TEGAS.CO., NUSANTARA – “Waduh kemana duit ya Aku kangen Duit kesini dong aku mau duit, duit kesini dong kekasihku minta duit, Emak dan bapakku lagi butuh duit…”.
Lirik lagu duit Alam ini, setidaknya menggambarkan hampir semua orang berharap duit. Seperti mengukur kebahagiaan hanya dengan duit. Walhasil, andai keimanan tipis, maka segala cara akan ditempuh untuk mendapatkan duit. Salah satunya dengan jalan korupsi. Sudah menjadi rahasia umum korupsi dijadikan sebagai jalan pintas bagi penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya, dan menikmati harta kemewahan dengan cara yang haram. Sehingga, ia menjadi lupa akan kewajibannya mencari nafkah untuk keluarganya dengan cara yang halal. Sistem ini akan sangat memungkinkan hal tersebut terjadi.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan mantan pejabat Pemerintah Kabupaten Subang Jawa Barat. Dia KPK adalah Heri Tantan Sumaryana (HTS), Kepala Bidang Pengadaan dan Pengembangan Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Subang periode 2012-2016. Ia merupakan tersangka dugaan penerimaan gratifikasi bersama mantan Bupati Subang Ojang Suhandi. Deputi Penindakan KPK Karyoto mengatakan, tim penyidik menahan Heri selama 20 hari pertama. Adapun, katanya, Heri telah ditetapkan sebagai tersangka sejak Oktober 2019 lalu. Adapun total dugaan gratifikasi yang diterima Heri berjumlah Rp20 miliar. (radarcirebon.com,11/09/2020)
Dalam buletin Media Umat edisi 274 (18 September-1 Oktober 2020), Menko Polhukam, Mahfud MD pun menyebutkan bahwa hampir 92 persen calon kepala daerah di seluruh Indonesia dibiayai cukong. Nantinya setelah terpilih, para calon kepala daerah tersebut memberi timbal balik berupa kebijakan yang akan menguntungkan para cukong. Bahkan Mahfud juga menambahkan hubungan timbal balik ini tidak hanya menyebabkan korupsi uang, tetapi korupsi kebijakan. Seperti lisensi penguasaan hutan, lisensi tambang, dan lisensi lainnya yang merugikan masyarakat. Senada dengan hal ini Mendagri Tito Karnavian menyebutkan bahwa banyaknya kepala daerah yang terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK ini tidak bisa dilepaskan dari modal selangit yang dibutuhkan kalau menjadi kepala daerah. Untuk level bupati saja, butuh sekitar 30 miliar.
Sudah menjadi rahasia umum bahwasanya dalam sebuah Pilkada calon gubernur dan wakilnya ternyata membutuhkan dana yang cukup fantastis. Setidaknya, per pasangan calon 100-150 miliar rupiah atau bahkan lebih harus disiapkan demi berlangsungnya pesta rakyat ini. Sedangkan, gaji yang didapatkan oleh gubernur dalam setahun hanya Rp. 1,2 miliar. Jika masa jabatannya 5 tahun, maka ia mendapat penghasilan sekitar Rp. 6 miliar.
Walhasil dengan biaya politik yang sangat mahal, wajar saja korupsi di tanah demokrasi kian subur. Lantas beragam modus yang digunakan agar biaya modal Pilkada bisa kembali, diantaranya:
- Mengutip dari anggaran proyek yang jatuh kepada pemenang tender, biasanya yang menjadi pemenang adalah perusahaan keluarganya atau rekan penguasa yang ikut mendanainya.
- Jual-beli kebijakan yaitu mengeluarkan perizinan atau konsensi dengan imbalan uang dari penerima izin atau konsensi tersebut.
- Menggelembungkan dana anggaran belanja pemerintah agar memperoleh margin atau keuntungan yang bisa disisihkan.
