Omnibus Law Memperparah Konflik Agraria dan Kerusakan Lingkungan

IMG 20201026 WA0034 1
Asiyah (Mahasiswa Halu Oleo Kendari)

TEGAS.CO., NUSANTARA – Kritik dan penolakan Omnibus Law Undang-undang (UU) Cipta Kerja terus bergulir di kalangan masyarakat, meskipun akhir pekan lalu Presiden Joko Widodo telah memberikan penegasan bahwa Omnibus Law UU Cipta Kerja ini akan jalan terus, dan mempersilahkan masyarakat yang keberatan untuk mengajukan judicial review atau uji materi Omnibus Law UU Cipta Kerja ini ke Mahkamah Konstitusi.

Kritik pedas terhadap pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja kali ini datang dari Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Maria SW Sumardjono. Maria berpendapat Omnibus Law UU Cipta Kerja desainnya kurang tepat.

Karena sudah banyak yang memberikan masukan, tapi tidak diindahkan. Selain itu pada awal Juli, khusus mengenai pengaturan pertanahan, Maria telah memberikan masukan secara langsung kepada Badan Legislasi DPR. “Sehingga kami merasa setalah desain ada dasolenya. Apakah yang diatur tidak bertentangan dengan konstitusi, dan prinsip dari UU yang lain,” terang Maria.

Disisi lain Omnibus Law UU Cipta Kerja juga akan mengubah konsep strict liability, alias tanggung jawab mutlak tanpa perlu pembuktian atas kerugian lingkungan yang diatur dalam pasal 88. Pasal baru dalam Omnibus Law UU Cipta Kerja menghapus frasa “tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan”.

Sementara itu, Guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Muhammad Ramdan Andri Gunawan, menyoroti rencana perubahan pasal sanksi yang sebelumnya diatur Undang-Undang PPLH. Menurut dia Omnibus Law UU Cipta Kerja mempersempit pemilihan sanksi karena pidana hanya bisa dijatuhkan, apabila perusak lingkungan tidak mampu atau tidak mau membayar denda. Selain itu, sanksi pidana hanya berupa kurungan. “UU ini gagal dalam konstruksi sanksi pidana. Sudah pasti pertanggungjawaban korporasi hilang karena korporasi tidak mungkin dipenjara,” tuturnya (tempo.co/16/7/2020).

Omnibus Law UU Cipta Kerja Tidak Berorientasi Lingkungan

Sebagai seorang muslim, kita tidak hanya dituntut untuk beribadah kepada Allah swt dan berbuat baik terhadap sesama manusia, tetapi juga melestarikan lingkungan. Yang mana Nabi Muhammad Saw. telah mengingatkan umatnya agar selalu menjaga keseimbangan alam, dengan tidak mengotori atau membuat alam ini rusak. Nabi Muhammad Saw. mencontohkan ini dari hal terkecil, seperti melarang umatnya untuk buang air kecil di tempat air yang tidak bergerak atau di lubang yang ada binatangnya.

Kita juga perlu menyadari bahwa sebagai khalifah di bumi, kita dituntut untuk menjaga lingkungan sebagai salah satu tujuan hidup menurut Islam, sebagaimana firman Allah SWT, ”Dan bila dikatakan kepada mereka: “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan”. (Q.S. Al Baqarah :11).

Namun sayangnya, masih banyak umat muslim yang tidak memperhatikan hukum-hukum Allah Swt. tersebut, karena semakin hari mereka justru semakin banyak merusak lingkungan, antara lain dengan kebijakan yang dibuatnya. Berbagai kehancuran dan kerusakan terjadi dimana-mana, hingga menimbulkan bencana alam.

Allah Swt. telah memperingatkan manusia akan hal ini, “ Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. (Q.S. Ar Rum:41)

Andaikan saja sistem Islam masih tegak saat ini, tentu tak akan ada kebijakan yang tidak berpihak pada kelestarian lingkungan. Karena Islam sangat memperhatikan kelestarian lingkungan.

Sikap seperti ini ditunjukkan pada masa Kekhalifahan, misalnya peradaban Islam di Semenanjung Arab. menjaga kawasan konservasi yang disebut hima. Hima sebagai tempat untuk kehidupan binatang liar maupun tumbuh-tumbuhan. Agar sesuai dengan hukum Islam, sebuah hima harus memenuhi beberapa syarat yang telah dipraktikkan Nabi dan para Khalifah.

Khalifah Umar juga mengatakan, “Semua properti milik Allah Swt. Dan semua makhluk di muka bumi ini tiada lain adalah hamba Allah. Jika bukan karena Allah, aku tidak akan melindungi tanah ini.”

Bandingkan dengan sistem Kapitalis-Sekuler saat ini. Sungguh rezim saat ini telah berlaku tidak adil terhadap kelestarian lingkungan, karena kebijakan Omnibus Law UU Cipta Kerja tidak memihak kelestarian lingkungan.

Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya manusia yang paling dicintai oleh Allah pada hari kiamat dan paling dekat kedudukannya di sisi Allah adalah seorang pemimpin yang adil. Sedangkan orang yang paling dibenci oleh Allah dan paling jauh kedudukannya dari Allah adalah seorang pemimpin yang zalim.” (HR Tirmidzi).

Semoga saja pemimpin saat ini dapat memikirkan kembali kebijakan yang telah disahkannya. Jika tidak, jangan salahkan masyarakat jika kelak akan beralih ke sistem Islam, karena pemimpin yang lahir dari sistem Islam terbukti mampu mewujudkan kehidupan rahmatan lil alamin (rahmat bagi semesta alam). Tentunya dengan penerapan Islam secara kaffah, sehingga akan terwujud negeri Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghofur (negeri idaman). Wallahu’alam bishowab.

Penulis: Asiyah (Mahasiswa Halu Oleo Kendari)
Editor: H5P