Presiden Joko Widodo meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera. Dengan adanya PP Tapera, maka perusahaan atau pekerja akan dipungut iuran baru. Gaji para pekerja siap-siap akan dipotong 2,5 persen untuk iuran Tapera tersebut.
Pasal 15 dalam PP tersebut tertulis: “Besaran Simpanan Peserta ditetapkan sebesar 3 persen (tiga persen) dari gaji atau upah untuk peserta pekerja dan peserta pekerja mandiri”.
Kemudian, dari angka 3 persen tersebut, sebanyak 0,5 persen ditanggung oleh pemberi kerja dan sisanya sebesar 2,5 persen ditanggung oleh pekerja yang diambil dari gaji pegawai.
Peserta dana Tapera di PP terdiri dari pekerja dan juga pekerja mandiri. Golongan pekerja yang dimaksud meliputi calon PNS, anggota TNI, anggota Polri, pejabat negara, pekerja BUMN, pekerja BUMD dan pekerja dari perusahaan swasta. Sedangkan pekerja mandiri menjadi peserta dengan mendaftarkan diri sendiri kepada BP Tapera. Jika peserta mandiri tidak membayar simpanan, maka status kepesertaan Tapera dinyatakan non-aktif. (Viva, rabu, 03 Juni 2020)
Jika diamati lebih dalam, program ini sarat akan kepentingan ekonomi liberalisme. Alasan pemenuhan kebutuhan papan hanyalah bumbu semata. Hal ini terlihat dalam skema pengelolaan dana tapera yang akan di investasikan di pasar modal maupun pasar uang dengan pola kontrak investasi. Dana ini pun hanya bisa diambil setelah pensiun. Jika program ini benar-benar berjalan, lantas kemana pengelolaan keuangannya? Akankah tabungan ini akan disimpan begitu saja? Atau ada motif lainnya? Mengingat kondisi keuangan nasional saat ini sedang terpuruk.
Pandemi Covid-19 nyatanya membawa dampak besar ekonomi dunia maupun nasional. Akibatnya, negara pun perlu cari suntikan dana segar untuk menutupi defisit anggarannya. Setelah sebelumnya ada wacana penggunaan dana haji untuk menutupi kesulitan keuangan. Apakah nantinya ada jaminan bahwaTapera tidak digunakan?
Berbagai macam kemungkinan bisa terjadi saat ini. Bahkan di negeri yang korupsinya nomor 4 di Asia Tenggara ini, tidak bisa menjamin Tapera akan aman-aman saja. Jadi bisakah rakyat percaya 100% pengelolanya akan amanah?
Jika Tapera diwajibkan untuk semua kalangan khususnya Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), maka baik yang sudah punya rumah maupun belum punya akan dikenakan potongan yang sama. Bagi mereka yang telah punya rumah, tentu mereka bisa tetap mengajukan pinjaman untuk merenovasi. Pinjaman ini lewat bank. Meskipun penawaran suku bunganya rendah, tetap yang diuntungkan pihak tertentu. Yaitu para kapitalis.
Pemerintah melemparkan tanggung jawab pemenuhan kebutuhan tempat tinggal kepada anggota masyarakat dengan dalih sistem gotong royong berbentuk iuran tapera. Padahal pemenuhan rumah merupakan tugas dan kewajiban negara bukan anggota masyarakat. Diksi saling menolong dalam upaya memiliki rumah hanyalah kamuflase semata.
Situasi semacam ini pastilah membebani dompet rakyat. Beginilah jika aturan dibuat sesuai kebutuhan dan kepentingan kapitalis. Atas nama kesejahteraan rakyat, justru mereka yang dikorbankan. Sudahlah harus membayar berbagai macam pajak, ditambah dengan iuran Tapera.
Tentu hal ini sangat berbeda dalam sistem Islam. Sistem Islam menjadikan peran pemimpin sebagai periayah (pengurus) urusan rakyat. Amanah itu harus dijalankan dengan baik karena menyangkut urusan dunia dan akhirat. Seorang pemimpin yang bertakwa tak akan menyalahi tugasnya. Ia bahkan tak akan berani membebani rakyat dengan beban sekecil apapun.
Pemimpin bertakwa akan mengelola keuangan sesuai dengan pandangan Islam. Tak akan berani bermain-main dengan riba. Apalagi menjerumuskan rakyatnya pada dosa besar itu. Pemimpin yang beriman akan mendapatkan pemasukan utama dari mengelola SDA yang ada. Serta pemasukan dari fa’i dan kharaj seperti ghanimah, jizyah, kharaj, fa’i, status kepemilikan tanah, dan dharibah. Bukan hanya dengan mengandalkan pajak dan pungutan lainnya.
Hal tersebut merupakan paradigma kepemimpinan Islam. Yang hanya bisa dimiliki saat sistem Islam diterapkan. Atas dorongan takwa kepada Allah. Dalam sebuah kepemimpinan bernama khilafah. Bukan atas nama kepentingan dan kekuasaan.
Waallahu’alam bishawab
Oleh: Fatimah Azzaria (Aktivis Muslimah)