Membatasi Masa Kepemimpinan Kepala Negara, Urgenkah?

Ainul Mizan

Di periode ke-2 ini, masa kepemimpinan Jokowi seharusnya berakhir di 2024. Akan tetapi, telah muncul wacana memperpanjang masa kepresidenan menjadi 8 tahun. Hal tersebut diusulkan oleh MPR. Jadi masa jabatan Jokowi hingga 2027 (www.manado.tribunnews.com, 22 Nopember 2019).

Gayung bersambut. KPU menyebutkan bahwa kemungkinan pemilu serentak 2024 akan diundur menjadi 2027 (www.cnnindonesia.com, 23 Juni 2020).

Iklan Pemkot Baubau

Membatasi masa kepemimpinan seorang kepala negara memang harus dilakukan. Tanpa pembatasan, tentunya dikhawatirkan akan terjadi kekuasaan adigang adigung adiguna. Kepala negara menjadi tirani bagi rakyatnya.

Dalam sistem Demokrasi, kepala negara dibatasi dengan waktu tertentu. Di AS, masa jabatan presiden adalah 4 tahun. Berhak menjabat untuk 2 periode. Sedangkan di Indonesia sendiri, masa jabatan presiden adalah 5 tahun. Bisa dipilih kembali hanya untuk 1 periode berikutnya.

Membatasi waktu untuk kepala negara sangat urgen dalam Demokrasi. Dengan begitu akan ada pergiliran kepemimpinan dan kesempatan yang sama bagi rakyat untuk dicalonkan sebagai kepala negara. Seolah dengan pembatasan waktu, kedholiman pemimpin akan bisa dicegah.

Sesungguhnya realitas kepemimpinan negara itu dilihat dari sistem apa yang digunakan seorang kepala negara untuk mengatur negara. Sistem Demokrasi telah meletakkan kedaulatan di tangan rakyat. Sementara kedaulatan itu adalah kekuasaan tertinggi yang berhak mengeluarkan hukum halal dan haram atas benda serta perbuatan manusia. Artinya, di dalam Demokrasi yang menentukan hukum adalah manusia. Tentunya manusia dalam menetapkan hukum dipengaruhi oleh kepentingannya.

Rakyat dalam menjalankan kedaulatannya diwakilkan kepada lembaga MPR dan DPR. Di sinilah, seringkali atas nama kedaulatan rakyat, keputusan hukum yang mereka telorkan jauh dari rasa keadilan. Ambil contoh RUU HIP. Setelah mendapat protes yang meluas, ketua MPR malah menyarankan mengganti nama menjadi RUU PIP (Pembinaan Ideologi Pancasila).

Tentunya wakil – wakil rakyat di MPR dan DPR bisa melihat kegagalan Presiden Jokowi. Dari utang negara yang menumpuk, pertumbuhan ekonomi yang stagnan, angka kemiskinan dan kelaparan yang tinggi, penjajahan asing yang semakin kuat terutama dari China, kriminalisasi suara – suara kritis dan lainnya. Mestinya mereka mewakili rakyat agar berjuang bagi kesejahteraannya. Akan tetapi justru mengusulkan perpanjangan masa kepresidenan hingga 8 tahun. Kami paham di sini, MPR/DPR sebagai wakil rakyat adalah isapan jempol belaka.

Ditambah lagi, dengan pembatasan waktu bagi penguasa menyebabkan rakyat disibukkan dengan seringnya terjadi prosesi pemilu. Dari pilkada, pileg hingga pilpres. Artinya uang negara banyak dihamburkan untuk pelaksanaan pemilu tersebut. Belum lagi untuk mencalonkan dipersyaratkan dengan sekian biaya pendaftaran. Diakumulasikan dengan biaya kampanye, tentunya sangat besar mahar pemilu. Akhirnya ketika menjabat, pola pikirnya adalah bagaimana mengembalikan biaya yang telah dikeluarkannya. Adapun memikirkan rakyat tidaklah menjadi perioritas kepemimpinan dalam sistem Demokrasi.

Berbeda halnya di dalam sistem pemerintahan Islam. Islam telah menaikkan level berpikir para pemimpin dan rakyatnya. Pembatasan masa kepemimpinan bukan dengan waktu tertentu. Akan tetapi pembatasan masa kepemimpinan kepala negara pada akad pengangkatannya.

Akad pengangkatan kepala negara dalam Islam adalah dalam rangka melaksanakan hukum dari Al – Qur’an dan Hadits Nabi. Selama kepala negara konsisten dalam hukum Islam, tentunya ia masih berhak untuk memegang kekuasaan. Sebaliknya, bila ia melenceng dari hukum Islam, tentunya kekuasaannya tidak ada alasan untuk dipertahankan. Karena dengan melenceng dari Islam, ia telah melakukan kedholiman. Dan kedholiman terhadap rakyat tidak boleh dibiarkan begitu saja. Qadhi Madhalim yang berhak untuk menghentikan jabatan seorang kepala negara.

Jadi yang urgen adalah merubah pola berpikir rakyat negeri ini. Dari pola berpikir yang rendah menuju ketinggian pola berpikirnya. Rakyat harus menyadari dengan baik bahwa pembatasan kekuasaan dengan waktu tertentu dalam sistem Demokrasi hanya mengalihkan rakyat dari satu kedholiman menuju kedholiman lainnya. Nilai halal dan haram tidak menjadi ukuran dalam Demokrasi.

Ketinggian pola berpikir itu terletak pada tingkat ketundukan pada aturan Sang Maha Pencipta, Allah SWT. Ketundukan pada Allah SWT inilah yang menjadi ukuran kehidupannya di ranah individu, keluarga, masyarakat dan negaranya. Demikianlah akan bisa diwujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang menyejahterakan.

Oleh : Ainul Mizan (Pemerhati Sosial Politik dan Penulis tinggal di Malang)