UKT Dalam Perspektif Sistem Pendidikan Kapitalis & Islam

Saima

Berbicara tentang biaya pendidikan di Indonesia terutama perguruan tinggi tak akan lepas dari berbicara tentang sistem yang berlaku di perguruan tinggi tersebut. Bagi perguruan tinggi Negeri standar pembiayaan kuliah yang dipakai sesuai dengan Permendikbud No. 55 Tahun 2013 Pasal 1 Ayat (3), yakni uang kuliah tunggal (UKT) merupakan sebagian biaya kuliah tunggal yang ditanggung setiap mahasiswa berdasarkan kemampuan ekonominya.

Iklan Pemkot Baubau

Setiap mahasiswa menanggung biaya kuliah per semester dan biaya tersebut sudah disubsidi oleh pemerintah. Pemberian subsidi didasarkan pada kondisi ekonomi dan sosial orang tua/wali mahasiswa.

Beberapa hari yang lalu sejak mahasiswa mulai turun aksi secara virtual dengan sejumlah tagar menjadi topik di berbagai sosmed, lebih detailnya, tagar: #MendikbudDicariMahasiswa dan #NadiemManaMahasiswaMerana yang sukses menjadi alat protes mahasiswa terkait kebijakan yang dikeluarkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim.

Saat itu, mahasiswa seluruh Indonesia menilai UKT terbilang masih meninggi di tengah pandemi. Padahal, aktivitas perkuliahan sudah dilakukan dalam bentuk belajar daring. Ini pun yang mengakibatkan banyaknya tuntutan yang bermunculan dari berbagai mahasiswa di perguruan tinggi yang ada diseluruh Indonesia. Salah satunya Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar yang melakukan unjuk rasa guna menuntut pembebasan UKT karena sebelumnya ada kebijakan rektor untuk meringankan beban mahasiswa seperti memberikan kuota gratis selama perkuliahan dalam bentuk belajar daring (Online) tetapi itu semua hanya iming-iming palsu belaka dan tidak terealisasi.

Alumni UIN Alauddin Makassar, Abdillah Mustari dalam keterangannya yang diterima Rabu (10/6/2020) mengatakan, aksi itu masih dapat disebut wajar dan realistis.
“Adik-adik mahasiswa demo menuntut UKT turun, itu menurut saya realistis, karena sebelumnya ada kebijakan rektor untuk meringankan beban mahasiswa namun tidak terealisasi,” Kata Abdillah Mustari.

Kemudian Aliansi mahasiswa UIN Walisongo Semarang melaksanakan aksi menuntut kebijakan kampus tentang keringanan Uang Kuliah Tunggal (UKT) atas dampak Covid-19 pada Rabu (18/06/2020).

Menurut Munif Aksi ini berangkat dari kebijakan kemenag dan kampus No. 2640/Un.10.0/R/PP.06/06/2020 tentang keringanan uang Kuliah Tunggal atas dampak bencana Covid-19 yang dinilai kurang sesuai karena bakalan ada mahasiswa mangkir. “Dulu kita kenal Kemenag PHP, kemudian Dema dan Sema Fakultas melayangkan kuisioner kita temukan sekitar 800-900 Mahasiswa terancam tidak bisa melanjutkan kuliah karena faktor ekonomi menurun saat pandemi,” Ujar korlap aksi.

Dari berbagai tuntutan-tuntutan di atas pemerintah seharusnya tidak diam seperti orang bisu. Kenapa? Karna kita ketahui bahwa ekonomi dimasa pandemi sekarang tidak dalam kondisi baik-baik saja, apalagi kondisi ekonomi rakyat bawah itu sudah hampir melarat.

Ini juga yang kemudian membuat sistem pendidikan hingga hari ini tidak baik-baik saja, karena paham sistem kapatalisme-sekulerisme selalu mengutamakan materi untuk diri sendiri (para penguasa) tanpa mau memikirkan kemaslahatan bagi umat (rakyat).

