Setelah menanti selama kurang lebih 3 tahun lamanya, akhirnya pada 11 Juni 2020 yang lalu, kasus penyiraman air keras pada penyidik KPK Novel Baswedan menemui satu titik baru. Namun bukannya mendapatkan titik terang atas putusan yang adil, ternyata Jaksa menuntut dua penyerang Novel Baswedan hanya dengan hukuman pidana selama 1 tahun penjara. Jaksa menyebut dua terdakwa yang menyiram air keras pada wajah merupakan hal yang tidak disengaja. Menurut jaksa, kedua terdakwa ini pun hanya ingin menyiramkan cairan keras ke badan Novel, yang kemudian mengakibatkan cacat permanen alias buta pada mata kirinya (detiknews.com). Tentu saja putusan Jaksa Penuntut Umum ini menuai berbagai respon yang beragam dari masyarakat. Jika menilik dari kasus ini, maka sebenarnya ada beberapa poin yang patut kita soroti bersama.
Yang pertama, yakni peradilan terhadap Novel tampak irasional dan cenderung hanya sekedar untuk memenangkan keinginan penguasa. Betapa tidak, putusan ini tentu terlihat berat sebelah dan penuh dengan kejanggalan. Salah satunya yakni dengan tidak diungkapnya aktor intelektualis di dalam berkas surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Tim advokasi Novel pun menduga bahwa kasus penyerangan ini akan berhenti pada pelaku di lapangan semata, dan tidak mengungkap siapa dalang besar sebenarnya yang ada di balik layar.
Disinilah tampak ketimpangan proses hukum yang berjalan, yang harusnya ini menjadi salah satu bagian dari pemberantasan korupsi yang sering digaungkan, namun pada kenyataannya justru jauh panggang daripada api.
Yang kedua, akibat kasus besar ini, akhirnya tak ada efek jera yang berbekas pada pelaku kejahatan dan peneror KPK yang lain. Bukan tidak mungkin kedepannya, akan semakin banyak yang berbuat kejahatan dan teror namun bisa bebas dan tidak merasakan rasa takut untuk menduplikasi atau bahkan mengulangi perbuatan terornya terhadap masyarakat, pegawai atau bahkan hingga pimpinan KPK yang berjuang dalam memutus mata rantai korupsi.
Lalu yang ketiga, kasus ini menyempurnakan bukti-bukti bahwa aspek kekuasaan demokrasi baik legislatif, eksekutif dan yudikatif, telah menunjukkan kegagalannya dalam memberantas tuntas korupsi yang menggurita serta gagalnya dalam mewujudkan tegaknya keadilan di negeri ini. Dari kasus ini pun kita dipertontonkan sebuah skenario, yang ternyata saat ini air keras kekuasaan pun tidak kalah menakutkan dari air keras yang dapat menyebabkan cacat fisik dan luka bakar.
Terlebih kekuasaan yang hanya digunakan untuk melanggengkan posisi dan kursi.
Yang keempat, hal ini kembali membuka mata rakyat, bahwa mencari keadilan dalam rezim demokrasi berbasis sekuler-kapitalis hanyalah ilusi semata. Proses hukum yang harusnya menghasilkan keadilan, tapi nyatanya telah cacat dan melukai hati rakyat. Tampaknya keadilan hanya tampak sebagai dagelan di negeri yang gemah ripah loh jinawi ini. Maka jangan kaget, jika keadilan sangat sulit didapatkan di dalam sistem sekuler-kapitalis.
Lantas jika sistem demokrasi tak mampu menghadirkan keadilan yang nyata, lalu dimana lagi kita bisa mendapatkannya? Jawabnya ialah hanya dalam sistem Islam.
Tentu kita sudah tak asing lagi dengan ketegasan dan keadilan kepemimpinan khalifah Umar bin Khattab. Kepemimpinan yang telah terbukti dapat menciptakan stabilitas hukum dan keadilan. Terdapat kisah menarik pada masa khalifah Umar bin Khattab yang patut menjadi pembelajaran para pemimpin dan juga pemangku hukum negeri ini. Beliau tak pernah pandang bulu dalam menegakkan keadilan. Tak ada hukum abu-abu, apalagi manipulasi.
Seperti yang terjadi pada kisah anak Gubernur Mesir Amru bin Ash yang mengikuti sayembara pacuan kuda. Merasa sebagai anak gubernur Mesir, putra Amru mengklaim lebih berhak menjadi juara, sedangkan lawannya yang berasal dari kalangan rakyat biasa pun tentu tidak menerima hal itu karena dinilai tidak adil. Merasa lebih berpengaruh, putra Amru bin Ash itu kemudian memukul lawannya dan ia berkata, “Terimalah ini sebagai hadiah bagi siapapun yang berani terhadap anak gubernur!” Berita ini pun terdengar hingga ke telinga khalifah, dan menjadikan beliau sangat marah. Amru bin Ash dan putranya itu pun dipanggil menuju Madinah. Pemuda Mesir yang dipukul itu disuruhnya untuk membalas dengan tindakan serupa. Bagi Umar, hal itu penting agar menjadi pelajaran bagi siapapun untuk tidak main-main terhadap rakyat. Beliau pun berkata, “Atas dasar apa kamu memukulnya, sedangkan ibu sang pemuda itu telah melahirkan dia dalam keadaan yang merdeka!?”.
Begitulah pemimpin yang lahir dalam sistem Islam dan menerapkan syariat-Nya, dengan serangkaian pedoman yang tentu saja sempurna tanpa cela, berbeda dengan hukum buatan manusia yang banyak rusak dan cela nya, dan lebih banyak menyakiti hati rakyat.
Oleh : Vikhabie Yolanda Muslim