Pengadilan Kapitalis Tambah Miris

Yeni Marlina

Melengkapi kekisruhan ditengah pusaran wabah yang belum kunjung teratasi. Karena memang fokus perhatian tidak tertuju secara serius menanggapi dan mencari solusi pandemi secara pasti. Sekalipun banyak kebijakan yang selalu diarahkan untuk alasan penanggulanan covid-19.

Semua bidang kehidupan sudah terseret ke ujung ambang kegagalan, ekonomi sedang mencari suntikan dana sana sini, sosial masyarakat sedang dihantui banyaknya kasus kriminal sebagian akibat dampak corona yang berkepanjangan, urusan sekolah maju mundur, yang terbaru keputusan pengadilan yang dinilai tidak adil oleh banyak pihak.

Iklan Pemkot Baubau

Pengadilan lagi-lagi mengeluarkan keputusan hukum yang menambah miris di hati. M Tentunya menuai banyak kontroversi. Baik dikalangan pegiat media sosial ataupun menjadi perbincangan masyarakat.

Kasus yang dialami Novel Baswedan sejak lebih dari tiga tahun lalu hakim baru ketok palu keputusan terhadap tersangka beberapa hari lalu.

Seperti yang diberitakan
gridhot.id, tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap terdakwa pelaku penyiram air keras kepada penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan, dianggap janggal.
Pasalnya, meski sudah menyerang hingga merusak indera penglihatan sang penyidik KPK, para terdakwa hanya mendapatkan hukuman ringan.

JPU Kejaksaan Negeri Jakarta Utara pada hari Kamis (11/6/2020) menuntut dua orang terdakwa penyerang penyidik KPK Novel Baswedan, Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette, selama 1 tahun penjara. Konon kedua terdakwa ini adalah oknum
polisi yang dianggap telah mencoreng nama baik Institusi Polri.

Menurut JPU, para terdakwa tidak sengaja menyiramkan air keras ke mata Novel. Keduanya disebut hanya akan memberikan pelajaran kepada saksi Novel Baswedan dengan melakukan penyiraman air keras ke badan Novel Baswedan.
Akan tetapi, di luar dugaan ternyata mengenai mata yang menyebabkan mata kanan tidak berfungsi dan mata kiri hanya berfungsi 50 persen dan menyebabkan cacat permanen. Kata tidak sengajapun akhirnya menjadi viral dan memicu banyak tanda tanya dibalik keputusan sang jaksa Robertino Fedrik Adhar Syaripuddin.

Ada ketimpangan yang menuai respon pembenaran atas ketidakadilan hukum dalam perkara yang sama. Muncul data-data kasus yang sama sejak tahun sebelumnya, seperti :
Hariyanto siram air keras ke istrinya vonis 20 thn (Juli 2019), Rika siram air keras ke suaminya vonis 12 thn (Oktober 2018), Ruslan siram air keras ke mertuanya vonis 10 thn (Juni 2018), Lamaji siram air keras Ke pemandu lagu vonis 12 thn ( Maret 2017). Sementara yg terbaru Novel Baswedan disiram air keras oleh oknum polisi vonis 1thn (Juni 2020).

Perbedaan yang sangat mencolok, dan sangat tidak realistis dari sebuah negara yang konon menyatakan diri sebagai negara hukum. Hukum buat siapa?. Bahkan banyak kasus-kasus keputusan hukum serupa, yang menunjukan ketidakadilan hukum. Untuk perkara sederhana di sanksi hukum berat, sekedar berbicara yang katanya dalam demokratisasi ada jaminan kebebasan berpendapat, ternyata salah-salah kata berurusan dengan jaksa. Sementara perkara berat hanya dengan sanksi ringan, seperti kasus diatas.