Kemudian daripada itu pemerintah bukannya berperan untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa melainkan pemerintah malah menyusahkan kehidupan berbangsa demi kepentingan pribadi, dengan UKT yang terbilang mencekik para calon mahasiswa (i) yang kerap mengkhawatirkan biaya. Jangan sampai karena hal tersebut, ada mahasiswa yang tidak bisa kuliah karena kesulitan UKT. Ini yang kemudian menjadi salah satu penunjang serta problem cacatnya dunia pendidikan kita hari ini.

UKT yang dimaksudkan untuk meringankan beban mahasiswa ternyata merupakan himpunan batu yang akan membuat Indonesia masih akan berkutat dengan liberalisme karena harus menyediakan ‘lapak’ bagi asing untuk menguasai pendidikan tinggi setelah kerjasama yang dilakukan dengan PT.

UKT yang dibayarkan para mahasiswa pun sebagai perwujudan lepas tangan pemerintah. Mengapa demikian? UKT tinggi membiayai UKT yang rendah. Sama halnya dengan subsidi BPJS. Artinya yang membiayai orang tidak mampu adalah para mahasiswa itu sendiri. Jadi, peran pemerintah dimana dalam hal ini?

Berbeda dengan sistem pendidikan Islam Rasul Saw. mengajarkan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits kepada para sahabat. Nabi saw. akan mengulang bacaan ayat al-Qur’an dan hadits tersebut sebanyak tiga kali hingga para sahabat bisa menghafal dan memahaminya.

Menurut J. Pedersen dalam tulisannya dalam Madrasa in Encyclopaedia of Islam, sejak kemenangan umat Islam dalam Perang Badar, Nabi saw. mengirimkan beberapa orang penduduk Makkah untuk mengajarkan keterampilan menulis kepada penduduk Madinah. Nabi juga mengirimkan guru untuk mengajarkan al-Qur’an dari kalangan sahabat. Namun, kegiatan belajar pada saat itu belum dilaksanakan dalam sebuah lembaga pendidikan yang terorganisasi seperti sekarang. Bahkan, para pelajarnya pun tidak menggunakan sistem baca tulis, melainkan hanya dengan hafalan. Tulisan hanya dipergunakan untuk menulis al-Qur’an, sedangkan hadits Nabi tidak diperkenankan. Rasul mengajar pada sekolah kehidupan yang luas tanpa di batasi dinding kelas.

Rasulullah memanfaatkan berbagai kesempatan yang mengandung nilai-nilai pendidikan dan Ia juga menyampaikan ajaran-Nya dimana saja seperti di rumah, di masjid, di jalan, dan di tempat-tempat lainnya.

Itulah sistem pendidikan Islam selalu menyederhanakan yang rumit dan memberikan pemahaman kepada orang yang tidak paham kapan saja dan dimana saja tanpa negosiasi serta memprioritaskan tidak lain tidak bukan hanya untuk kemaslahatan bagi umat, sekalipun tanpa biaya. Tidak seperti sekarang walau mahasiswa (rakyat) sengsara akibat pandemi! Siapa yang peduli.

Perguruan tinggi (PT) butuh sebuah paradigma baru untuk ke luar dari kungkungan ini. Komersialisasi pendidikan akan membuat PT hanya akan bisa diakses oleh mereka yang punya uang saja. Apa kabar rakyat menengah? Padahal semua rakyat punya hak dalam akses pendidikan. Tentu ini semua karena terterapkannya sistem Kapitalisme di Negeri Pertiwi. Sehingga untuk ke luar dari kungkungan ini, seyogianya kita mengambil aturan Allah sebagai aturan kehidupan. Sehingga menjadi Rahmatan Lil Alamin. Wallaahu a’lam.

Oleh: Saima
(Jurusan Ilmu Perpustakaan UIN Alauddin Makassar)