Reshuffle Kabinet: Ilusi Kesejahteraan Demokrasi

Ainul Mizan

Isu reshuffle kabinet cukup menguat. Apalagi pasca video pidato marah – marahnya presiden. Sebagai bagian dari langkah ekstraordinary menangani pandemi, presiden bahkan berani mengorbankan reputasi politik. Dan reshuffle kabinet merupakan perwujudannya.

Saking menguatnya isu reshuffle, sampai – sampai istana perlu meredakannya. Mensesneg, Pratikno Singgih menyampaikan isu reshuffle sudah tidak relevan. Alasannya, menurutnya menteri sudah bekerja bagus untuk menanggulangi pandemi. Akan tetapi menurut pakar gestur, Handoko Gani bahwa isu reshuffle tetap relevan. Pratikno hanya meredam agar tidak terlalu keras isu bergulir (www.detik.com, 6 Juli 2020).

Iklan Pemkot Baubau

Tentunya hal demikian dapat dipahami dari fakta akan keberadaan kabinet Jokowi saat ini. Kabinet Jokowi adalah kabinet gemuk. Hasil kompromistis dengan partai – partai pendukungnya. Jadi sejak isu reshuffle mencuat, banyak partai memasang badan. Secara politis, tidaklah menguntungkan langsung melakukan reshuffle.

Sebagai contoh, Ketua DPP PKB Iman Syukri membela kadernya, Ida Fauziah. Menurutnya, Ida Fauziah sebagai Menteri Tenaga Kerja memiliki kinerja baik, walaupun ada jutaan buruh dan karyawan yang kena PHK selama pandemi. Padahal ia hanya berpegangan pada hasil prediksi IPO (Indonesia Political Opinion) akan menteri – menteri yang akan direshuffle.

Sepertinya pidato marah – marahnya presiden pada sidang paripurna 18 Juni 2020 merupakan prakondisi menuju reshuffle. Hanya menunggu momen yang tepat saja. Bukankah mantra yang mujarab adalah dengan mengatakan bahwa reshuffle itu hak prerogatif presiden. Kalau sudah demikian, semuanya tidak bisa berbuat banyak. Seolah menentang, partai – partai pendukung akan menghibur diri dengan mengatakan ‘yang penting obyektif’. Pertanyaannya, mengapa mereka heran akan isu reshuffle? Bukankah Presiden Jokowi di periode pertamanya hobi gonta ganti menteri?

Di periode pertamanya, Jokowi melakukan reshuffle kabinet terhitung hingga 4 kali. Reshuffle I pada 12 Agustus 2015. Reshuffle II pada 27 Juli 2016. Pada 17 Januari 2018, terjadi reshuffle III. Dan reshuffle IV terjadi pada 24 Agustus 2018. Fakta demikian hanya memberikan informasi bahwa penunjukkan jabatan menteri itu asal pasang. Lantas hasil dari reshuffle berkali – kali tersebut apa?

Kondisi kehidupan bangsa Indonesia justru tidaklah membaik. Menurut laporan ADB, di periode 2016 – 2018 terdapat 22 juta penduduk Indonesia yang kelaparan. Sedangkan utang luar negeri di 2019 tembus angka Rp 5.569 trilyun. Volume impor pangan Indonesia di tahun 2018 sebesar 28,6 juta ton meningkat dari tahun 2014 yang jumlahnya 19,4 juta ton. Sebuah keanehan bagi sebuah negara agraris seperti Indonesia. Ini dari aspek kesejahteraan fisik (ekonomi) yang pastinya terpuruk.

Adapun dari aspek kesejahteraan jiwa dan spiritual. Penistaan Islam begitu masif. Dari Ahok, Abu Janda, BuSuk, Ade Armando, Victor Laiskodat hingga Gus Muwafiq secara maraton melakukannya. Kriminalisasi aktivis dan ajaran Islam hingga terbitnya Perppu Ormas tahun 2017. Korban satu – satunya Perppu Ormas adalah ormas HTI. Kejadian – kejadian tersebut jelas mengusik ketenangan kehidupan beragama umat Islam. Kesimpulannya, reshuffle kabinet di periode kedua ini tidak akan menghasilkan kesejahteraan. Oligarki masih menghegemoni kekuasaan. UU Minerba yang disahkan menjadi ajang pesta pora para kapital raksasa.

Penulis teringat dengan sebuah firman Allah SWT yang artinya:
“Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan dikarenakan ulah tangan perbuatan manusia, agar Allah menimpakan sebagian akibat dari perbuatan mereka. Mudah – mudahan mereka kembali” (TQS Ar Rum ayat 41).

Segala keterpurukan bangsa dan negeri ini tidak hanya terletak pada para penyelenggaranya. Sistem Demokrasi sekuler yang diterapkan justru menjadikan penyelenggaraan negara dilepaskan dari aturan – aturan hidup Sang Pencipta, Allah SWT. Halal haram tidak menjadi nilai yang diperhatikan. Yang terjadi hanyalah anomali demi anomali. Ingin damai sejahtera, yang ada adalah keterpurukan demi keterpurukan. Bahkan kesengsaraan.

Maka bangsa Indonesia untuk bisa berlepas diri dari segala keterpurukan dan kesengsaraan ini, tidak bisa berharap dari para penyelenggara negara. Apalagi mereka justru menerapkan Demokrasi – Sekuler yang notabenenya adalah sistem yang lahir dari ideologi negara penjajah yakni Kapitalisme. Wajarlah kalau penjajahan masih dan terus bercokol di negeri ini.

Mau tidak mau bila rakyat negeri ini ingin sejahtera lahir dan batin, hanyalah dengan Islam. Alasannya Islam itu hadir dalam rangka membebaskan manusia dari penjajahan sesama manusia.

Oleh : Ainul Mizan (Pemerhati Sosial Politik dan Penulis tinggal di Malang)