Omnibus Law, Menyengsarakan Rakyat

Nita Karlina ( Aktivis Muslimah Kendari)

TEGAS.CO., NUSANTARA – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Senin (5/10/2020), telah mengetok palu tanda disahkannya Omnibus Law RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang. Pengesahan tersebut dilakukan dalam Rapat Paripurna ke-7 masa persidangan I 2020-2021 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.(5/10/2020, kompas.com)

Istilah omnibus law pertama kali muncul dalam pidato pertama Joko Widodo setelah dilantik sebagai Presiden RI untuk kedua kalinya, Minggu (20/10/2019).

Dalam pidatonya, Jokowi menyinggung sebuah konsep hukum perundang-undangan yang disebut omnibus law. Saat itu, Jokowi mengungkapkan rencananya mengajak DPR untuk membahas dua undang-undang yang akan menjadi omnibus law. Pertama, UU Cipta Lapangan Kerja, dan kedua, UU Pemberdayaan UMKM. Jokowi menyebutkan, masing-masing UU tersebut akan menjadi omnibus law, yaitu satu UU yang sekaligus merevisi beberapa, atau bahkan puluhan UU.

Sementara itu, seperti di lansir oleh Kompas.com, Selasa (6/10/2020) UU Cipta Kerja, yang baru saja disahkan, terdiri atas 15 bab dan 174 pasal. Di dalamnya mengatur berbagai hal, mulai dari ketenagakerjaan hingga lingkungan hidup.

Secara keseluruhan, ada 11 klaster yang menjadi pembahasan dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja, yaitu:

Penyederhanaan perizinan tanah, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, ketenagakerjaan, kemudahan dan perlindungan UMKM, kemudahan berusaha, dukungan riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengenaan sanksi, pengendalian lahan, kemudahan proyek pemerintah, kawasan ekonomi khusus (KEK).

Meskipun UU Ciptaker telah disahkan, sejumlah protes yang menolak Undang-undang masih terus bergema. Beberapa di antaranya disuarakan oleh protes kaum buruh di sejumlah daerah. Ribuan buruh di Kabupaten Cianjur mogok kerja pada Rabu (7/10/2020). Hal itu dilakukan sebagai aksi lanjutan menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja.

Aksi mogok dan demo di perusahaannya masing-masing ini merupakan aksi lanjutan menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang disahkan beberapa hari lalu. Yang kami nilai beberapa point di dalamnya menyengsarakan buruh,” ujar Ketua Serikat Pekerja Nasional (SPN) Kabupaten Cianjur Hendra Malik. Menurut Hendra, aksi mogok kerja dan demo akan dilakukan selama tiga hari berturut-turut, mulai dari 6 Oktober sampai tanggal 9 Oktober 2020.

Pemerintah memutuskan hal ini sebelah pihak. Sejak awal pemerintah tidak demoktratis, dengan tidak melibatkan sejumlah pihak yang berkaitan dengan kebijakan tersebut dan tidak mau mendengarkan aspirasi rakyat. Bahkan salah satu anggota DPR fraksi demokrat yang menyatakan sikapnya menolak UU tersebut keluar dari ruang rapat paripurna.

Seperti yang di lansir oleh Republika.co.id- Fraksi Partai Demokrat DPR walk out saat rapat paripurna pengesahan RUU Cipta Kerja untuk menjadi undang-undang. Anggota Fraksi Partai Demokrat Benny K Harman menilai, Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin sudah sewenang-wenang dalam memimpin forum tersebut.

“Jadi karena pimpinan sewenang-wenang tidak dikasih kesempatan kami untuk sampaikan pandangan, maka kami mengambil sikap walk out,” ujar Benny di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (5/10).

