Dilema Pedagang Pasar: Terhimpit Ekonomi atau Jadi Korban Pandemi

Anggun Permatasari

Pasar merupakan salah satu fasilitas penting bagi masyarakat. Pasar adalah tempat terjadinya hubungan sosial dan infrastruktur, lokasi penjual dan pembeli melakukan aktivitas ekonomi. Begitu tingginya mobilitas orang-orang di sana, sangat memungkinkan pasar menjadi tempat rawan penularan covid-19.

Menurut data Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI) tercatat 529 orang pedagang positif virus corona. Dari jumlah itu, 29 di antaranya meninggal dunia. Tak ayal, pasar dianggap menjadi kluster baru penyebaran covid-19. Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Muhadjir Effendy mengakui pasar menjadi tempat kerumunan yang paling rawan. Potensi untuk menjadi kluster penyebaran corona sangat tinggi. (Oke News, 13 Juni 2020)

Iklan KPU Sultra

Temuan tersebut membuat pasar di sejumlah daerah ditutup. Di Padang, Sumatera Barat, pertengahan April lalu Pasar Raya sempat ditutup lima hari oleh pemerintah setempat. Pasar tradisional itu disebut klaster kasus covid-19 karena, puluhan orang, baik pedagang dan pembeli, dinyatakan positif tertular virus corona.

Sekitar awal Mei, Pasar Jojoran di Surabaya, Jawa Timur ditutup pemerintah kota karena seorang pedagang meninggal setelah positif terpapar covid-19. Pasar lainnya di Buleleng, Bali, sebuah desa berpenduduk sekitar 11 ribu orang ditutup akibat pasar tradisional menjadi kluster kasus covid-19. (bbc.com., 5/5/2020)

Sebaran virus di pasar diduga karena pedagang tidak mematuhi protokol kesehatan. Dilansir dari laman BBC.com., 5/2020), Pasar Senen yang merupakan salah satu pasar tradisional terbesar di Jakarta beroperasi normal. Walaupun, berada di wilayah dengan pembatasan sosial berskala besar, sangat sedikit pedagang yang terlihat mengenakan masker wajah. Imbauan jaga jarak pun tampak diabaikan karena para pedagang dan pembeli saling berhimpitan di gang-gang pasar yang sempit. Sejumlah orang bersin tanpa menutup wajah mereka dengan siku.

Namun, dilihat dari fakta tersebut, sungguh malang nasib para pedagang di masa pandemi, harus menghadapi dilema tidak terperi. Mereka bingung, apakah harus berhenti berjualan yang berarti mengalami himpitan ekonomi atau tetap berdagang dengan risiko terpapar virus. Dilematis tersebut dipicu inkonsistensi kebijakan pemerintah. Pemerintah tidak serentak melakukan karantina wilayah. Di kala pandemi belum usai, pemerintah justru menerapkan pelonggaran PSBB. Pemerintah baru menutup fasilitas umum jika ditemukan kasus positif covid-19. Sehingga, masyarakat banyak yang meremehkan himbauan untuk tetap berada di rumah.

Pemerintah menerapkan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) tetapi tidak menjamin kebutuhan rakyat selama masa isolasi. Maka, jangan salahkan masyarakat apabila nekat keluar rumah demi mendapat penghidupan. Sejatinya rakyat butuh jalan keluar dari kebijakan social distancing. Seperti teknis bagaimana para pedagang berjualan. Apakah dilakukan secara bergantian, misalnya dibuat jadwal atau tempat yang dikondisikan agar masyarakat pada saat berbelanja tetap aman dan nyaman. Pemerintah juga minim dalam penyediaan sarana tes kesehatan bagi pedagang. Tes kesehatan baru dilakukan sesudah ada temuan warga terjangkit atau meninggal.

Edukasi yang utuh juga belum sepenuhnya diberikan kepada warga. Idealnya aturan protokol kesehatan bukan hanya sekadar himbauan agar patuh, tetapi juga butuh pendekatan sosial agar sadar protokol sehat dan pemerintah memberikan solusi terhadap konsekuensi dari himbauan tersebut.

Harusnya, dengan kebijakan karantina wilayah pemerintah memenuhi semua kebutuhan dasar masyarakat. Selain itu, pemerintah harus bisa meyakinkan warga terkait kondisi perekonomian negeri yang pasti. Niscaya mereka dengan sendirinya mematuhi aturan yang berlaku. Hendaknya pemerintah ketika mengeluarkan kebijakan harus adil dan mempertimbangkan aspirasi masyarakat. Fenomena yang terjadi, justru ketentuan yang berlaku timpang atau berat sebelah. Mall atau supermarket dibiarkan beroperasi tanpa pengawasan ketat, sedangkan pasar-pasar dijaga. Keselamatan rakyat harus diutamakan ketimbang dalih apapun apalagi kemajuan ekonomi.

Rasulullah SAW menegaskan, “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang kepemimpinannya. Pemimpin negara yang berkuasa atas manusia adalah pemimpin dan ia akan ditanya tentang kepemimpinannya. Seorang lelaki/suami adalah pemimpin bagi keluarganya dan ia akan ditanya tentang kepemimpinannya. Wanita/istri adalah pemimpin terhadap keluarga suaminya dan anak suaminya dan ia akan ditanya tentang mereka. Budak seseorang adalah pemimpin terhadap harta tuannya dan ia akan ditanya tentang harta tersebut. Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang kepemimpinannya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Semoga dengan kesadaran penuh masyarakat dan kebijakan yang tepat dan memberi solusi, pandemi segera berakhir berganti kebahagian bagi semesta. Wallahualam.

Oleh: Anggun Permatasari