TEGAS.CO., JAKARTA- Saat ini tidak hanya dihantam oleh pandemi covid 19, bencana banjir kini mulai melanda ibu kota setelah beberapa hari di guyur oleh hujan deras yang telah menggenangi sejumlah ruas jalan. Situasi ini sungguh mengkhawatirkan lantaran berjuang ditengah perang dengan pandemi Covid 19 dan ancaman banjir musim hujan. Apalagi, Jakarta menjadi penyumbang kasus tertinggi Covid 19.
Dikutip dari detikNews Kapusdatin BPBD DKI Jakarta M Insaf mengatakan ada 63 RT yang terendam. Insaf memerinci, di wilayah Jakarta Barat ada 14 RT yang tergenang dengan ketinggian 10-80 sentimeter. Jakarta Selatan ada 10 RT yang tergenang dengan ketinggian 10-40 cm. Kemudian di Jakarta Timur ada 37 RT yang tergenang dengan ketinggian 10-100 centimeter. Jakarta Pusat ada 1 RT dengan ketinggian 20-50 cm, serta ada 1 RT di Jakarta Utara yang terendam dengan ketinggian 20 cm.
Akibat banjir itu, ada 104 jiwa yang mengungsi. Untuk titik pengungsian ada di 5 lokasi, yakni Musala Riyadhul Saadah, Kembangan Utara, Jakarta Barat; PT Delta Laras Wisata Kelurahan Rawajati, RW 7, Jakarta Selatan; Puskesmas Rawajati 2, RW 7, Jakarta Selatan; Halaman Rumah Dinas, RW 7 Rawajati, Jakarta Selatan; Rusunawa Pengadegan, Jakarta Selatan.
Berdasarkan data covid19.go.id, sebanyak 25,3 persen kasus virus Corona di Tanah Air berasal dari DKI. Hingga Selasa (22/9) siang, sudah ada 63.318 penduduk ibu kota yang terinfeksi COVID-19. Dari jumlah tersebut, sebanyak 49.546 pasien dinyatakan sembuh dan 1.570 orang meninggal dunia. Sedangkan 12.202 orang lainnya masih berjuang untuk sembuh dari virus corona dengan menjalani isolasi mandiri ataupun perawatan di rumah sakit. Dampak dari lonjakan kasus covid 19 di Jakarta, juga mulai diterapkan kembali pembatasan sosial berskala besar (PSBB) tanggal 14 September 2020 demi menekan meluasnya penyebaran virus Corona.
Peristiwa banjir di tengah pandemi Covid 19 ternyata juga sempat melanda Jepang bulan Juli lalu. Berkaca dari Jepang, ditemukan bahwa jika terjadi bencana banjir ternyata dapat meningkatkan risiko penularan Covid 19. Sebabnya, banyak korban yang mengungsi dan harus bercampur dengan orang lain di lokasi penampungan. Kondisi tersebut dikhawatirkan akan meningkatkan risiko penyebaran Covid 19.
Oleh karena itu, Indonesia harus mulai waspada dan menyiapkan langkah-langkah untuk mengatasi banjir di tengah pandemi. Terlebih lagi, wilayah Indonesia memang rawan banjir di kala musim hujan tiba. “Antisipasi kita adalah satu untuk masyarakat, siapkan tempat-tempat penampungan apabila sampai mereka terkena banjir,” kata Anies Baswedan seperti dilansir dari Detik, Senin (21/9). “Dan kali ini agak berbeda karena tempat penampungannya harus memasukkan protokol kesehatan COVID-19.”
Ada banyak pandangan terkait penyebab banjir. Namun, satu hal yang harus kita ketahui bahwa fakta bahwa banjir (khususnya) di Jakarta tidak hanya terjadi satu atau dua kali saja (insidental). Ini berarti ada yang kurang tepat secara sistemik dalam pengaturan tata kelola kota. Sehingga, usaha mengatasi banjir secara teknis tidaklah mencukupi, karena masalahnya ada pada ideologi yang diterapkan negara, yakni kapitalisme.
Sistem kapitalisme yang didasarkan pada pertumbuhan ekonomi, memberi ruang seluas-luasnya bagi penguasa dan pemilik modal (pengusaha) untuk meraih keuntungan sebanyak-banyaknya.
Maka tak heran saat profit oriented menjadi tujuan utama dari pemangku kebijakan, muncullah banyak aturan yang memberikan kemudahan dalam pembangunan industri, perkantoran, dan bisnis menggiurkan lainnya semacam villa dan hotel mewah.
Tidak seperti kapitalisme, Islam menjamin pembangunan harus selalu menjaga keseimbangan lingkungan. Hal ini karena prinsip tata kota dalam Islam dikembangkan dengan memberikan daya dukung lingkungan, karena Islam melarang bersikap zalim baik terhadap sesama manusia, hewan dan tumbuhan.
Di masa keemasan Islam, bendungan-bendungan dengan berbagai macam tipe telah dibangun untuk mencegah banjir maupun untuk keperluan irigasi. Di Provinsi Khuzestan, daerah Iran selatan misalnya, masih berdiri dengan kokoh bendungan-bendungan yang dibangun untuk kepentingan irigasi dan pencegahan banjir. Khilafah juga membentuk badan khusus yang menangani bencana-bencana alam yang dilengkapi dengan peralatan-peralatan berat, evakuasi, pengobatan, dan alat-alat yang dibutuhkan untuk menanggulangi bencana. Tak lupa, Khilafah pun akan cepat tanggap menangani korban-korban bencana alam. Khilafah akan segera bertindak cepat dengan melibatkan seluruh warga yang dekat dengan daerah bencana.
Khilafah menyediakan tenda, makanan, pakaian, dan pengobatan yang layak agar korban bencana alam tidak menderita kesakitan akibat penyakit, kekurangan makanan, atau tempat istirahat yang tidak memadai.
Kemampuan peradaban Islam dalam mengatasi banjir dan bencana lain bertahan selama berabad-abad. Ini adalah buah sinergi dari keimanan, ketaatan kepada Allah SWT dan ketekunan mereka mempelajari sunatullah sehingga mampu menggunakan teknologi yang tepat dalam mengelola air dan menghadapi banjir.
Demikianlah sejarah gemilang ketika sistem Islam diterapkan di muka bumi ini. Negara Islam (Khilafah) telah terbukti nyata kemampuannya dalam mengatasi banjir. Maka dari itu, jika kita ingin mengatasi masalah banjir secara tuntas, sudah semestinya kita mengembalikan segala sesuatu hanya kepada sistem Islam saja. Yaitu dengan menerapkan sistem Islam secara kaffah dalam institusi Daulah Khilafah Islamiyah.
Wallahu a’lam bi ash-shawwab.
Penulis: Ratna Kurniawati (Aktivis Remaja)
Editor: H5P