Selain itu, RUU yang saat ini sudah menjadi Undang-Undang Cipta Kerja ini dinilai hanya menguntungkan pebisnis. Sedangkan beberapa kelompok, seperti pekerja, petani, nelayan, dan lain-lain tak diperhatikan. “Hanya berikan legalisasi, dekriminalisasi terhadap pebisnis yang selama ini lakukan perambahan hutan, itu yang terjadi. Bagaimana kita bisa setujui RUU semacam ini, maka kami menolak,” ujar Wakil Ketua Umum Partai Demokrat itu.

Pengesahan RUU Cipta Kerja ini bersamaan dengan penutupan masa sidang pertama yang dipercepat dari yang direncanakan, pada 8 Oktober 2020 menjadi 5 Oktober 2020. Di sisi lain, pengesahan tersebut mendapat penolakan dari berbagai elemen masyarakat. Hal itu disebabkan Omnibus Law UU Cipta Kerja, dinilai akan membawa dampak buruk bagi tenaga kerja atau buruh.

Berikut beberapa kerugian jika UU tersebut di terapkan:

  1. Omnibus Law memperburuk hak perlindungan buruh perempuan. “UU Ciptaker tidak kenal cuti karena haid atau keguguran, karena hanya menyebutkan cuti tahunan atau cuti panjang lainnya yang diatur dalam kerja,” kata Koordinator Program Badan Eksekutif Nasional Perempuan, Arieska Kurniawaty di Jakarta, Senin 5 Oktober 2020. Lebih lanjut, Arieska menegaskan, penolakan terhadap UU Omnibus Law Cipta Kerja perlu disuaraka
  2. Beberapa pengaturan dalam UU ini akan berimplikasi pada ketidakpastian aturan dan implementasi uji kelayakan lingkungan hidup, melemahnya instrumen pencegahan lingkungan hidup dengan dihapusnya izin lingkungan, dan pembatasan partisipasi publik. Pada akhirnya, pengaturan ini akan menghambat investor untuk patuh terhadap standar kepatuhan lingkungan hidup dan sosial yang ditetapkan Lembaga Keuangan Internasional. Lembaga Keuangan Internasional selaku aktor yang mengemban tanggung jawab menerapkan tata kelola yang baik untuk mencapai pembangunan berkelanjutan, sangat berkepentingan dalam menjaga terpenuhinya standar tersebut sesuai tuntutan dari masyarakat internasional. Dampak disahkannya UU Cipta Kerja memiliki kemungkinan untuk memperparah kerusakan iklim yang semakin masif, melanggengkan kondisi krisis dan menaruh rakyat di bawah ancaman bencana.
  3. Cerminan semakin rendahnya komitmen pemerintah dalam melindungi sumber daya alam (SDA), hutan, lahan, dan laut Indonesia. Kebakaran hutan yang tiap tahun berulang, industri batu bara yang masih mendominasi, akan membuat sulit Indonesia untuk memenuhi komitmen terhadap Perjanjian Paris (Paris Agreement).

Di masa-masa pandemi ini, pemerintah seharusnya berupaya agar masalah covid ini dapat terselesaikan. Namun pada faktanya justru negara yang membuat masalah itu sendiri. Kebijakan demi kebijakan yang di terapkan sangat tidak sesuai dengan keadaaan. Hanya mementingkan sebelah pihak yg dapat di untungkan, mereka merelakan masyarakat untuk jadi korban kesengsaraan kebijakan tersebut. Alih alih supaya perekonomian negara dapat stabil, namun pada faktanya masyarakat malah di rugikan.

Islam Melindungi Kaum Buruh

Syariah Islam memberikan perlindungan kepada kaum buruh dengan mengingatkan para majikan/perusahaan sejumlah hal: Pertama, perusahaan harus menjelaskan kepada calon pekerja jenis pekerjaan, waktu/durasi pekerjaan serta besaran upahnya. Mempekerjakan pekerja tanpa kejelasan semua itu merupakan kefasadan.

