Program Tapera, Beban atau Berkah?

Adhim Ummu Khansa

Pengesahan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera oleh Presiden Joko Widodo (20/05) menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Terlebih lagi waktu pengesahannya dilakukan pada saat pandemi Covid-19, sehingga terkesan abai terhadap kebutuhan rakyat di tengah terpuruknya perekonomian. Akhirnya, timbul banyak dugaan bahwa Tapera merupakan salah satu usaha pemerintah untuk mendapatkan dana segar dari masyarakat.

Tabungan Perumahan Rakyat atau yang disingkat dengan Tapera sendiri merupakan amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016. Tapera dibentuk untuk tujuan membantu pembiayaan perumahan bagi para pekerja. Juru bicara kepresidenan, Fadjroel menyebut program ini adalah bentuk gotong royong dalam memenuhi kebutuhan rumah dan kewajiban konstitusi. Sebab, Pasal 28 ayat 1 UUD 1945 mengamanatkan bahwa setiap orang berhak memiliki tempat tinggal. “Kebijakan ini merupakan manifestasi komitmen Presiden Jokowi untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia Indonesia, yaitu kebutuhan papan,” kata Fajdroel dalam keterangan resmi di Jakarta, Jumat, 5 Juni 2020. (bisnis.tempo.co)

Iklan Pemkot Baubau

Menurut Deputi Komisioner BP Tapera Eko Ariantoro dalam keterangan tertulisnya, “Program serupa Tapera sudah lazim dilaksanakan di berbagai negara, seperti Singapura, Malaysia, China, India, dan Korea Selatan,” Selain itu Eko juga menambahkan bahwa hadirnya Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 merupakan upaya Pemerintah untuk melengkapi Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 01 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. (republika.co.id, 4/6/2020)

Dalam Pasal 38 Nomor 25 Tahun 2020, tak semua peserta Tapera bisa menikmati manfaat kepemilikan rumah meski rutin membayar iuran. Sedangkan Syarat mendapatkan skema pembiayaan dari BP Tapera adalah sudah memiliki masa kepesertaan minimal 12 bulan, termasuk golongan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), dan belum memiliki rumah. Syarat lainnya yakni menggunakan dana pembiayaan Tapera untuk kepemilikan rumah pertama, pembangunan rumah pertama, atau perbaikan rumah pertama. (kompas,5/6/2020)

Dalam pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera disebutkan besaran simpanan peserta pekerja sebesar tiga persen dari gaji. Rinciannya, 2,5 persen dari pekerja dan 0,5 persen berasal dari pemberi kerja.

Melihat fakta tentang keberadaan dan mekanisme teknis penyelenggaraan TAPERA, memang memunculkan berbagai kekhawatiran akan dampak buruknya dikemudian hari, kekhawatiran tersebut antara lain : Program yang tumpang tindih dengan yang lain sehingga memberatkan masyarakat. Contohnya kalangan pekerja, perihal perumahan pekerja sebenarnya sudah diatur lewat bagi pekerja peserta Jaminan Hari Tua (JHT) di BP Jamsostek. Saat ini ada empat jenis MLT pembiayaan perumahan yang akan diberikan kepada peserta BPJS Ketenagakerjaan, yakni kredit konstruksi, pinjaman renovasi, fasilitas kredit pemilikan rumah (KPR), dan pinjaman uang muka. Dengan fasilitas tersebut seharusnya cukup bagi kalangan pekerja untuk mengatasi masalah KPR tetapi ditambah lagi dengan TAPERA menjadi sangat tidak efisien dengan program yang bertumpuk tumpuk serta besaran iuran yang cukup besar. Berkaca dari penyelenggaraan BPJS saja sudah begitu membuat masyarakat kerepotan, dengan iming-iming yang besar di awal ternyata fasilitas yang diperoleh jauh dari harapan.

Tidak bisa dipungkiri program ini seolah-olah mampu memberi solusi atas target pembangunan perumahan rakyat yang masih backlog (kekurangan perumahan rakyat) yang rencananya dipangkas dari 7.6 juta pada 2019 menjadi 5 juta pada 2020. Disini pemerintah benar- benar menjalankan fungsinya sebatas sebagai regulator atas perekonomian dan kebutuhan rakyatnya yaitu menyediakan peraturan-peraturan untuk mengakomodir peningkatan usaha khususnya properti. Bisa dilihat dari besarannya yaitu 3 % dari gaji/upah, tentu itu bukan hal yang kecil bahkan untuk jangka panjang, dana sebesar itu cukup untuk menggairahkan usaha properti di negara ini. Namun dengan catatan jangan ada oknum yang mengkorupsi atau memanfaatkan dana ini. Belum lagi laju inflasi properti di negara ini cukup besar sekitar 3% (indonesia-investments.com), sehingga besar juga kemungkinan terjadinya kredit macet atau penunggakan oleh peserta. Kalau sudah demikian yang dikhawatirkan nantinya rakyat lagi yang diperlakukan layaknya “penjahat” karena tidak mampu membayar iurannya. Karena itu terlalu naif bila rujukan pelaksanaan Tapera adalah negara-negara maju kemudian diklaim cocok untuk diterapkan di negara kita,sebab dari segi inflasi dan pendapatan sangat jauh berbeda dengan negara kita.

