Komersialisasi Tes Virus Corona

Opini1125 Dilihat
Shyfa Putri

Bagi seorang wanita melahirkan adalah hantu yang masih menakutkan. Apalagi di masa pandemi Corona saat ini, dengan protokol yang mengharuskan untuk melakukan tes virus Corona. Akan tetapi tidak semua mampu untuk membayarnya secara pribadi, karena mahalnya tes tersebut. Hal ini berdampak pada seorang bayi meninggal di kandungan ibunya yang tidak mampu membayar tes Covid sebagai persyaratan operasi kehamilan. Seperti yang dilansir oleh BBC Indonesia, 18/6/2020.

Seorang ibu di Makassar, Sulawesi Selatan, dilaporkan kehilangan anak di dalam kandungannya setelah tidak mampu membayar biaya swab test sebesar Rp 2,4 juta. Padahal kondisinya saat itu membutuhkan tindakan cepat untuk dilakukan operasi kehamilan. Asosiasi Rumah Sakit Swasta menjelaskan bahwa adanya biaya tes virus Corona karena pihak RS harus membeli alat uji dan reagent sendiri, dan juga membayar tenaga kesehatan yang terlibat dalam uji tersebut. Berbagai pihak menganggap komersialiasi terjadi karena pemerintah tak segera menetapkan harga standar (HET) atas tes yang dilakukan di luar RS rujukan.

Di antaranya pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, menyebut saat ini terjadi ‘komersialisasi’ tes virus corona yang dilakukan rumah sakit swasta. Menurutnya hal itu terjadi akibat dari lemahnya peran pemerintah dalam mengatur dan mengawasi uji tes ini.

Miris memang, ketika keselamatan harusnya lebih diutamakan. Akan tetapi di alam kapitalis saat ini, seakan dinomorduakan. Bagaimana pun kesulitan sebuah kepemimpinan, keterjaminan keamanan adalah modal awal melindungi rakyat. Dengan begitu mereka tak perlu takut, was-was maupun ragu karena keselamatan mereka telah terjamin. Namun, jauh panggang dari api. Impian keselamatan rakyat utama hanya menjadi retorika dan fiktif belaka.

Yang menjadi problem bukanlah regulasi yang menetapkan keharusan tes Corona sebagai prasyarat melahirkan, namun komersialisasi dengan biaya tak sedikit tentu menjadi batu sandungan bagi rakyat miskin untuk bisa menjalaninya. Negara yang seharusnya hadir sebagai penjaga dan pengurus yang tak sekadar regulator. Inilah masanya kita menyaksikan semakin terang betapa standar kapitalis sangat dominan dalam menilai dan menempatkan negara sebagai regulator, bukan penanggung jawab (raa’in).

Sistem Islam memandang bahwa kesehatan merupakan bagian dari hak dasar yang wajib diselenggarakan oleh negara. Penguasa dan negara adalah pelayan bagi terpenuhinya semua hajat hidup publik. Islam mewajibkan negara pasang badan menyelamatkan manusia di bawah naungannya dari segala yang membahayakannya.

Jika memberlakukan aturan tes Corona, maka wajib bagi negara untuk memfasilitasinya, gratis dan merata bagi seluruh rakyat.
Islam menetapkan paradigma pemenuhan kesehatan ini sebagai sebuah jaminan. Negara akan mengadakan layanan kesehatan, sarana dan prasarana pendukung dengan visi melayani kebutuhan rakyat tanpa diskriminasi. Kaya-miskin semuanya mendapat layanan dengan kualitas yang sama. Negara berfungsi sebagai pelayanan masyarakat. Negara tidak menjual layanan kesehatan kepada rakyatnya. Negara tidak boleh mengkomersilkan hak publik sekalipun ia orang yang mampu membayar. Hal ini karena negara hanya diberi kewenangan dan tanggung jawab menjamin pemenuhan kebutuhan layanan kesehatan semua warga negara.

Adapun sumber dana untuk kesehatan bisa diambil dari hasil kekayaan alam milik rakyat. Dalam pandangan syariah Islam, air (kekayaan sungai, laut), padang rumput (hutan), migas, dan barang tambang yang jumlahnya sangat banyak adalah milik umum/rakyat. Rasulullah saw. bersabda:
“Kaum Muslim bersekutu dalam tiga hal: air, hutan dan energi.” (HR Ibn Majah).

Negara bertugas untuk memenej pengelolaan sumber daya alam tersebut dan mendistribusikannya kepada rakyat, misalnya untuk pendidikan gratis, pelayanan kesehatan gratis, dan sebagainya. Semua ini hanya mungkin terjadi jika sistem ekonomi Islam diterapkan oleh negara, termasuk dalam pengelolaan sumberdaya alam milik rakyat.

Sesungguhnya negeri ini tidak akan bisa keluar dari berbagai krisis yang membelenggu, kecuali jika syariah Islam diterapkan secara kâffah baik dalam bidang ekonomi, pendidikan, sosial-budaya, dan sebagainya. Sungguh, hanya dengan syariah Islam dalam institusi Khilafah sajalah kita bisa meraih kemuliaan hidup di dunia dan akhirat.
Wallahu a’lam bi-ashawwab.

Oleh: Syifa Putri
Ummu wa Rabbatul Bayt, Kab. Bandung