Kedua, upah buruh tidak diukur dari standar hidup minimum di suatu daerah. Cara inilah yang dipakai sistem Kapitalisme di seluruh dunia. Dibuatlah standar upah minimum daerah kota/kabupaten atau propinsi. Akibatnya, kaum buruh hidup dalam keadaan minim atau pas-pasan. Pasalnya, gaji mereka disesuaikan dengan standar hidup minimum tempat mereka bekerja. Seberapa keras mereka bekerja tetap saja mereka tidak bisa melampaui standar hidup masyarakat karena besaran upahnya diukur dengan cara seperti itu. Bahkan di masyarakat Eropa yang standar gajinya terlihat besar, gaji buruh juga tidak mencukupi kebutuhan hidup mereka. Pasalnya, biaya hidup mereka juga besar. Inilah kelicikan sistem Kapitalisme.

Dalam Islam, besaran upah mesti sesuai dengan besaran jasa yang diberikan pekerja, jenis pekerjaan, waktu bekerja dan tempat bekerja. Tidak dikaitkan dengan standar hidup mininum masyarakat. Pekerja yang profesional/mahir di bidangnya wajar mendapatkan upah lebih tinggi dibandingkan pekerja pemula. Meski pekerjaan dan kemampuan sama, tetapi waktu dan tempat bekerja berbeda, berbeda pula upah yang diberikan. Misal: tukang gali sumur yang bekerja di lapisan tanah yang keras semestinya mendapatkan upah lebih besar dibandingkan dengan pekerjaan serupa di tanah yang lunak.

Ketiga, perusahaan wajib memberikan upah dan hak-hak buruh sebagaimana akad yang telah disepakati, baik terkait besarannya maupun jadwal pembayarannya. Majikan/perusahaan haram mengurangi hak buruh, mengubah kontrak kerja secara sepihak, atau menunda-nunda pembayaran upah. Semua ini termasuk kezaliman. Nabi saw. bersabda:

قَالَ اللَّهُ ثَلاَثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، رَجُلٌ أَعْطَى بِى ثُمَّ غَدَرَ، وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ، وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ، وَلَمْ يُعْطِ أَجْرَهُ

Allah telah berfirman, “Ada tiga golongan yang Aku musuhi pada Hari Kiamat: seseorang yang berjanji atas nama-Ku kemudian ingkar; seseorang yang menjual orang merdeka kemudian menikmati hasilnya; seseorang yang memperkerjakan buruh dan buruh tersebut telah menyempurnakan pekerjaannya, namun ia tidak memberikan upahnya.” (HR al-Bukhari).

Menunda pembayaran upah/gaji pegawai, padahal mampu, termasuk kezaliman. Nabi saw. bersabda:

مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ

Menunda penunaian kewajiban (bagi yang mampu) termasuk kezaliman (HR al-Bukhari dan Muslim).

Bahkan orang seperti ini halal kehormatannya dan layak mendapatkan hukuman, sebagaimana sabda Nabi saw.:

لَيُّ الْوَاجِدِ يُحِلُّ عِرْضَهُ وَعُقُوبَتَهُ

Orang yang menunda kewajiban itu halal kehormatannya dan pantas mendapatkan hukuman (HR Abu Dawud, an-Nasa’i dan Ibnu Majah).

Negara wajib turun tangan menyelesaikan perselisihan buruh dengan majikan/perusahaan. Negara tidak boleh berpihak kepada salah satu pihak. Akan tetapi, negara harus menimbang dan menyelesaikan permasalahan kedua pihak secara adil sesuai dengan ketentuan syariah Islam.

Tidak ada solusi yang dapat mengatasi problematika negeri ini, kecuali Islam. Hanya Islam yang akan memberikan berkah dan rahmat bagi seluruh alam. Sudah saatnya kita kembali pada hukum Allah, karna Allah Swt adalah sebaik baik pembuat hukum.
Wallahualam bishowwab.

Penulis: Nita Karlina ( Aktivis Muslimah Kendari)
Editor: H5P