Quovadis Keadilan Hukum dalam Demokrasi

Anis Sitti Maryam

Publik kembali dibuat heran dan kecewa saat putusan pengadilan dikeluarkan atas kasus penyiraman Novel Baswedan, salah satu penyidik KPK yang matanya disiram air keras oleh pelaku tak dikenal. Pasalnya, hukuman satu tahun bagi pelaku penyiraman, dianggap tidak sepadan dengan kejahatan yang dilakukan alias tidak adil.

Hal ini juga diungkapkan oleh mantan ketua KPK Abraham Samad. Dilansir dari Liputan6.com, Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham Samad menilai tuntutan satu tahun penjara yang dilayangkan jaksa penuntut umum ke dua terdakwa teror air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan aneh.

Iklan KPU Sultra

Dia menganggap tuntutan ini melukai rasa keadilan dalam hukum. “Menurut saya tuntutan ini aneh dan melukai rasa keadilan hukum, khususnya NB (Novel) dan keluarga,” ujar Abraham Samad dalam keterangan tertulisnya, Jakarta, Sabtu (13/6/2020).
Tak ayal pengamat politik Rocky Gerung mengibaratkan air keras yang digunakan pelaku saat menyiramkan ke mata penyidik KPK Novel Baswedan adalah air keras kekuasaan. Untuk itu, ia meminta agar mata publik tidak buta dengan proses peradilannya. Memang menjadi pertanyaan besar, kenapa bisa kekuasaan di negeri ini belum bisa menghadirkan keadilan di mata rakyatnya.

Padahal kekuasaan di negeri ini dibangun berdasarkan prinsip demokrasi yang katanya pro rakyat. Nyatanya, berharap keadilan pada demokrasi ini justru hanya akan menjadi ilusi. Karena demokrasi dibangun atas landasan sekulerisme yakni pemisahan agama dari kehidupan, yang artinya menihilkan peran agama dalam sektor publik, salahsatunya sistem peradilan. Penentuan standar benar salah akan sangat tergantung pada persepsi manusia.

Sedangkan fitrahnya manusia butuh diatur dengan standar hukum benar salah dari sang pencipta, karena hanya standar hukum buatan penciptalah yang dapat menciptakan kedilan yang hakiki, bukan keadilan yang bisa ditarik oleh kepentingan tertentu. Atau bahkan keadilan ini hanya akan berpihak pada segelintir orang yang berkuasa dan bermodal saja.

Dalam Islam, kerusakan salah satu organ tubuh manusia dikategorikan sebagai sanksi jinayat. Penyerangan terhadap Novel Baswedan hingga hilang penglihatan termasuk dalam jinayat (penganiayaan terhadap badan) yang mewajibkan diyat (denda) sesuai kadar yang ditetapkan syariat Islam.

Untuk satu biji mata dikenakan ½ diyat. Ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW, “Pada dua biji mata dikenakan diyat.” Dalam riwayat Imam Malik dalam Muwattha’, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga besabda, “Pada satu biji mata, diyat-nya 50 ekor unta.”
Sistem sanksi dalam Islam memilki dua fungsi, yaitu sebagai zawajir; mencegah orang-orang berbuat kriminal dan dosa; kedua, sebagai jawabir, penebus dosa atas dosa dan siksaannya di akhirat kelak. Dua fungsi ini membuktikan betapa Islam begitu menghargai dan menjaga nyawa, jiwa, anggota badan, harta, rasa aman, dan keadilan.

Sudah saatnya kita terapkan sistem hukum Islam yang bersumber dari sang pencipta yakni Alloh SWT. Sistem peradilan dalam Islam bersumber dari Al Qur’an dan Assunnah. Sistem peradilan ini telah terbukti ampuh memberikan rasa keadilan bagi warga negaranya, serta manusia pada umumnya. Sistem peradilan ini tidak bisa dilepaskan dari penerapan tatanan Negara yakni Khilafah Islamiyah yang telah terbukti memberikan rasa keadilan dan keamanan selama belasan abad diterapkan di dunia. Sistem negara yang berlandaskan Islam ini diterapkan dari semenjak masa Rosululloh, Khulafaur Rasyidin, hingga para Khalifah stelahnya pada masa Bani Umayyah, Abbasiyah, dan terakhir Utsmaniyah.
Wallahu’alam bi Shawwab.

Oleh: Anis Siti Maryam
(Ibu Rumah Tangga)