- Menerima gratifikasi. Artinya pemberian dalam arti luas yang meliputi pemberian uang tambahan, hadiah uang, barang, rabat, komisi pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Perlu diketahui antara suap dan gratifikasi ini berbeda. Riswah ataupun suap ini adalah sesuatu yang dijanjikan sedangkan gratifikasi adalah bonus setelah menyelesaikan tugas/masalah yang ada. Sudah sepatutnya penguasa hasil demokrasi bak pedagang yang tiap hari memikirkan bagaimana caranya agar modalnya cepat kembali. Mencari keuntungan pun menjadi prioritas utama setelah modal dana yang dikeluarkan sudah terpenuhi. Rakyat diposisikan seperti konsumen, bukan lagi mengutamakan kesejahteraannya. Sehingga, tidaklah heran jika korupsi terjadi di hampir semua pilar demokrasi baik legislatif, eksekutif, ataupun yudikatif. Hal ini semata-mata untuk memuluskan permainan kotor ini, semua pihak yang terkait dilibatkan. Hingga dikenallah istilah “Korupsi berjamaah”.
Tercatat dalam periode 2014-2019, 23 anggota DPR Pusat terjerat dalam kasus korupsi. Kalau digabungkan dengan anggota DPRD (Daerah), menurut data ICW (Indonesia Corruption Watch) tercatat 259 anggota dan mantan anggota periode 2014-2019, terjerat kasus korupsi. Sementera di tingkat kepala daerah tercatat 124 kepala daerah terjerat kasus korupsi sejak 2004 hingga 2019.
Akar dari maraknya korupsi saat ini semestinya menyadarkan umat muslim. Bahwasanya kebobrokan sistem demokrasi yang berasas kapitalisme sekuler menjadi pangkal berbagai persoalan di Indonesia. Tak dapat dipungkiri lagi sistem politik demokrasi telah menciptakan habitat politik yang menumbuh suburkan korupsi. Sistem demokrasi pun pada dasarnya memberikan hak membuat hukum kepada manusia telah menimbulkan berbagai kerusakan. Lantas bagaimana caranya agar terhindar dari penyakit korupsi berjamaah ini, yaitu :
Pertama, berani meninggalkan ideologi kapitalisme dan menggantinya dengan ideologi Islam. Hal ini dikarenakan dalam kapitalisme tolak ukur kebahagiaan adalah tercapainya materi. Sedangkan dalam Islam adalah mendapatkan ridho Allah. Sehingga pemimpin dalam Islam sangat peduli dengan nasib rakyatnya sehingga tidak mungkin tega menjarah uang rakyat dengan korupsi berjamaah. Sebab hal itu adalah sebuah keharaman yang harus ditinggalkan. Sehingga wajar saja jika rakyat mencintai pemimpinnya karena pemimpin peduli dengan rakyatnya.
Kedua, mengubah pemahaman sekularisme dengan Islam kaffah. Paham memisahkan agama dari kehidupan (baca: Sekularisme) ini hanya akan memunculkan sikap alergi dan fobia terhadap Islam meskipun mengaku mayoritas beragama Islam. Kesadaran hubungannya dengan Allah hanya sebatas ditempat ibadah, sehingga mereka begitu ringannya melakukan korupsi. Sekularisme menciptakan pribadi munafik yang dari mulutnya hanya menghasilkan kebohongan. Apa yang dikatakan bertentangan dengan perbuatannya. Mengaku beriman, tapi korupsi jalan terus. Mengaku ber Islam tapi tidak mau diatur dengan syariat Islam dengan berbagai dalil logika yang tidak bersumber dari ajaran Islam. Bahkan mereka berani menghalalkan sesuatu yang haram, dan sebaliknya mengharamkan sesuatu yang halal bahkan yang wajib untuk diperjuangkan.
Satu-satunya untuk memberantas korupsi adalah mengganti sistem yang rusak ini dengan sistem Khilafah yang akan menjamin diterapkan syariat Allah. Hukum tegas pada para koruptor dan melindungi rakyat yang terdzalimi. Perlahan tapi pasti pemahaman kapitalisme dan sekularisme akan tercerabut dari pemahaman umat karena Islam diterapkan secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan. Dengan demikian banyak pemimpin lebih amanah karena kesadaran hubungan mereka dengan Allah akan menjadi benteng kuat dari keinginan untuk korupsi.
Walahu a’lam bi-ashawab
Penulis: Siti Aisah, S. Pd (Praktisi Pendidikan dan Member AMK Subang)
Editor: H5P