Izin Melenggang Demi Membangun Daerah

Ilustrasi

Beberapa pekan terakhir, hangat perbincangan rencana kedatangan 500 Tenaga Kerja Asing (TKA) asal China di Konawe, Sulawesi Tenggara. Awalnya, Gubernur dan DPRD Sultra satu suara menolak kedatangan mereka. Penolakan itu dilakukan karena bertentangan dengan susana kebatinan masyarakat Sultra yang tengah berjuang melawan pandemi Covid-19.

“Setelah saya mengetahui informasi itu, langsung mengundang Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) dan juga DPRD, Danrem, Kapolda, Imigrasi. Kesimpulannya kita keberatan untuk kebijakan memasukkan kembali 500 TKA asal China,” ungkap Ali Mazi pada akhir April 2020. (Kompas.com, 17/06/2020)

Iklan Pemkot Baubau

Meskipun kedatangan TKA China tersebut sempat ditolak, namun akhirnya Gubernur Sultra, Ali Mazi berubah sikap menerima kedatangan mereka. Dengan catatan tetap memperhatikan protokol kesehatan.

Lain gubernur lain pula ketua DPRD Sultra, Abdurrahman Saleh. Ia menilai bahwa mengizinkan para TKA itu bekerja, harusnya tidak sekadar mempertimbangkan aspek kesehatan di tengah wabah virus corona. Lebih dari itu, harusnya juga mempertimbangkan kepatuhan perusahaan yang mempekerjakan mereka. Pasalnya, ada dugaan sebagian besar TKA di Morosi menyalahgunakan visa. Selain itu, ia tidak yakin 500 TKA yang akan datang bekerja di Konawe adalah tenaga ahli.

“Coba kita jujur bahwa 80 hingga 90 persen TKA yang masuk di Indonesia menggunakan visa kunjungan dan ini sangat merugikan negara. Tidak ada kontrol dari negara karena ada segelintir orang yang menutup-nutupi kejadian ini,” kata Abdurrahman dikonfirmasi, Rabu (Kompas.com, 17/6/2020).

Terlepas dari siapa memberi izin dan melakukan penolakan atas kedatangan TKA asal China tersebut. Harusnya kita telah mengetahui bahwa tenaga kerja asing jelas mengantongi izin langsung dari pemerintah pusat. Oleh karena itu, menjadi sebuah kepastian jika pemerintah daerah mengamini izin tersebut. Sebab, kebijakan daerah tidak mungkin bertentangan dengan kebijakan pusat.

Adapun TKA bisa masif dan mudah melanggeng di bumi Indonesia secara umum, dan khususnya kawasan industri Morosi, Konawe, Sultra, jelas mereka mempunya payung hukum. Pemerintah pasti telah menyediakan sejumlah regulasinya.

Misalnya, Peraturan Presiden atau Pepres No. 20/2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing. Ketentuan pasal 22 dalam Pepres itu menyebut bahwa TKA dapat menggunakan visa terbatas (vitas) dan izin tinggal sementara (itas) untuk bekerja di Indonesia.

Di sampin itu, ada pula UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dan Permenaker No. 10/2018. Dalam lingkup peraturan tersebut secara jelas dan tegas mengatur lalu lintas, kualitas, dan kuota TKA yang wajib masuk ke Indonesia. Kesemua regulasi itu konon katanya dibuat dengan tujuan agar anak bangsa kita tidak menjadi tamu di rumah sendiri. Benarkah demikian?

Investasi Atas Nama Membangun Daerah!

Saat ini banyak kalangan mengkhawatirkan fenomena pengangguran anak negeri dan dampak negatif serbuan TKA. Pemerintah justru berpikir sebaliknya. Dengan segala regulator yang telah dibuat, diharapkan dapat mendatangkan dampak positif terhadap investasi asing dan pembangunan daerah.

Atas nama investasi membangun daerah, maka menjadi lahan yang subur bagi perusahaan-perusahaan asing yang bermodal besar. Dengan kekuasaan penuh bermodalkan izin sah dan legal oleh negara, mereka bebas mengesplorasi sumber daya alam. Selain itu, dengan dalih membutuhkan tenaga ahli untuk membuka dapur baru, mereka berkepentingan mendatangkan tenaga kerja dari asal negara pemilik perusahaan itu.

Kondisi demikian menggambarkan, negeri ini tidaklah mandiri dalam mengelola sumber daya alam dan memberdayakan sumber daya manusianya. Seolah tiada perusahaan negara yang mampu mengelola SDA untuk kesejahteraan rakyat. Tidak pula ada SDM yang menjadi ahli dalam mengelola sumber daya alam yang tersedia di sepanjang luas bumi nusantara ini.

