TEGAS.CO,, Tersebarnya dokumen pakta integritas untuk mahasiswa Universitas Indonesia tahun ajaran 2020/2021, mendapat reaksi dikalangan sivitas akademi UI maupun masyarakat sehingga mengakibatkan kerisauan dan ketidak nyamanan akibat penyebaran dokumen tersebut. Bila dilihat bagaimana lebih dari 800 orang mahasiswa baru UI (Universitas Indonesia) 2020 diharuskan menandatangani pakta integritas diatas materai.
Pakta Integritas ini menuai kontroversi dikalangan mahasiswa karena dianggap mengekang kebebasan mahasiswa dilingkungan akademik. Dan sebelumnya, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia menentang pakta integritas untuk mahasiswa baru tahun ajaran 2020/2021 mereka berpendapat bahwa ini adalah Pengekangan terhadap Hak Mahasiswa.
Adapun sejumlah poin pada pakta tersebut, di antaranya aturan mahasiswa tidak boleh terlibat dalam politik praktis yang mengganggu tatanan akademik dan bernegara. Mahasiswa juga disebutkan tidak boleh mengikuti kegiatan yang dilakukan sekelompok mahasiswa yang tidak mendapat izin resmi pimpinan fakultas atau kampus.
Poin ini dianggap mengekang kehidupan berdemokrasi mahasiswa, salah satunya mahasiswa tidak akan bisa mengkritik kebijakan pemerintah atau melakukan aksi demonstrasi. Pakta integritas juga mengatur soal kehidupan politik dan berorganisasi. Mahasiswa dijamin untuk tidak terlibat dalam politik praktis yang mengganggu tatanan akademik dan bernegara. Mereka juga dijamin untuk tidak diganggu lagi oleh kelompok/ organisasi kemahasiswaan yang tidak memiliki izin resmi.
Menanggapi hal ini Universitas Indonesia (UI) pun akhirnya buka suara dengan menyebut Pakta Integritas yang beredar di kalangan mahasiswa baru kampus bukan dokumen resmi yang dikeluarkan UI. Dokumen berjudul “Pakta Integritas” yang telah beredar di kalangan mahasiswa baru UI bukan merupakan dokumen resmi yang telah menjadi keputusan Pimpinan UI. (CNN.Indonesia, Minggu 13/9/2020). Padahal sebelumnya, Kepala Biro Humas dan KIP UI Amelita Lusia sempat membenarkan pakta integritas untuk mahasiswa baru UI itu.
Kasus ini pun, menunjukkan bahwa banyak pihak -pihak berupaya memberangus kesadaran politik dan sikap kritis mahasiswa. Respons ini bukan tanpa alasan. Bentuk otoriter kampus ini tampak dari isi Pakta Integritas tersebut. Dalam Pakta Integritas itu terdapat 13 poin yang tak boleh dilanggar mahasiswa sejak ditetapkan sebagai mahasiswa UI. Karena ditandatangani di atas meterai, maka pelanggarannya berkonsekuensi hukum, yakni maksimum diberhentikan dari kampus.
Dari 13 poin tersebut, ada dua poin yang paling dikritisi yakni poin 10 dan 11. Poin kesepuluh tentang larangan mahasiswa baru terlibat politik praktis yang mengganggu tatanan akademik dan bernegara. Sedangkan poin kesebelas terkait larangan berpartisipasi dalam kegiatan kelompok/organisasi yang tidak mengantongi izin resmi pimpinan fakultas/universitas. Untuk sanksi pelanggaran bisa di Drop Out dari kampus UI.
Ketika kampus dinormalisasi, mahasiswa disterilkan dari aktivitas politik, apa jadinya negeri ini. Karena keterbungkaman, mati daya kekritisan mahasiswa, sementara kezaliman sistem dan rezim terus berjalan tanpa kritik. Korupsi bebas, kebijakan rezim prokapitalis Asing-Aseng, sementara rakyat negeri ini bertambah menderita. Bukan kali ini saja kampus melakukan pembungkaman. Atas nama radikalisme, intoleran, dan sebagainya, kampus banyak membungkam suara kritis mahasiswa. Mahasiswa pun banyak yang diberhentikan, ditangkap ketika menyuarakan sikap yang bertentangan dengan kebijakan rezim. Dan tentu tak mengherankan pemerintah dalam sistem demokrasi sangat anti terhadap kritikan.
Sayang disayangkan bahwa kampus harusnya melakukan pembinaan politik yang benar, bukan membungkam mahasiswa dan akademisi, bahkan “mengalienasikan” mereka dari perannya terhadap masyarakat dan bangsa ini. Dengan memahamkan politik sejatinya tidak melulu berkaitan dengan pertarungan perebutan kekuasan seperti dalam sistem demokrasi,tetapi bagaimana mengurus berbagai kepentingan rakyat.
pandangan Islam tentang bagaimana keberadaan kampus sebagai bagian dari lembaga pencetak insan pemikir mengatualisasikan diri sebagai bentuk hasil penempaan yang diterima tentu tak jauh dari saksiyah dan nafsiyah Islam. Dalam pembinaan mahasiswanya, perguruan tinggi dalam Islam mengacu pada pelaksanaan segi keislaman, yakni menempatkan agama sebagai inovasi penemuan dalam bidang penemuan baru seperti pada era peradaban emas Islam yang lalu serta upaya untuk mencapai generasi yang memiliki kepribadian tangguh, berwawasan keagamaan dan mampu menempatkan agama sebagai motivator dalam masyarakat.
Hal ini mutlak penting, sebab mahasiswa adalah panutan. Jika seorang enggan mengamalkan ilmunya atau mengamalkan sesuatu yang bertentangan dengan ilmunya, termasuk dosa besar dan hasilnya ilmu yang dipelajari tidak akan menghasilkan kebajikan melainkan kebatilan. Seperti Firman Allah Swt. “,Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab ? Maka tidakkah kamu berpikir?” (QS. Al Baqarah (20) : 44). Dan model perguruan tinggi semacam ini pun didapat, jika kembalinya negara dan bangsa ini ke ideologi Islam ke akidah dan syariat Islam dan bukan dengan tetap mempertahankan sistem status quo.
Wallahu A’lam Bisshawab
Penulis : Umma Aqila Safhira
Editor : YA