Keadilan Yang Dibutakan

Ronita Pabeta

Setelah menunggu selama tiga tahun, kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan akhirnya terungkap. Namun sebagaimana ramai diberitakan bahwa ternyata Jaksa Penuntut Umum (JPU) kasus tersebut hanya menuntut terdakwa dengan tuntutan satu tahun penjara. Hal ini mendapat perhatian publik termasuk Komisi Kejaksaan Republik Indonesia (KKRI).

Alasan jaksa memberikan tuntutan yang dinilai ringan oleh banyak pihak adalah bahwa kedua terdakwa tersebut tidak sengaja menyiramkan cairan keras ke badan Novel. Jaksa menyebutkan dalam surat tuntutan yang ia bacakan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada Kamis (11/6/2020), “Bahwa dalam fakta persidangan, terdakwa tidak pernah menginginkan melakukan penganiayaan berat. Terdakwa hanya akan memberikan pelajaran kepada saksi Novel Baswedan dengan melakukan penyiraman cairan air keras ke badan Novel Baswedan. Namun mengenai kepala korban. Akibat perbuatan terdakwa, saksi Novel Baswedan menjadi tidak berfungsi mata sebelah kirinya hingga cacat permanen”.

Iklan Pemkot Baubau

Lanjutnya alasan lain mengapa tuntutannya ringan hanya setahun adalah bahwa kedua terdakwa telah mengakui perbuatannya dan telah meminta maaf kepada Novel Baswedan dan keluarganya
(detiknews.com, 11/06/2020).

Hal ini tentu saja membuat publik heran dan takjub dengan tuntutan JPU yang dinilai ringan tersebut, sebab korban bukan saja mengalami cidera akibat “ketidak sengajaan” tersebut tetapi mengalami cacat mata/buta permanen. Seharusnya pihak JPU bisa melihat dampak yang sangat buruk yang dialami oleh korban, bukan hanya melihat faktor ketidak sengajaan yang diungkapkan oleh terdakwa.

Berbagai komentar pun muncul terkait hal ini. Salah satu komika Indonesia, Bintang Emon mengunggah video komentar dengan gaya komedi ke media sosial yang isinya mengkritik tuntutan ringan yang dijatuhkan pada terdakwa kasus penyiraman air keras ke Novel Baswedan. Video itupun viral dan disaksikan lebih dari 5 juta kali dan diretweet lebih dari 111 ribu kali. “Katanya nggak sengaja, tapi kok bisa sih kena muka? Kan kita tinggal di bumi. Gravitasi pasti ke bawah. Nyiram badan nggak mungkin meleset ke muka, kecuali pak Novel Baswedan emang jalannya handstand, bisa lu protes” ujar Bintang Emon seperti dikutip detikcom, Sabtu (13/06/2020). Namun yang terjadi setelah itu adalah fitnah yang dialaminya karena kritik yang dilakukannya.

Bintang Emon difitnah sebagai pemakai Narkoba. Hal tersebut tidak terbukti karena hasil tes yang dilakukannya negatif. Komentar lain datang dari Prof. Rocky Gerung, bersama para tokoh lainnya ketika menyambangi kediaman Novel Baswedan. “Saya sengaja datang ke sini, sengaja untuk melihat ada apa di balik butanya mata Pak Novel ini. Kita tahu Pak Novel sendiri sudah tidak peduli dengan butanya mata dia karena sudah bertahun-tahun. Jadi yang bahaya hari ini adalah tuntutan jaksa dimata publik dan mata keadilan” jelas Rocky, Minggu 14 Juni 2020 (vivanews.com).
Ketua Komisi Kejaksaan RI Barita Simanjuntak mengatakan, pihaknya bisa memahami kekecewaaan masyarakat atas tuntutan dalam perkara penyerangan terhadap Novel Baswedan. Pihaknya berjanji akan memberikan sejumlah rekomendasi setelah persidangan berakhir. Menurutnya, pertimbangan hakimlah yang akan sangat banyak menentukan apakah dakwaan dan tuntutan jaksa relevan dengan alat-alat bukti yang akan ditimbang oleh hakim. Barita berharap bahwa aspek keadilan publik terakomodasi secara profesional dan obyektif dalam proses penuntutan ini, setidaknya karena dua alasan. Pertama karena Novel Baswedan adalah aparat penegak hukum yang giat dalam pemberantasan korupsi, maka seharusnya mendapat proteksi maksimal dari negara. Kedua, pelakunya juga adalah para penegak hukum yang seyogyanya harus menjadi contoh ketaatan kepada hukum (liputan6.com, 14/06/2020).

