Kehidupan di tengah wabah pandemi benar-benar sulit, sebab masyarakat tidak hanya harus berjuang agar terhindar dari penularan Covid-19, akan tetapi mereka pun harus selamat dari masalah lain yang acapkali berkelindan di tengah umat. Salah satunya adalah kasus kekerasan seksual pada anak.
Sebagaimana yang terjadi pada sebagian anak di Cirebon, Jawa Barat, kini menghadapi ancaman ganda. Covid-19 mengintai anak-anak di luar rumah. Sedangkan di dalam rumahpun ada ancaman lain yang tak kalah mengerikan, yang dilakukan orang-orang terdekat.
Bocah A usia lima tahun asal Kecamatan Ciwaringin, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, kini harus menanggung beban berat. Di tengah pandemi Covid-19, keceriaan masa kecilnya direnggut setelah diperkosa tetangganya sendiri. (Kompas.id, 17/6/2020)
Kapolresta Cirebon Kombes Pol M Syahduddi didampingi Waka Polresta AKBP Arief Budiman, Kasat Reskrim AKP Anton dan kasubag Humas Iptu M Soleh mengatakan, kasus asusila dan kekerasan terhadap anak di bawah umur di Kabupaten Cirebon meningkat pada tahun 2020 dibandingkan dengan tahun sebelumnya. (Pikiranrakyatcirebon, 7/6/2020)
“Kasus perbuatan cabul terhadap anak di bawah umur selama Januari hingga Juni 2020 total kasus yang kami tangani 24 kasus, kemudian kekerasan terhadap anak sebanyak 6 kasus, kekerasan dalam rumah tangga 1 kasus, bawa lari anak orang ada 1 kasus, perdagangan orang ada 2 kasus, dan perkosaan ada dua kasus,” ungkapnya saat menggelar expose kasus, Jumat 5 Juni 2020.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Daerah Kabupaten Cirebon juga menyatakan hal serupa, bahwa kasus kekerasan anak di Cirebon masih tampak sebagai fenomena gunung es. Terlihat sedikit, tetapi kerap terjadi. Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polresta Cirebon, menangani 38 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sejak Januari hingga Mei 2020. Dari jumlah itu, 26 kasus merupakan pencabulan/pemerkosaan dan 6 kasus kekerasan anak.
Jumlah kasus dalam lima bulan pertama 2020 itu hampir mencapai setengah kasus kekerasan anak dan perempuan di Cirebon tahun lalu yang mencapai 90 kasus. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sejak 1 Januari hingga 12 Mei 2020 menerima laporan 1.201 kasus kekerasan terhadap perempuan dan 1.526 kasus kekerasan terhadap anak. Dari jumlah ini, 1.213 perempuan menjadi korban. Mayoritas kasus berupa kekerasan dalam rumah tangga (Kompas.id, 15/6/2020).
Hal ini mendapat perhatian Legislator DPRD Jabar, Hj Sri Rahayu Agustina Suroto saat datang ke Cirebon. Bersama beberapa anggota lain yang tergabung dalam Pansus 4 DPRD Jabar sengaja ke Cirebon untuk mencari input berkaitan dengan Pembahasan Raperda Penyelenggaraan Perlindungan Anak.
“Fenomena ini hampir sama dengan di kabupaten/kota lainnya di Jawa Barat. Harusnya, anak-anak mendapatkan perlindungan dan haknya secara normal. Ini yang kemudian nantinya akan menjadi pembahasan kami untuk penyusunan Raperda Penyelenggaraan Perlindungan Anak. Raperda ini merupakan revisi dari Perda nomor 5 tahun 2006,” kata Mak Sri.
Eksploitasi anak dengan menjadikannya sebagai obyek seperti, pengamen, peminta-minta, serta kurangnya ruang bermain bagi anak adalah persoalan lain yang juga perlu segera mendapatkan penanganan. Karenanya, revisi ini diharapkan untuk kepentingan anak, melindungi mereka dari kekerasan dan diskriminasi serta hak untuk kelangsungan hidup dan tata pemerintahan yang baik.
Namun sayangnya, selama revisi tersebut masih merupakan produk berpikir sekularisme, maka akan sulit mencapai hasil maksimal. Ketiadaan perlindungan terhadap anak, bukan hanya disebabkan payung hukumnya yang keliru. Namun lebih kepada sistem pengurusan masyarakat yang tidak tuntas menyelesaikan persoalan hingga ke akarnya.
Tanpa adanya pengurusan yang baik dari negara, maka kemiskinan, kebodohan, dan kesempitan akan terus menyelimuti kehidupan masyarakat. Sejahtera menjadi sesuatu yang sulit dicapai. Di berbagai lini, masyarakat terhimpit beban hidup. Pada akhirnya, tugas dan tanggung jawab masing-masing peran di dalam rumah tangga pun menjadi rancu. Semua orang digerakkan untuk mencari uang, demi sesuap nasi. Maka tak heran jika institusi keluarga mudah retak, anak-anak tanpa penjagaan.
Sementara, aroma kebebasan memenuhi atmosfer kehidupan kaum muslim. Tayangan pornografi dan pornoaksi, seolah dibiarkan masuk oleh negara, tanpa kendali. Alhasil siapapun dengan mudahnya mengakses konten porno, kekerasan, dan kerusakan dari genggaman tangan mereka. Masuk dengan leluasa melalui gadget, televisi, film, bacaan, media sosial, hingga akhirnya memenuhi ruang berpikir masyarakat.
Akibatnya, hilang akal untuk menimbang baik dan buruk. Tidak mampu lagi mengukur dengan benar. Nalarnya menjadi tumpul. Akal tidak tegak di atas keimanan yang kokoh. Maka anak-anakpun menjadi korban. Makhluk kecil yang tidak berdaya, yang seharusnya mendapat perlindungan, tak luput dari serangan. Mereka justru dieksploitasi habis-habisan. Bukti bahwa sekularisme selalu tak henti-hentinya memakan korban.
Jika rusak anak-anak bangsa, maka siapa yang akan membangun negeri ini. Sementara di tangan merekalah harapan kebangkitan umat disematkan. Maka tidak ada cara lain untuk melindungi generasi selain dengan mengganti sistem pengurusan umat ala sekularisme, dengan Islam. Di dalam Islam, hak manusia mendapat dijaga oleh negara, baik itu akal, jiwa, kepemilikan, keamanan, keturunan, kehormatan, agama, negara.
Penguasa bertanggung jawab kepada Allah, terhadap kepengurusan umat, mereka kelak akan ditanya. Karenanya mereka mau tidak mau harus terikat dengan hukum Allah. Perlu upaya sistemik untuk memperbaiki kerusakan yang tumbuh di tengah masyarakat, dan itu merupakan area penguasa. Maka tidak cukup hanya dengan merevisi aturan namun tanpa dibarengi menutup pintu-pintu kebebasan.
Pemikiran umat perlu dijaga, agar lahir darinya aktivitas yang bernilai surga. Begitu pula halnya dengan arah pandang bangsa agar tujuan seluruh perbuatan, hanya untuk mendapat rida Allah. Jika hal ini diterapkan dari pemegang kebijakan tertinggi hingga masyarakat akar rumput, tentu akan mudah memberi ruang yang aman bagi anak. Yaitu sebuah negeri di mana anak-anak mendapatkan hak-haknya, hingga mereka tumbuh menjadi manusia-manusia unggulan, para pemimpin peradaban gemilang. Wallahu ‘alam bish showab.
Oleh : Lulu Nugroho, Penulis dari Cirebon