RUU Cipta Kerja Disahkan di Tengah Pandemi, Untuk Siapa?

Nelly, M.Pd. (Pemerhati Kebijakan Publik)

TEGAS.CO., NUSANTARA – Miris! rapat sampai tengah malam para tuan puan menyetujui RUU Cipta Kerja menjadi UU. Sebagaimana diberitakan, rapat kerja Baleg DPR dan pemerintah menyepakati RUU Cipta Kerja untuk disetujui menjadi UU dalam rapat paripurna. Tujuh fraksi melalui pandangan fraksi telah menyetujui RUU cipta kerja di sahkan menjadi UU, yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional, dan Partai Persatuan Pembangunan, sedangkan, dua fraksi menyatakan menolak RUU ini, yaitu Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Demokrat.

Dilansir dari suara rakyat.com, fraksi Demokrat dan Fraksi PKS sama-sama menolak Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja dibawa ke rapat paripurna untuk disetujui menjadi undang-undang meski kalah suara dari tujuh fraksi lainnya di Badan Legislatif DPR. Anggota Baleg DPR dari Fraksi Demokrat Hinca Panjaitan menegaskan bahwa semua pihak tidak perlu terburu-buru dalam mengesahkan RUU tersebut sehingga nantinya tidak ada kekhawatiran RUU Cipta Kerja akan berat sebelah.

Fraksi Demokrat menilai banyak hal yang harus dibahas kembali secara lebih mendalam dan komprehensif sehingga tidak perlu terburu-buru. Hinca juga menegaskan RUU tersebut tidak memiliki nilai urgensi di tengah pandemi covid-19. Sementara itu, anggota Baleg dari FPKS Ledia Hanifa Amaliah mengatakan bahwa ada beberapa catatan fraksi, pertama, Fraksi PKS memandang pembahasan RUU Cipta Kerja pada masa pandemi covid-19 ini menyebabkan terbatasnya akses dan partisipasi masyarakat dalam memberi masukan, koreksi, dan penyempurnaan terhadap RUU Cipta Kerja.

Kedua, F-PKS memandang RUU Cipta Kerja ini tidak tepat membaca situasi, tidak akurat dalam mendiagnosis, dan tidak pas dalam menyusun resep. Meski yang sering disebut adalah soal investasi, pada kenyataannya persoalan yang hendak diatur dalam Omnibus Law bukanlah masalah-masalah utama bagi negeri ini. Contoh ketidaktepatan ini adalah formulasi pemberian pesangon bagi buruh PHK yang tidak didasarkan atas analisis yang komprehensif (4/10/2020).

Mencermati RUU Cipta Kerja yang seakan dipaksakan di tengah pandemi ini untuk disahkan patut ditelaah bersama. Sebab keberadaannya tidak memiliki relevansi signifikan untuk segera disahkan, padahal banyak masalah terbesar yang perlu diperhatikan dan menjadi fokus pemerintah untuk diselesaikan. Seyogianya pemerintah lebih memaksimalkan penanganan covid-19, masalah korupsi, masalah birokrasi yang tidak efisien, dan menekan resesi ekonomi. Pun segala kebijakan harusnya lebih mementingkan urusan rakyat, sebab itulah fungsi dan tanggungjawab negara.

Namun inilah negeri demokrasi, suara terbanyak sah saja untuk memuluskan sesuatu kepentingan segelintir orang. Rakyat akan selalu menjadi korban setiap kebijakan. Kepentingan para pemilik modal lebih didahulukan ketimbang urusan rakyat. Menurut para fraksi yang menyetujui RUU Cipta Kerja ini disahkan adalah agar investasi dari luar mudah masuk serta Investor akan lebih banyak menanamkan modal di negeri ini.

Dari sini sangat terlihat bahwa investor atau swasta secara leluasa akan bebas mendirikan perusahaan dan membuka lapangan kerja, sementara pemerintah cukup dengan mempermudah dan menyederhanakan perizinan investasi. Akhirnya yang terjadi cipta lapangan kerja tanggung jawab pemerintah pun beralih kepada swasta dan mungkin pada investor asing.

Bisa dilihat bahwa Investor (korporasi) baik asing maupun swasta lokal tentu berhitung untung rugi dalam menanamkan modal mereka, sangat jauh dari tugas untuk kesejahteraan para pekerja. Dan tentunya dengan adanya investasi maka negara harus memenuhi berbagai persyaratan yang diminta para investor.

Jika dicermati lahirnya RUU ini tidak memihak pada kepentingan rakyat melainkan memuluskan kepentingan kaum kapitalis pemilik modal. Rakyatlah yang kemudian menjadi korban kezaliman penguasa lewat RUU Cipta Kerja ini.

Lantas apa sebenarnya yang menjadi penyebab dari persoalan ketenagakerjaan dalam RUU Omnibus Law Cika ini. Jika kita telaah dengan saksama bahwa akar masalahnya adalah aturan dan pembuat hukum itu sendiri. Dimana kita tahu bahwa di Indonesia selama ini mengadopsi telah mengadopsi produk Sekularisme-Kapitalisme neoliberal sehingga menghasilkan kebijakan dan perundangan yang sama sekali tidak berpihak pada kepentingan rakyat.