Peradilan terhadap kasus penyerangan penyidik senior KPK Novel Baswedan dinilai irasional dan terkesan memihak kepada terdakwa. Kita tentu belum lupa dengan kasus penyerangan yang dialami Pak Wiranto. Pelaku penusukan dituntut 16 tahun penjara. Jika kita bandingkan dua kasus ini tentu kita bisa melihat ada kemiripan. Sama-sama penyerangan, terlepas dari berencana atau tidak dan alat yang digunakan saat menyerang. Akibat dari penyerangan itu, dikabarkan Pak Wiranto harus dirawat intensif di RSPAD Gatot Subroto Jakarta. Tentu jika melihat dampak dari dua kasus penyerangan ini jelas kita melihat bahwa kasus Novel Baswedan lebih berat dampaknya karena beliau harus mengalami kebutaan permanen dengan waktu perawatan yang lebih lama, intensif dan memakan biaya lumayan besar untuk melakukan beberapa kali operasi. Apakah dalam hal ini sudah adil jika terdakwa kasus Novel Baswedan hanya dituntut 1 tahun penjara sementara kasus Wiranto terdakwa dituntut 16 tahun penjara?

Sebagai seorang Muslim, tentu kita punya cara pandang khas untuk melihat ini. Keadilan dalam Islam hanya bisa terwujud jika kita mengambilnya dari Alquran dan Hadits. Dalam Islam nyawa seorang manusia sangat berharga termasuk kehormatan dan hartanya. Kita bisa melihat sebuah kasus yang menimpa seorang gadis Teheran 10 tahun yang lalu, Ameneh Bahrami yang disiram air keras oleh pria yang ditolak cintanya, maka pengadilan memutuskan bahwa ia berhak mendapat ganti rugi kurang lebih 350 juta rupiah. Namun ia menolaknya dan meminta pengadilan menyiram pelaku dengan air keras juga, dan pengadilan menerima permintaannya (kompas.com,17/06/2020).

Dalam Islam berlaku sanksi hukum/uqubat yang dijalankan sesuai dengan perbuatan pelaku kriminal. Sanksi hukum diberlakukan untuk dua tujuan. Pertama sebagai penebus dosa pelaku dengan ditegakkannya qishash terhadapnya sehingga Allah mengampuni dosanya. Kedua sebagai pencegah pelaku mengulangi perbuatannya dan orang lain yang punya niat sama akan berpikir untuk melakukan perbuatan yang serupa sebab qishash yang berlaku. Qishash adalah hukuman yang diterapkan pada pelaku dengan cara diperlakukan sama dengan apa yang pelaku lakukan terhadap korban. Dengan demikian qishash dapat menjaga kehidupan dari segala bentuk dan motif pembunuhan. Allah Subhanahuwata’ala menyebutkan hikmah ditegakkannya hukum qishash ini dalam firmannya yang artinya, “Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, wahai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertaqwa” (QTS. Al-Baqarah:179).

Dengan qishash tegaklah keadilan dan tertolonglah orang yang didzolimi, dengan memberikan kemudahan bagi wali korban untuk membalas kepada pelaku sebagaimana yang dilakukan terhadap korban. Begitu pula bagi pelaku, qishash dapat menjadi kafarat (penebus dosa) sehingga di akhirat kelak dia tidak akan dituntut lagi, tentu saja jika dia seorang Muslim. Maka sebagai orang yang diberikan akal untuk berpikir, sejatinya dari lubuk hati nurani terdalam kita bisa membandingkan hukum yang berlaku hari ini apakah sudah adil atau justru jauh dari ketidakadilan. Banyak kasus yang akhirnya hanya dimenangkan oleh orang-orang yang punya kekuasaan atau punya modal untuk membayar pengacara atau bahkan hakimnya. Tak bisa dipungkiri pula bagaimana peraturan yang ada bersifat tebang pilih dan bisa dibuat atau dihilangkan sesuai suara mayoritas tanpa melihat kemaslahatan/kebaikan secara umum, akhirnya belakangan barulah dirasakan dampaknya. Wallahu’alam bishawwab.

Oleh: Ronita Pabeta, S. Pd (Ibu Rumah Tangga, Pemerhati Sosial)