bergerak. Polisi menyuruhnya bangun dan masuk ke dalam mobil, namun Floyd tidak bereaksi. Floyd akhirnya dibawa ke rumah sakit dan kemudian dinyatakan meninggal dunia pada Senin (25/5/2020). Kematian Floyd memicu kemarahan publik Amerika Serikat. Di seluruh negeri, ramai orang berdemonstrasi. (kompas.com, 29/05/2020).
Masih senada, Bentrokan terjadi antara polisi dan pemrotes di Minneapolis atas kematian seorang pria kulit hitam tak bersenjata di tahanan polisi. Polisi menembakkan gas air mata dan pengunjuk rasa melemparkan batu sekaligus menggambar berbagai grafiti di mobil polisi.
Dilansir dari BBC, Kamis (28/5/2020), protes itu dipicu beredarnya video yang menunjukkan seorang pria berkulit hitam bernama George Floyd (46) mengeluh “Aku tidak bisa bernapas” ketika seorang polisi putih meletakkan kaki di lehernya. (liputan6.com, 28/05/2020).
Kematian George Floyd memantik kemarahan warga dunia. Gelombang protes muncul di mana-mana, dengan tuntutan agar aparat bersikap lebih adil dan tidak rasis terhadap orang sipil. Protes terhadap kematian George Floyd tidak hanya terjadi di jalanan Minneapolis, Amerika Serikat. Seruan duka cita dan gelombang protes anti rasialisme pun juga terjadi di media sosial. Bahkan tagar #BlackLivesMatter digaungkan oleh pengguna Twitter yang menolak adanya kekerasan rasial, khususnya terhadap kaum kulit hitam.
Dalam Wikipedia bahasa Indonesia, Rasisme adalah suatu sistem kepercayaan atau doktrin yang menyatakan bahwa perbedaan biologis yang melekat pada ras manusia menentukan pencapaian budaya atau individu – bahwa suatu ras tertentu lebih superior dan memiliki hak untuk mengatur ras yang lainnya.
Tentu kasus George Floyd bukanlah yang pertama. Sebulannya pun telah banyak terjadi kasus rasisme di berbagai belahan dunia, tak terkecuali di tanah air sendiri. Seperti halnya pada orang Papua. Dari sumber yang saya dapat dari Tirto.id , perilaku Rasis aparat negara dan warga sipil ke orang Papua memang bukan barang baru.
13 Juli 2016 lalu, perlakuan rasis diterima oleh salah satu mahasiswa di Yogyakarta asal Papua, Obby Kogoya. Di depan asrama Kamasan di Jalan Kusumanegara, ia dikejar, ditendang, dipukuli, lalu ditangkap saat hendak mengikuti sebuah aksi protes. Yang kemudian peristiwa itu diabadikan oleh fotografer lepas Suryo Wibowo. Kameranya menangkap peristiwa memilukan, hidung dan rahang bawah Obby ditarik.
Namun, tiga tahun setelahnya, tepatnya pada 16 Agustus 2019, sekelompok personel TNI menggedor gerbang asrama Papua di Surabaya. Alasannya, mereka melihat ada bendera Merah Putih yang dipasang pemerintah Kota Surabaya jatuh ke selokan.
Secara bertahap Satpol PP dan ormas berdatangan, mengepung asrama itu selama 24 jam. Bermacam makian bernada rasis diteriakkan massa sambil sesekali melempari batu ke arah dalam asrama. Esok harinya, 43 mahasiswa Papua yang ditangkap itu dibebaskan oleh polisi karena mereka tidak memiliki bukti kuat jika para penghuni menghina lambang negara.
Ekses peristiwa ini tak pernah siap dikendalikan oleh pemerintah. Pada Senin, 19 Agustus, dua hari setelah negara ini merayakan kemerdekaannya yang ke-74, gelombang orang Papua menumpahkan kekecewaannya di Jayapura, ibu kota Papua, dan di Manokwari, ibu kota Papua Barat, serta Kota Sorong.
Di Jayapura, lautan manusia berdemo jalan kaki sepanjang 18 kilometer dari Waena, pusat keramaian di kota itu, menuju kantor gubernur; menuntut rasialisme terhadap orang Papua harus dihentikan.
Gubernur Papua Lukas Enembe saat itu tegas berkata bahwa “kami bukan bangsa monyet, kami manusia.”