Dan sudah jamak diketahui keputusan masih tebang pilih keberpihakan hukum disesuaikan dengan kemauan pihak yang bisa mendominasi dalam persidangan. Sementara pertimbangan pengadilan berdasarkan produk hukum buatan manusia.
Inilah produk hukum yang lahir dari sistem kehidupan yang disandarkan kepada mabda Kapitalis. Sebuah ideologi yang lahir dari kebebasan akal manusia dalam menentukan aturan termasuk hukum dan perundang-undangan negara. Membuka pintu lebar sebagai legitimasi kepentingan. Peradilan tidak lagi berfungsi adil, bahkan menuai bentuk kezaliman yang sarat dengan kerugian banyak pihak. Segelintir orang di menangkan tidak jarang harus melanggar hak orang lain atas keadilan.

Kerusakan sistem kapitalis ini sebagai bukti ketidakmampuan hukum buatan manusia dalam menghasilkan produk hukum yang adil. Cara pandang sekulerisme yaitu kepercayaan pemisahan urusan agama dengan kehidupan terbukti membuat banyak kekacauan dan kerusakan.
 
Lain halnya dengan Islam, agama yang bersumber dari Allah SWT zat yang Maha Agung yang telah menciptakan bumi dan seisinya. Menurunkan aturan kehidupan atas segala makhluk ciptaan-Nya khusus untuk manusia yang telah dilebihkan akal dan akan diminta pertanggung jawaban kelak.

Teladan manusia pilihan Rasulullah Muhammad saw, yang telah diutus oleh Allah dalam membawa risalah Islam sebagai penyempurna seluruh risalah para Nabi dan Rasul. Telah mencontohkan sistem peradilan dalam berbagai perkara. Sistem peradilan Islam tidak mengenal prioritas tebang pilih, semua hukum wajib diterapkan untuk seluruh warga negara tanpa kecuali. Tidak membedakan antara pejabat negara, keluarga penguasa, pengusaha ternama, ataupun rakyat biasa semua mendapatkan keadilan yang sama. Karena standar dan sudut pandang keadilan adalah penerapan syariah bukan asas manfaat sebagaimana standar hidup yang dipelihara sistem kapitalis.

Bisa dilihat dalam bijaksananya para pemimpin Islam dalam menegaskan keputusan, pada masa Rasulullah ada keteladanan dan ungkapan yang menakjubkan :
“Seandainya Fatimah putri Rasulullah mencuri, Rasulullah sendiri yang akan memotong tangannya.” Bukan membelanya, sekalipun Fatimah adalah putri yang sang sangat beliau cintai. Begitupun keteladanan ketegasan khalifah Umar bin Khattab dalam penerapan hukum, Umar marah disaat gubernur Amr bin Al-Ash saat itu menjabat sebagai Gubernur Mesir yang menyalahi prosesi hukuman (had) kepada Abdurrahman bin Umar (putra khalifah Umar) yang minum khamr. Amr melaksanakan prosesi hukuman di dalam rumah, sementara hukuman peraturan syariat menuntut pelaksanaan sanksi disaksikan khalayak ramai. Maka khalifah Umar kembali memerintahkan untuk hukuman dilaksanakan terbuka di hadapan khalayak, tanpa memandang Andurrahman sebagai putra seorang khalifah. Begitupun prosesi kasus pengadilan antara khalifah Ali bin Abi Thalib dengan seorang yahudi tentang baju besi. Qadhi (hakim) Suraikh telah memberikan keputusan yang adil dengan memenangkan orang yahudi tersebut karena Ali tidak bisa mendatangkan saksi.

Begitulah representasi implementasi Islam dalam pengadilan, bahwa setiap masyarakat mempunyai persamaan dihadapan hukum Islam. Tidak mengenal nepotisme, apakah keluarga khalifah atau bukan, pejabat negara atau rakyat biasa. Tidak ada nepotisme dan intervensi hukum untuk meringankan hukuman apalagi menghapuskannya. Keputusan hakim mengikat, karna qadhi (hakim) adalah orang-orang terpilih yang mampu-faqqih fiddin-dalam menghukumi dengan landasan syariat.

Untuk itu, sekaranglah saatnya kaum muslimin menyatukan visi kembali kepada penerapan Islam Kaffah dalam bingkai Khilafah. Tinggalkan segala kerusakan sistem selain Islam.

Yeni Marlina, A.Ma
(Pemerhati Kebijakan Publik, Aktifis Muslimah)