Alhasil, inilah yang terjadi di sistem kapitalis. Negara hadir sebagai regulator. Membuka lahan segar bagi investasi swasta apalagi asing. Masuknya investasi asing berarti memberikan sebagian kekayaan negeri ini pada asing dengan kompensasi modal yang mereka berikan.

Jika industri yang dikelola adalah industri kepemilikan individu, tentu investasi dibolehkan. Namun, jika industrinya adalah industri yang mengelola kepemilikan umum, seperti barang tambang, maka hal ini sama saja dengan memberikan sebagian kekayaan negeri kepada asing. Terlebih lagi, investasi asing telah menjadi jalan untuk menjajah ekonomi negeri ini.

Di samping itu, alasan bahwa negeri ini membutuhkan tenaga kerja ahli untuk mencipta perluasan lapangan kerja. Sehingga, nantinya juga akan merekrut tenaga kerja lokal. Inilah kiranya yang menjadi alasan yang masuk akal bagi segelintir orang. Sebab, perusahaan asing tersebut turut memperhitungkan kesejahteraan rakyat pribumi. Transfer tenaga kerja asing dibarengi dengan terbukanya lahan pekerjaan bagi tenaga kerja pribumi.

Namun, urusannya jelas tidak sesederhana itu. Sistem kapitalis ini telah memperhitungkan untung rugi dalam mengelola bisnis investasi dari perusahaan milik mereka. Tiada kerja sama yang menguntungkan jika tidak lebih menguntungkan pemilik modal itu sendiri.

Nyatanya, seperti yang telah terjadi di Sultra. Sebagai bentuk balas jasa kepada pemerintah daerah, maka perusahaan asing memberikan sejumlah balasan kerja sama. Diantaranya adalah memberikan pelatihan terhadap tenaga kerja lokal, rencana pembangunan perguruan tinggi pertambangan di Sultra, bantuan UKM bagi masyarakat sekitar tambang, dan lain sebagainya.

Bantuan tersebut menjadi rencana jangka panjang yang mendukung eksistensi mereka di kawasan industri Morosi. Selain itu, dapat pula menjadi tameng yang jika sewaktu-waktu masyarakat setempat mempersoalkan eksistensi mereka. Lalu, bagaimanakah cara menyikapi keberadaan tenaga kerja asing ini!

Pandangan Islam Terhadap TKA

Sebagai solusi atas segala persoalan hidup, Islam hadir untuk mengatasi segala persoalan manusia. Termasuk persoalan tenaga kerja asing. Dalam sistem Islam, TKA diposisikan sesuai kebutuhan tanpa merugikan rakyat dan menjatuhkan martabat negara.

Jika negara membutuhkan ahli yang memang di dalam negeri belum ada yang mumpuni. Maka bisa mendatangkan tenaga kerja asing dengan akad ijarah yaitu gaji. Keberadaan TKA dibutuhkan hanya sampai pada kebutuhan kerja yang telah ditetapkan. Tidak kemudian menjadi pihak yang menguasai bidang kerja tersebut. Namanya kontrak kerja, jelas memiliki batas waktu sesuai akad pada awalnya.

Adapun hukum mengontrak tenaga nonmuslim dibolehkan dalam Islam. Hal ini didasarkan pada perbuatan Rasulullah Saw. dan Ijma Sahabat tentang kemubahan mengontrak orang nonmuslim dalam semua pekerjaan yang halal. Juga mengontrak mereka untuk tugas-tugas kenegaraan.

Rasulullah Saw. pernah mengontrak seorang Yahudi sebagai penulis, mengontrak seorang Yahudi lain sebagai penerjemah. Juga pernah mengontrak orang musyrik sebagai penunjuk jalan. Khalifah Abu Bakar ra. dan Khalifah Umar ra. juga pernah mengontrak orang Nasrani untuk menghitung harta kekayaan.

Demikianlah pandangan Islam dalam mengatasi dan menyelesaikan persoalan tenaga kerja asing ini. Solusi yang diberikan bukanlah solusi tambal sulam, melainkan solusi yang mendasar dan menyeluruh. Mengatasi pula persoalan yang mencakup tentang ketenagakerjaan. Sudah saatnya negeri ini mengambil sistem Islam untuk menyelesaikan segala persoalan bangsa. Wallahu a’lam bishshawab.

Oleh: Eva Izzatul Jannah
Tenaga Pendidik dan Member AMK