Di Manokwari, situasinya lebih panas. Gedung parlemen daerah dibakar. Pohon di tepi jalan ditebang. Ban dibakar. Melumpuhkan aktivitas dan mobilitas warga.
Belum lagi umat muslim yang harus menjadi minoritas, tidak sering membuat mereka mendapatkan perlakuan yang tidak enak. Dari di ejek, sampai dilarangnya untuk beribadah dan menyiarkan ajaran Islam.
Biang Masalah
Tentu permasalahan tersebut merupakan salah satu akibat dari penerapan sistem sekularisme yakni adanya paham pemisahan agama dari kehidupan yang merupakan buah dari kapitalisme. Dimana dalam sistem tersebut kewenangan membuat hukum atau aturan diserahkan kepada manusia yang berdasarkan aspek kemaslahatan semata, karena sumber hukumnya berdasarkan pada akal manusia yang sifatnya lemah dan terbatas. Sehingga berpotensi menimbulkan banyak pertentangan di tengah manusia.
Selain itu juga karena adanya pemahaman dari berbagai komponen masyarakat yang terlalu mengedepankan nilai-nilai budaya lokal dari pada agama, hingga mereka pun bisa sesuka hati menentang ajaran agama dengan dalih tidak sesuai dengan budaya mereka.
Disisi lain, pihak berwenang juga terlihat minim dalam memperhatikan masalah-masalah semacam ini. Tak nampak dari mereka yang angkat bicara tentang HAM dan toleransi. Seolah itu hanya milik bagi kelompok tertentu. Namun ketika mereka (orang-orang terpandaang dan pemilik modal) yang angkat bicara tentang kurangnya Hak yang di berikan kepada mereka, pihak berwenang dan media langsung turun tangan dan cepat dalam menanggapinya. Beda halnya jika masyarakat biasa dan orang muslim yang mengalaminya, seakan-akan pihak yang berwajib dan media bungkam seribu bahasa. Jika adapun itu tak bisa menyelesaikan malah, sebab buktinya sampai saat ini rasisme masih sering kita jumpai.
Kalau sudah seperti itu, kepada siapakah lagi tempat meminta keadilan? Bagaimana dengan realisasi toleransi? Lalu kemana para penggiat HAM?
Kacamata Syariah
Allah SWT telah menciptakan segalanya dengan bermacam-macam perbedaan sebagai tanda kekuasaannya. Allah swt berfirman dalam Q.S al-Rum: 22,
وَمِنْ آيَاتِهِ خَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِلْعَالِمِين
Dan di Antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya adalah penciptaan langit dan bumi, perbedaan bahasamu dan warna kulitmu. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang yang mengetahui.
Melalui ayat di atas, syekh al-Maraghi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa Allah swt menjadikan penciptaan manusia dan perbedaan-perbedaannya sebagai bentuk tanda kekuasaan-Nya. Perbedaan bahasa yang sangat banyak jumlahnya, begitu pun perbedaan warna kulit yang amat beragam.
Jika perbedaan menjadi bagian dari tanda kebesaran Allah SWT, lalu kenapa perbedaan ini sering kali membuat kita bertengkar? Bukankah si hitam Bilal lebih mulia dari pada si putih Abu Jahal? Itu karena Allah SWT tidak menilai ketaatan seseorang dari warna kulit atau rasnya melainkan dari ibadah dan ketaatannya kepada Allah SWT.
Masalah ini bukanlah masalah biasa, sebab hal ini menyangkut kehidupan, nyawa seseorang dan ibadah serta kewajiban umat Muslim. Untuk itu, hal ini harus segera diatasi dan dicari jalan keluarnya. Satu-satunya pemecahan masalah tersebut yaitu dengan menerapkan aturan-Nya. Karena demokrasi hanya membuka ruang toleransi kepada mereka yang bermodal saja dan menutup rapat kepada rakyat biasa serta umat Muslim. Demokrasi yang memang tidak kompatibel dengan Islam. Olehnya itu, satu-satunya negara yang bisa menjaga umat muslim yaitu, negara yang dapat mengemban hukum Islam secara kaffah. Dimana umat Muslim dan non Muslim akan mendapatkan hak-hak yang sama tanpa ada diskriminasi, sehingga Islam rahmatan lil ‘alamin akan dirasakan oleh semua umat. Wallah a’lam bi ash-shawab.
Oleh : Febri Ayu Irawati
(Penulis dan Mahasiswi di Makassar)