Sejak pertengahan tahun 2017, wacana terkait investasi menggunakan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) mulai dilirik pemerintah. Dalam pandangan penguasa, kiranya sebagai pihak penyelenggara haji telah dipercaya sepenuhnya untuk mengelola dana tersebut. Sehingga merasa tidak perlu lagi izin kepada pemilik dana atau umat bagaimana mekanisme pengoperasiannya.
Di tahun 2020 saat pandemi covid-19 ini masih bergulir, polemik tersebut kian memanas. Tirto.id., (2/6) melansir berita bahwa Kementerian Agama (Kemenag) akhirnya memutuskan tidak akan memberangkatkan jamaah haji untuk tahun 2020. Alasannya, otoritas Arab Saudi hingga saat ini tidak kunjung membuka ibadah haji dari negara manapun akibat pandemi covid-19. Menurut mereka, Kemenag tidak punya cukup waktu untuk mempersiapkan penyelenggaraan haji.
Oleh sebab itu, pemerintah berencana memanfaatkan dana haji yang menganggur di sektor keuangan. Karena menurutnya, dana haji merupakan termasuk daftar tunggu yang boleh di-tasharruf-kan untuk hal-hal yang menguntungkan atau produktif.
Kepala Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) Anggota Abimanyu memastikan, akan memanfaatkan dana simpanan pembiayaan ibadah haji 2020 untuk kepentingan stabilisasi nilai tukar rupiah. Sebab, pemerintah Indonesia resmi tidak mengirimkan jamaah haji pada 2020. Dia mengatakan dana tersebut termasuk diantaranya untuk mendukung APBN yang membutuhkan dana dukungan penanganan covid-19. (Vivanews.com., 2/6/2020)
Namun, sejak wacana itu dilempar ke publik masyarakat banyak merespon dengan sikap menolak. Masyarakat meresahkan kalau-kalau pemerintah justru ingin mengambil untung dari dana masyarakat yang tertahan karena tidak jadi diberangkatkan. Banyak masukan dari berbagai elemen masyarakat mengenai dana yang tertunda itu. Mereka mengingatkan pemerintah agar tidak lalai dalam menjalankan kewajiban kepada para calon jemaah haji setelah memutuskan untuk tidak memberangkatkan kontingen haji tahun ini.
Dikutip dari tribunnews.com., (2/7) diwartakan bahwa Komnas Haji dan Umrah Mustolih Siradj meminta masyarakat untuk mengawal pengelolaan dana jemaah haji yang batal berangkat pada tahun ini. Hal ini menyusul keputusan Pemerintah yang membatalkan keberangkatan ibadah haji pada tahun ini. Pemerintah harusnya meninjau ulang rencana alih fungsi dana haji. Karena sampai saat ini belum ada regulasi yang secara jelas mengatur itu.
Terkait pembatalan haji sebenarnya dahulu ketika wabah melanda Makkah tahun 1837 ibadah haji 1837-1840 ditiadakan. Namun, alasan pembatalannyalah yang menjadi pertanyaan saat ini. Disini pemerintah tampak sangat terburu-terburu menetapkan pembatalan haji 2020. Pasalnya, pengumuman tersebut disampaikan sebelum pemerintah Arab Saudi memutuskan ada/tidaknya musim haji 1441H. Di sisi lain, negara tetangga, Malaysia justru masih menunggu keputusan dari Saudi Arabia. Tentu hal ini bisa berdampak besar bagi jamaah yang tertunda keberangkatannya. Keputusan ini juga membuat daftar tunggu yang semakin panjang. Hal ini juga bisa mempengaruhi sanksi dan kuota yang akan diberikan pemerintah Saudi di waktu yang akan datang. Pemerintah seperti cari-cari kesempatan dalam kesempitan.
Banyak pihak, baik dari DPR, tokoh masyarakat dan Ormas kompak mempertanyakan apa yang menjadi alasan pembatalan yang tergesa-gesa itu. Apa mungkin karena pemerintah tidak mau direpotkan dengan konsekuensi pelayanan jamaah di era pandemi. Karena kita tahu bahwa protokol kesehatan yang sangat ketat tentunya menjadikan mekanisme yang sedikit rumit. Intinya pemerintah tidak mau rugi.
Fenomena di atas merupakan hal yang wajar di negeri yang dipimpin sistem sekuler kapitalisme. Penguasa memisahkan antara urusan agama dan pemerintahan. Sehingga dalam mengambil keputusan pastinya bertentangan dengan syariat Islam. Harusnya pemerintah bisa lebih bijaksana dalam memandang suatu masalah. Apalagi penyelenggaraan haji sudah berlangsung dari tahun ke tahun.
Idealnya pemerintah memahami bahwa haji merupakan sebuah kewajiban bagi umat muslim. Oleh sebab itu, harusnya negara menjamin setiap warganya agar bisa menunaikan secara sempurna dan nyaman. Faktanya, di negara sekuler kapitalis, haji seperti dijadikan lahan basah untuk berbisnis dan ajang perebutan tender para kapital.
Sejarah mencatat, pada masa Kekhalifahan ‘Abbasiyyah, Khalifah Harun ar-Rasyid, membangun jalur haji dari Irak hingga Hijaz (Makkah-Madinah). Di masing-masing titik dibangun pos layanan umum, yang menyediakan logistik, termasuk dana zakat bagi yang kehabisan bekal. Sementara zaman Kekhalifahan Utsmaniah, dibangun sarana transportasi massal dari Istambul, Damaskus sampai Madinah untuk mengangkut jemaah haji. Dananya berasal dari pos pemasukan negara yaitu fa’i, pengelolaan kepemilikan umum, dan sedekah. Bukan dari biaya penyelenggaraan haji yang dikumpulkan dari calon jamaah.
Sementara sistem sekuler kapitalisme memiliki ciri yaitu materi di atas segalanya. Dana haji seenaknya diutak-atik. Penguasa memandang maslahat yang utama adalah memperkuat ekonomi, padahal pendanaan ibadah dengan pengurusan umat berbeda. Penguasa sangat tergiur dengan dana haji, namun ulama yang mengajarkan Islam dikriminalisasi. Miris.
Oleh karena itu, begitu karut-marutnya polemik terkait dana haji, dikarenakan negeri ini masih menganut asas sekuler kapitalisme. Asas inilah yang membuat penguasa lebih mementingkan ekonomi daripada penyelenggaraan ibadah. Pastinya penyelenggaraan haji yang baik dan sesuai hanya ada dalam sistem Islam yang diterapkan dalam bingkai daulah. Karena hanya Islam yang jeli menempatkan setiap persoalan dan tepat menentukan solusi.
Allah Swt. berfirman dalam Al Quran Surat Al Imran ayat 97 yang artinya: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam”. Wallahualam.
Oleh: Anggun Permatasari