Program Tapera ini memperlihatkan bagaimana fungsi negara sebagai pelaksana undang-undang dan regulator atas perekonomian bangsa semata. Di dalam sistem Kapitalis, ini merupakan hal yang biasa, dimana rakyat hanya sebatas objek bukan prioritas utama dalam pemenuhan kesejahteraannya. Sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan merupakan kebutuhan primer bagi setiap warga negara dan di negara kapitalis negara membuka seluas-luasnya lahan ini agar “kapital-lah” yang memenuhinya. Dengan nama tabungan rakyat dana dihimpun, dikembangkan/diinvestasikan, baru dimanfaatkan untuk perumahan rakyat. (kompas 21/5/20)

Pada program tapera saja sudah panjang antrian baik dari lembaga keuangan dan usaha properti yang siap mengawalnya. Didalam sistem kapitalis hal yang pasti berikutnya adalah keuangan yang berbasis riba, kalaupun kepada masyarakat tidak dikenakan riba, bagaimana dengan besaran dana yang diinvestasikan di lembaga perbankan, bagaimana dengan sanksi-sanksi atas keterlambatan pembiayaan. Dengan mekanisme seperti itu justru membuka masalah baru di atas masalah lama.

Jika semua masalah dicari solusinya di dalam sistem kapitalis, bisa dipastikan solusi yang diperoleh pasti akan mendatangkan dampak baru.

Sehingga perlu kiranya kita membuka cakrawala kita terhadap sistem lain selain Kapitalis yaitu sistem Perekonomian Islam. Di dalam sistem Islam menjadikan peran pemimpin sebagai periayah (pengurus) urusan rakyat adalah kewajiban. Dimana peran Negara adalah sebagai penjaga atas terlaksananya hukum Syara’ dalam berbagai lini kehidupan. Kebutuhan primer seperti sandang, pangan, papan yang notabene merupakan kebutuhan primer individu yang wajib dipenuhi. Pertama, negara memastikan bahwa semua pihak yang berkewajiban bekerja/mencari nafkah mampu mendapatkan pekerjaan yang layak untuk mencukupi kebutuhannya. Kedua, negara menyediakan lapangan pekerjaan, modal, bahkan bekal keterampilan semata-mata untuk mengokohkan ketahanan masyarakat dari segi perekonomiannya. Bukan sebaliknya seperti saat ini menyediakan pekerja demi mencukupi kebutuhan SDM semata tanpa memperhatikan manusianya.

Maka tak heran di sistem kapitalis ini muncul berbagai sistem perlindungan bagi tenaga kerja, mulai kesehatan, keselamatan bahkan perumahan, karena memang tidak adanya jaminan dari negara terhadap kebutuhan rakyat. Walhasil peran negara tersebut dilempar kepada pihak penyedia pekerjaan dan tenaga kerjanya sendiri untuk memikirkan dan menyelesaikan masalah ini. Bagi Penguasa di dalam sistem islam, urusan pemenuhan kebutuhan primer masyarakat merupakan amanah yang harus dijalankan dengan baik karena menyangkut urusan dunia dan akhirat. Seorang pemimpin yang bertakwa tak akan menyalahi tugasnya.

Di dalam sistem islam juga mewajibkan ketakwaan individu termasuk ketakwaan para pemimpin negara. Pemimpin yang bertakwa akan mengelola keuangan sesuai dengan sistem Islam. Tak akan menjadikan riba sebagai salah satu cara mengembangkan dana. Selain karena riba adalah dosa besar sehingga tidak akan ada di dalam sistem Islam.

Sungguh berbeda dengan sistem kapitalis yang menjadikan riba sebagai salah satu pilar penting dalam penggerak perekonomian. Dalam sistem islam sumber pemasukan berasal dari pengelolaan hasil sumber daya alam, fai dan kharaj seperti ghanimah, jizyah, kharaj, fai, status kepemilikan tanah, dan dharibah. Tentu itu lebih dari cukup karena pengelolaannya tidak diserahkan kepada para kapitalis melainkan dikelola oleh negara (daulah khilafah). Dengan cara seperti ini, kesejahteraan masyarakat melalui terpenuhinya kebutuhan dasar bisa terpenuhi. InsyaAllah.
Waallahualam bishawab

Oleh: Adhim Ummu Khansa (Aktivis Muslimah)