TEGAS.CO., NUSANTARA – Ancaman wabah Covid-19 masih mengintai. Ditengah rencana penguasa melaksanakan Pilkada 2020. Berbagai respon penolakan berdatangan. Namun penguasa enggan menunda apalagi membatalkan. Apa sesungguhnya yang di inginkan penguasa negeri? Bukankah nyawa rakyat lebih utama dari pada penyelenggaraan sebuah pesta (demokrasi)?
Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI), Anwar Abbas menyatakan, hidup dan sehat adalah dua karunia Tuhan yang harus dijaga dan dipelihara. Oleh karena itu, apapun yang akan dilakukan harus ditakar dan ditimbang dari kedua hal tersebut. Hal itu dikatakan Anwar, merespons dinamikan Pilkada di tengah ancaman pandemi Covid-19 yang semakin luas. (Sindonews, 21/09/20).
Pendapat senada juga disampaikan pada agenda yang diselenggarakan Kelompok Studi Demokrasi Indonesia (KSDI). Pilkada yang direncanakan digelar 9 Desember 2020 perlu ditunda ke tahun depan guna mencegah bom waktu lonjakan Covid-19 (Beritasatu.com,14/9/20).
Masih dari sumber yang sama. Sekitar 91% yang mengikuti polling dalam acara tersebut meminta agar pilkada ditunda dan menerbitkan payung hukum untuk itu karena, tidak ada urgensinya dan hanya membesarkan masalah yang sudah ada.
Wacana penundaan pilkada pernah dibahas oleh pemerintah, KPU, dan DPR. Namun, waktu itu, kata Mahfud, diputuskan pilkada tetap digelar 9 Desember 2020. Ada dua alasan. Pertama, pemerintah dan DPR tidak mau 270 daerah di Indonesia serentak dipimpin oleh pelaksana tugas.
Kedua, jika ditunda karena Covid-19, sampai kapan? Sampai kapan Covid-19 berhenti dan tidak lagi berbahaya? Toh, sampai hari ini, angka positif Covid-19 masih terus menanjak.
Bagi rakyat, dipimpin oleh kepala daerah terpilih atau pelaksana tugas kepala daerah tidak memberikan perbedaan yang berarti. Karena keduanya akan menerapkan sistem yang sama. Sistem demokrasi kapitalis sekuler. Sebuah sistem yang memisahkan agama dari kehidupan. Memisahkan agama dari negara. Aturan yang menjunjung prinsip kebebasan dan asas manfaat.
Demokrasi yang telah ditetapkan selama ini terbukti belum mampu mensejahterakan rakyat. Problematika kehidupan yang kompleks saat ini akan tetap berlangsung. Yang terjadi selama Pemilu atau pilkada hanya pergantian wajah yang berkuasa tapi, sistemnya tetap sama.
Sikap penguasa yang terkesan ngotot ingin melaksanakan pilkada ditengah wabah meski penolakan datang dari berbagai pihak menegaskan pilkada dilaksanakan demi kepentingan penguasa yang haus kekuasaan. Bukan demi kepentingan rakyat.
Bahkan rela mempertaruhkan nyawa rakyat dalam ancaman covid 19. Dan menghabiskan banyak uang rakyat untuk pesta demokrasi sebatas formalitas memilih pemimpin. Padahal pemimpin terpilih sudah ditentukan oleh pihak kapital/pemodal yang mengendalikan negeri ini.
Jika dana pemilu dan pilkada diberikan untuk membantu kehidupan rakyat ditengah wabah, tentu akan meringankan beban hidup mereka. Tapi pilihan ini tidak diambil oleh penguasa. Oleh karena itu kita butuh ganti wajah penguasa dan ganti sistemnya.
Fakta masih berlangsung dan meningkatnya wabah covid 19 masih di depan mata. Ini menunjukkan kegagalan penguasa menjamin keselamatan rakyat. Harusnya inilah yang menjadi fokus penguasa. Bagaimana menghentikan wabah. Bukan malah menyelenggarakan Pilkada. Jika perlu dana Pilkada dialihkan untuk penanganan wabah.
Kegagalan ini disebabkan karena penguasa keliru menetapkan akar masalah dan solusi menyelesaikan wabah.
Seharusnya dari awal penguasa mengambil sikap tegas menutup akses penyebaran wabah dan serius melakukan pengobatan bagi yang terinfeksi serta menjamin akses kebutuhan hidup rakyat dengan mudah. Intinya melakukan upaya pencegahan dan pengobatan dengan seoptimal mungkin.
Diabaikannya suara 91% peserta agenda yang diselenggarakan Kelompok Studi Demokrasi Indonesia (KSDI) agar pilkada ditunda dan diterbitkan payung hukum untuk itu, menunjukkan kegagalan sistem pemerintahan demokrasi. Slogan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat hanya pepesan kosong.
