Sosok itu Terlalu Sempurna

Ainul Mizan

Hari itu begitu cerahnya. Suara burung berkicauan menambah semangat belajar. Seberkas cahaya sang Surya ikut menemani kami dalam kelas, menyusup dari celah jendela.

Pikiranku berkecamuk menerka – nerka kegiatan apa yang akan kami lakukan. Masih santer jadi pembicaraan kasus Charlie Hebdo. Kartun Nabi Muhammad SAW yang diturunkannya menuai protes yang meluas.

Iklan KPU Sultra

Di tengah lagi asyiknya melamun, terdengar suara mengetuk pintu kelas kami. Segera aku menyudahi lamunanku. Kami harus betul – betul menunjukkan sikap siap belajar. Guru sudah datang.

“Ok, bagaimana kabar kalian hari ini?”, sapa guru mengawali pelajaran.
“Baik… “, jawab kami serempak.
“Sekarang, tolong keluarkan buku gambar kalian..!”, perintah guru.

Anak – anak mengeluarkan buku gambarnya masing – masing. Tak terkecuali diriku.

Kira – kira kami akan diminta menggambar apa ya oleh guru. Satu per satu alat gambar kukeluarkan. Dari buku gambar, pensil, pewarna dan penghapus.

“Dengarkan baik – baik oleh kalian! Gambarlah sosok Nabi Muhammad di buku gambar kalian!”, perintah sang guru.

Bagai disambar petir, aku tersentak. Seolah tidak percaya dengan yang kudengar. Badanku terasa lemas seketika. Pandangan mata kami seakan bangun dari mimpi.

Menyadari gelagat demikian, sang guru menegaskan lagi perintahnya. Ya, kami tidak salah dengar. Kami harus menggambar sosok Nabi Muhammad Saw.

Aku memberanikan diri untuk angkat tangan. Tapi sebelum aku bicara, sang guru sudah memotong.
“Tidak boleh ada yang bertanya, apalagi protes. Lakukan saja. Jika sudah selesai, dikumpulkan di meja guru. Baru kalian boleh pulang”, penegasan sang guru.

Aku pun menurunkan tanganku. Ya, mau tidak mau, aku harus menggambar. Ya, menggambar sosok Nabi Muhammad. Aku ragu. Apa aku bisa melakukannya? Bagaimana mungkin aku bisa menggambar seseorang yang aku belum pernah sekalipun bertemu dengannya? Apakah teman – temanku punya pikiran yang sama denganku?

Aku masih asyik dengan pikiranku. Kertas gambarku masih bersih. Alat gambarku belum kupegang.

Andaikan boleh memilih. Aku akan pilih menggambar yang lain. Aku pernah lihat gedung putih di Washington, Colosseum di Roma, dan Menara Condong di Paris. Aku pernah lihat fotonya beberapa tokoh dunia seperti Nelson Mandela, Muhammad al Fatih, dan Sukarno.

Tugas ini terlalu berat. Aku tidak pernah lihat foto dan atau gambar Nabi Muhammad. Di Charlie Hebdo pun, aku tidak pernah lihat kartun Nabi. Aduh, pikiranku melayang – layang.

Hingga aku pun mulai membayangkan sosok ayah dan ibu di rumah. Ehh…, awalnya aku kaget. Kok bisa ingatanku tertuju pada ayah dan ibu. Apa aku sudah ingin segera pulang? Biar aku segera bisa istirahat dari tugas berat ini.

Senyum tulus ayah pulang dari kerja sebagai tukang becak, membuatku semangat menyambutnya. Senyum yang penuh cinta kasih dari ibu, membuatku bertekad untuk berbakti kepada mereka. Rasanya aku tidak ingin membuat kecewa mereka. Aku harus bisa membahagiankan ayah ibu.

Lalu bagaimana dengan senyum Nabi Muhammad Saw? Senyum ayah ibu saja sudah bisa membuatku bahagia dan bersemangat. Notabenenya keduanya adalah manusia biasa. Bagaimana aku bisa menggambar senyum Sang Nabi? Betul aku sudah pernah membaca riwayat hidup Nabi.

Para sahabat selalu menundukkan wajah di hadapan Nabi. Mereka tidak kuasa berlama – lama menatap kemuliaan wajah Nabi. Serasa bulan purnama membayang di wajah beliau Saw. Senyum beliau berhiaskan cahaya yang mencerahkan orang – orang di sekelilingnya. Tatkala Nabi memakai jubah berwarna merah, maka beliau terlihat lebih Indah dari bulan purnama.

Aduh…, aku mengeluh pada diriku sendiri. Gambaran riwayat tentang Nabi begitu sempurna. Rasanya aku tidak mampu untuk memvisualisasikan sosok Nabi di kertas gambarku ini. Buntu rasanya.

Lagi – lagi, ingatanku melayang pada riwayat sikap pema’af dan kemuliaan Sang Nabi.

Terbersit tanya pada diri, warna apakah yang bisa menggambarkan kemuliaan Sang Nabi? Apakah merah, kuning, hijau, biru dan lainnya? Rasanya aku sudah tidak berdaya untuk melakukannya.

Nabi Saw memaafkan begitu saja Datsur yang sudah mengancam nyawanya dengan pedang. Nabi Saw memaafkan begitu saja terhadap orang yang sering meludahinya sewaktu beliau Saw pergi dan pulang dari masjid. Bahkan beliau Saw yang menjenguknya pertama kali saat orang tersebut sakit. Sang Nabi dengan sabarnya menyuapi makanan pada orang tua Yahudi buta yang tak henti – hentinya menghina beliau. Sungguh sosok Nabi Saw adalah sosok yang terlalu sempurna.

Bel pulang pun berbunyi. Akhirnya aku menyerah. Aku tidak mampu menggambar sosok Nabi Muhammad Saw. Justru bila dipaksakan, hanya akan menurunkan kemuliaannya sebagai sosok agung nan mulia. Sosok yang dijadikan Allah SWT sebagai suri tauladan bagi manusia sepanjang jaman.

Dengan langkah mantap, aku mengumpulkan tugas. Kuselipkan kertas gambarku di bagian paling bawah. Aku sadar, guru akan menghukumku. Aku tidak melaksanakan tugas. Aku siap menerima hukuman. Segera aku melangkah keluar kelas.

Di ruang pribadinya, Sang guru memeriksa tugas gambar yang kami kumpulkan. Satu per satu diperiksanya. Hingga sampailah ia memeriksa kertas gambar terakhir. Ya, itu milikku.

Terlihat sang guru merenung. Di tangannya ada kertas gambarku. Pandangannya tertuju pada kalimat pesan yang kutulis di bagian bawah kertas gambar.

“Maafkan muridmu ini. Aku tidak mampu menggambar Nabi Saw. Aku sudah berusaha. Aku hanya mampu menulis nama Nabi Saw”. Ya, aku hanya menuliskan nama Muhammad dengan huruf Arab.

Sang guru tertegun mengamati tulisan kaligrafi Muhammad. Air matanya mengalir. Dengan sesenggukan, ia berucap: “Benar kau anakku, bagaimana bisa kita menggambar sosok mulia Nabi Muhammad Saw”.

Di depanku, Sang guru berpesan semoga kita semua diakui sebagai umat Nabi Muhammad Saw. Sekarang gantian, aku yang terisak menangis mengenang sosok Nabi SAW.

Oleh : Ainul Mizan (Penulis tinggal di Malang)