Maka dapat dikatakan bahwa semua pangkal persoalan yang terjadi akan diselesaikan dengan hukum dan aturan yang dibuat dalam payung undang-undang yang tentunya akan memihak kepada para pemilik modal (kapital).

Sistem Kapitalis-sekuler ini tidak akan pernah memperhatikan aspek kepentingan rakyat apalagi lingkungan. Yang ada adalah bagaimana mereka bisa menguasai segala kekayaan negeri ini.

Tentu ini menjadi bahaya yang mengancam bagi seluruh warga negara Indonesia, karena seharusnya mereka mendapat perlindungan dari negara.

Dalam sistem kapitalisme dengan sistem politiknya demokrasi, maka UU dibuat berdasarkan hawa nafsu dan kepentingan-kepentingan berbagai pihak. Setiap UU yang dibuat seakan-akan menunjukkan keberpihakan pada rakyat dan untuk kepentingan rakyat tetapi pada faktanya hanya memuluskan kepentingan para kapitalis.

Sebut saja UU Migas, UU Penanaman Modal, UU BUMN dan lainnya. Artinya yang menjadi pangkal persoalan negeri ini adalah kesalahan dalam sistem aturan tata kelola negara. Dari sini maka perlu kita mencari solusi yang benar dalam menyelesaikan setiap persoalan hidup termasuk dalam persoalan kenegaraan. Bagi seorang muslim tidak ada pilihan lain bahwa untuk mengatur kehidupan ini harus kembali pada aturan dari yang Maha Benar Allah SWT dengan sistem Islam.

Maka sebenarnya, dalam masalah ketenagakerjaan kaum pekerja dan umat ini membutuhkan Riayah (pengurusan) ketenagakerjaan sesuai dengan tata kelola dalam sistem Islam. Di mana Islam yang mengeliminir terjadinya konflik antara pekerja dan pengusaha serta memberi solusi paripurna atas problem ketenagakerjaan.

Islam sebagai sebuah agama yang sempurna, pernah diterapkan dan dicontohkan oleh Kanjeng Nabi dalam urusan peraturan bernegara. Termasuk dalam menyelesaikan pengangguran dan ketenagakerjaan. Sistem Islam Khilafah memberikan mekanisme pengaturan yang dilakukan oleh Khalifah dalam mengatasi pengangguran dan menciptakan lapangan kerja.

Mekanisme yang pertama yaitu kepada setiap individu warga negara khillafah diberikan pemahaman terutama melalui sistem pendidikan, tentang wajibnya bekerja dan kedudukan orang-orang yang bekerja di hadapan Allah SWT serta memberikan keterampilan dan modal bagi mereka yang membutuhkan.

Kemudian yang selanjutnya adalah mekanisme sosial dan ekonomi. Dalam sistem Islam Khilafah bidang ekonomi menjadi kebijakan negara untuk meningkatkan dan mengembangkan pada sektor riil baik di bidang pertanian, kelautan, tambang, ataupun perdagangan.

Dalam sistem Islam sendiri tidak dikenal yang namanya sektor non riil, sehingga negara tidak akan memberikan ruang berkembangnya sektor non riil ini seperti yang ada pada sistem kapitalisme. Sebab, sektor non riil selain haram juga menyebabkan beredarnya kekayaan di seputar orang kaya saja, lihat saja di negeri ini ketimpangan sosial amat nyata di depan mata.

Sistem Islam juga menegaskan bahwa yang bertanggung jawab terhadap ketersediaan lapangan kerja adalah tugas negara. Pemimpin Islam yaitu khalifah akan menciptakan iklim yang merangsang untuk membuka usaha melalui birokrasi sederhana, penghapusan pajak, dan melindungi industri dari persaingan yang tidak sehat.

Dan sistem Islam juga memberikan pengaturan bahwa seorang wanita tidak diwajibkan bekerja, tugas utamanya adalah sebagai ibu dan manajer rumah tangga. Sehingga kesempatan lapangan kerja hanya ada pada para laki-laki saja.

Kalaupun para wanita ingin bekerja itu boleh-boleh saja, tetapi hanya diprioritaskan bagi para lelaki. Itulah mekanisme dalam sistem Islam tatkala diterapkan dalam pengaturan negara.

Tentunya pengangguran mudah diatasi dan lapangan kerja tercipta secara merata dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat.

Semua hal tersebut akan terwujud manakala negara menerapkan sistem Islam secara kaffah dalam institusi negara Khilafah. Maka dari itu sudah saatnya kita akhiri semua problem yang menghimpit negeri ini termasuk persoalan ketenagakerjaan. Kembali pada hukum Allah SWT, maka keberkahan dan kesejahteraan akan kita dapatkan.
Wallahu ‘alam biss shawab

Penulis: Nelly, M.Pd. (Pemerhati Kebijakan Publik)
Editor: H5P