Prinsip suara terbanyak tidak berlaku jika bukan dari pihak penguasa. Jika bukan kepentingan penguasa. Kepentingan penguasa saat ini adalah melanggengkan kekuasaan. Melanjutkan pemerintah demokrasi yang terbukti telah gagal menghadirkan kesejahteraan pada rakyat.
Kegagalan sistem pemerintahan demokrasi ini terjadi karena asas penguasa mengambil kebijakan adalah akal dan hawa nafsu semata. Menjadikan standar manfaat sebagai pertimbangan. Hubungan antara penguasa dan rakyat seperti majikan dan bawahan. Sehingga majikan hanya mengutamakan kepentingannya atas bawahan. Memperoleh materi meski mengorbankan kepentingan dan nyawa rakyat.
Termasuk bentuk kegagalan saat penguasa galau harus memilih antara menyelamatkan nyawa atau ekonomi saat PSBB diberlakukan. Saat ini angka penderita covid 19 terus meningkat sedangkan ekonomi menuju ambang resesi ekonomi.
Tentu hal ini berbeda dengan kondisi saat Islam secara total diterapkan. Melalui sistem pemerintahan Islam khilafah, sistem kesehatan islam, sistem ekonomi Islam, sistem keuangan Islam dan sistem lainnya. Semua sistem ini saling berhubungan dan menguatkan demi terwujudnya kesejahteraan dan kebahagiaan bagi rakyat. Lebih dari itu sebagai seorang muslim wajib menjalankan kehidupannya sesuai dengan syariat yang datang dari Allah SWT.
Allah SWT berfirman: “maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu (QS. Al-Maidah 48).
Khilafah adalah kepemimpinan bagi seluruh kaum muslim yang menerapkan Islam total. Merupakan sebuah kebutuhan bagi umat Islam untuk mengangkat seorang Khalifah yang akan memimpin Daulah Khilafah dan menerapkan syariat Islam secara kaffah (total). Maka tegaknya khilafah adalah sebuah kewajiban, dan setiap kelalaian untuk menegakkannya adalah dosa besar. Rasulullah SAW memerintahkan umat Islam untuk memberikan baiat kepada seorang Khalifah.
Rasulullah SAW bersabda: “Dan barang siapa mati, sementara tidak ada baiat di pundaknya, maka matinya dalam keadaan jahiliyah” (HR. muslim).
Dengan syariat islam, Khilafah memelihara seluruh urusan manusia. Jika syariah tidak diterapkan dalam naungan Daulah Khilafah, maka kedaulatan Islam dalam seluruh aspek kehidupan manusia tidak akan pernah terwujud secara nyata. Maka kerahmatan Islam yang telah dijanjikan Allah tidak akan dirasakan pula.
Jadi, Khalifah bisa dikatakan sebagai wakil umat dalam pemerintahan untuk menerapkan syariat Islam. Khalifah adalah kepala negara Daulah Khilafah. Islam memberikan umat hak untuk memilih Khalifah yang dikehendaki untuk mengurus kehidupan mereka. Melalui baiat, calon Khalifah yang menang melalui pemilihan, sah menjadi Khalifah. Maka tidak boleh ada paksaan dalam memilih Khalifah. Pemilihan harus berlangsung dengan prinsip kerelaan dan kebebasan memilih. Sebagai umat Islam di masa lalu telah memberikan baiat kepada keempat Khulafaur Rasyidin secara sukarela. Baiat kepada Khalifah diberikan kepada umat dengan syarat Khalifah terpilih akan menerapkan Islam secara total.
Oleh karena itu kegagalan penguasa menyelesaikan problematika dalam semua lini kehidupan saat ini disebabkan oleh penerapan aturan yang lahir dari sistem demokrasi kapitalis sekuler yang bukan dari Islam. Bahkan bertentangan dengan Islam. Sehingga problematika ini membutuhkan solusi yang sahih (benar). Solusi yang datang dari zat yang maha segalanya. Zat yang telah menciptakan manusia dan alam semesta. Dialah Allah SWT.
Sehingga hadirnya Khilafah saat ini adalah kewajiban melekat di pundak seluruh kaum muslim. Untuk segera bisa berhukum hanya dengan hukum Allah SWT saja. Disamping itu, penerapan syariat sebagai solusi tuntas atas problematika kehidupan adalah kebutuhan mendesak agar kesejahteraan dan kebahagiaan dapat diwujudkan. Tidak hanya di dunia tapi juga di akhirat.
Penulis: Farah Sari, A.Md. (Aktivis Dakwah Islam, Jambi)
Editor: H5P