Opini

Tolak RUU HIP, Tolak Radikal Sekularisme

Ummu Safran

Manusia itu asalnya dari tanah, makan hasil tanah, berdiri di atas tanah, dan akan kembali ke tanah. Lalu kenapa masih bersifat langit? – HAMKA
Siapa mengira kutipan Buya berpuluh tahun silam bertemu relevansinya kini? Ya, semakin nyata sejak ramai pembahasan RUU HIP. Draft UU yang membahas haluan negara di dalamnya. Kontroversi pun tak terelakkan. Bagaimana tidak, RUU ini disinyalir akan mengacak ulang makna sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Konon, pasca memeras Pancasila menjadi Trisila lalu berakhir di Ekasila, jadilah Ketuhanan yang Maha Esa berganti Ketuhanan yang Berkebudayaan. Ingin menyaru sifat langit, dengan menetapkan apa yang menjadi wewenang Sang Pencipta? Miris.

Waspada, Sekularisme Semakin Radikal!
Belum lama sepertinya slogan Saya Indonesia Saya Pancasila didengungkan. Kala itu, publik dapat menangkap pesan akan kesakralan Pancasila yang sedikit pun tak terima diganggu gugat. Hingga lahirnya BPIP dianggap perlu untuk tampil jadi tameng Pancasila.

Lalu sekarang dalam senyap dan di tengah pandemi, rezim mengajukan RUU HIP untuk disahkan. Khalayak pun bertanya, di mana BPIP yang konon menjaga Pancasila? Mengapa bungkam? Padahal tak tanggung-tanggung, RUU ini terindikasi ingin mengubah Pancasila sekaligus mengakomodir komunisme, paham yang sejak lama sudah dinyatakan terlarang secara resmi di negeri ini. Setidaknya itu dua hal utama yang dilontarkan MUI (Majelis Ulama Indonesia) saat menolak RUU HIP.
Melalui gagasan dalam draf bisa dilihat dengan mata telanjang kiranya rezim sendiri yang ingin ‘mengubah’ Pancasila.

Terlebih mereka juga tegas tidak mencantumkan dalam RUU-HIP itu konsiderans TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Larangan Penyebaran Paham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.

Mencermati muatannya yang sangat radikal, bisa dibayangkan jika RUU-HIP ini lolos menjadi UU, boleh jadi akan semakin mengukuhkan sekularisme di negeri ini.  Bukan apa-apa, tanpa kehadiran konsep HIP ini saja, sejak lama agama telah dikurung di balik dinding-dinding masjid dan pesantren di penjuru negeri.

Mari simak definisi sekularisme ketika dikembalikan pada maknanya. Mengutip dari Wikipedia, sekularisme adalah paham yang mengasingkan agama dari kehidupan pemerintahan dan bernegara. Agama tak diperkenankan sekali-kali mengatur kehidupan berbangsa. Senada dengannya, Kamus Internasional Modern juga mencantumkan sekularisme sebagai suatu pandangan dalam hidup yang berprinsip bahwa agama atau hal-hal yang bernuansa agama tidak boleh masuk ke dalam pemerintahan, atau pertimbangan-pertimbangan keagamaan harus dijauhkan darinya.

Maka merujuk pengertian di atas, jujur saja sekularisme telah sekian lama menggerogoti ibu pertiwi. Bahkan belakangan dengan mencuatnya kisruh RUU HIP, sekularisme terasa semakin radikal.
Dengan sendirinya, wajar jika selama ini kerap kita saksikan Islam dengan syariahnya yang kaffah, warisan Rasulullah Saw dari Allah yang Maha Pencipta justru dicurigai. Tokoh dan ulama yang mendakwahkannya tak sedikit malah dimusuhi bahkan dikriminalisasi.

Seperti tak tahan dengan kondisi umat saat ini, Pakar Hukum Tata Negara, Irman Putra Sidin sempat mengutarakannya dengan nada prihatin betapa umat Islam dengan keinginan untuk taat pada syariatnya semakin terasing di negeri ini. Seolah semua peran dan jasa umat Islam di masa perjuangan kemerdekaan yang dicatat sejarah dengan tinta emas terhapus begitu saja. Tak cukup itu, ia juga menilai Pancasila bisa lambat laun menjelma sebagai alat gebuk penguasa bagi pihak yang kritis dan berlawanan terhadap kebijakannya. ( ILC TVOne, 16/6/2020)
Bagai Air dan Minyak, Tak Mungkin Bersatu!
Ya, sama halnya sekularisme dan Islam.

Mustahil bersatu, tak bakal seiring sejalan, dan tak akan pernah senada seirama. Mengapa? Jawabnya sudah tentu karena Islam tak mengenal sekularisme. Mengakui agama sebatas tataran berketuhanan namun enggan berkelakuan sesuai perintah Tuhan mutlak bukan tuntunan Islam. Memeluk Islam sejatinya tak berhenti di level iman kepada Tuhan yang Satu namun juga harus tercermin dalam perilaku individu, masyarakat hingga negara.

Sebab Islam merupakan ideologi/sistem kehidupan. Tandanya, Islam tak selalu bicara tentang persoalan-persoalan transendental (keakhiratan) saja. Namun mengatur pula seluruh urusan keduniaan (ekonomi, sosial, politik, pemerintahan, hukum, pendidikan, dan lain-lain).
Tambahan lagi, tidaklah Nabi saw. wafat melainkan beliau telah meninggalkan semua ajarannya secara lengkap.

Sabda Rasulullah Saw.
“Demi Allah, sungguh aku telah meninggalkan kalian di atas hujjah yang putih bersih, malamnya sama dengan siangnya.” (HR. Ibnu Majah)
Karena itu pula Allah SWT memerintahkan kita agar ber-Islam secara kaffah (totalitas):
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian semuanya ke dalam Islam secara total, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu adalah musuh nyata kalian.” (QS Al Baqarah: 208).

Mengutip Imam al-Jazairi, dalam ayat ini Allah SWT memerintahkan para hamba-Nya yang Mukmin agar masuk Islam secara total. Terlarang memilah dan memilih syariah dan hukum-hukum-Nya. Apalagi ditimbang-timbang hanya berdasarkan kepentingan dan hawa nafsu. (Al-Jazairi, Asyar at-Tafasir, 1/97).

Sungguh Islam adalah pedoman dan jalan hidup. Tak hanya itu, Islam juga solusi yang mampu menjawab segala persoalan hidup. Penerapannya secara menyeluruh di masa kejayaan Islam sejak masa Rasulullah Saw di Madinah hingga kekhilafahan Utsmaniy berhasil membawa umat Islam dan umat manusia pada umumnya di puncak peradaban dunia.

Seorang sejarawan Barat, Will Durrant, dalam buku yang ia tulis bersama istrinya Ariel Durant bertajuk Story of Civilization, berujar,
“Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para Khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapa pun yang memerlukan dan memberikan kesejahteraan selama beradab-abad dalam wilayah yang sangat luas. Fenomena seperti itu belum pernah tercatat (dalam sejarah) setelah zaman mereka.”

Maha Benar Allah dengan firman-Nya,
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS Al A’raaf: 96)
Alhasil, belumkah tiba saatnya meninggalkan sekularisme? Apalagi sekularisme radikal yang labil dan berisiko menuai gagal. Wallaahu a’lam

Oleh : Ummu Safran

error: Jangan copy kerjamu bos