Mewaspadai Stres pada Anak Saat Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ)

Zuharmi Hamaku, S.Si (Pengajar dan Pemerhati Pendidikan Anak)

TEGAS. CO., NUSANTARA – Beberapa waktu lalu kita dikagetkan dengan peristiwa seorang pelajar kelas XI SMA di Gowa, Sulawesi Selatan yang ditemukan meninggal dunia di tempat tidurnya. Menurut hasil penyelidikan pihak kepolisian, diduga pelajar tersebut nekad mengakhiri hidupnya karena depresi dengan beban tugas daring dari sekolah. (kompas.com, 19/10/2020). Sebelumnya, seorang bocah kelas 1 SD berusia 8 tahun ditemukan telah menjadi jasad terkubur di TPU Desa Cipalabuh Lebak Banten, pelaku secara diam-diam memakamkan jenazah korban secara tidak layak. Pelaku pembunuhan tersebut diduga tidak lain adalah orang tua kandung bocah itu sendiri. Menurut pihak kepolisian, pelaku mengaku kesal lantaran korban susah diajari saat belajar online. (kompas.com, 14/09/20). Kedua peristiwa tersebut menambah daftar panjang perilaku menyimpang anak karena pola pembelajaran yang tak kunjung darurat di saat pandemi ini, sungguh miris. Selain itu tingginya kasus kekerasan pada anak sering kali berulang terjadi. Lagi-lagi korbannya adalah anak.

Stres dan Kekerasan pada Anak Meningkat

Adanya kasus bunuh diri dan kekerasan anak yang semakin meningkat, menurut Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Pendidikan Retno Listyarti, banyak anak tak mampu mengikuti Pelajaran Jarak Jauh (PJJ), akibatnya anak-anak tertekan, selain karena terlalu banyak tugas yang dibebankan padahal waktu pengerjaan singkat, juga masalah ketersediaan sarana pendukung PJJ. (tempo.co, 23/7/20). Selain itu, berdasarkan survei KPAI pada 8-14 Juni 2020 yang melibatkan 25.164 orang responden, menunjukkan bahwa anak-anak mengalami kekerasan fisik dan psikis selama pandemi. Menurut survei tersebut kekerasan fisik meliputi dicubit (23 %), dipukul (9 %), dijewer (9 %), dijambak (6 %), ditarik (5%), ditendang (4 %), dikurung (4 %), ditampar (3%), dan diinjak (2 %). Sedangkan kekerasan psikis meliputi dimarahi (56 %), dibandingkan dengan anak lain (34 %), dibentak (23 %), dipelototi (13 %), dihina (5 %) dan diancam (4 %). Pelakunya keluarga terdekat seperti ibu, ayah, kakak, adik, saudara lainnya, kakek, nenek hingga asisten rumah tangga. (jpnn.com, 26/07/2020). Dari data ini cukuplah menunjukkan bahwa tingkatan stres telah menjangkiti anak dan keluarga karena perubahan kehidupan dan pola belajar saat pandemi ini.

Menelisik Sebab Musabab Tekanan Pembelajaran Jarak Jauh

Menurut Frank A. Ghinassi, PhD, ABPP, Presiden dan CEO Perawatan Kesehatan dan Perilaku Universitas Rutgers Health, ada beberapa faktor pendukung lainnya penyebab stres atau depresi pada anak khususnya pelajar. Diantaranya adalah kekurangan makanan, ekonomi, perselisihan orang tua, status sosial, hubungan antar-remaja , kekerasan dalam rumah tangga dan pencarian jati diri menuju dewasa. (youth.pikiran-rakyat.com,13/10/2020). Dari paparan para ahli dan kondisi di lapangan, ada sebab internal dan eksternal yang menambah stres pada pelajar. Sebab eksternal, jeratan kemiskinan. Kemiskinan membuat orang tua tak mampu memenuhi kebutuhan anak untuk sekolah daring. Ketidakmampuan menyediakan gawai atau laptop, membeli paket internet, menyediakan makanan bergizi, hingga keterbatasan orang tua mendampingi anaknya membuat tingkat stres semakin meningkat. Selain itu, kebiasaan anak bersosialisasi dengan teman dan lingkungan berubah drastis di masa pandemi ini. Mereka tak lagi leluasa main, bersenda gurau, atau sebatas mengobrol sebagai obat penat. Istilahnya tidak ada sarana yang dapat menyalurkan emosi atau tekanan psikologis. Padahal setiap hari mereka dihadapkan pada tugas sekolah dengan waktu pengerjaan yang singkat. Tekanan yang tak kalah besar juga berasal dari sistem sekolah atau sistem pendidikan. Di mana para guru dikejar target untuk menyelesaikan pelajaran sesuai kurikulum. Mestinya, pembelajaran bisa lebih diseragamkan sehingga tidak memberatkan guru dalam menyiapkan konten masing-masing. Inilah bukti gagapnya sistem pendidikan kita. Peraturan sekedar peraturan, namun minim dalam penyelenggaraannya.

Adapun sebab internal berasal dari dalam diri siswa. Kekuatan pemikiran yang dimiliki seorang siswa bisa menjadi penyebab masalah juga. Seorang siswa bisa stres bahkan depresi dan akhirnya bunuh diri bisa jadi karena lemahnya iman. Kurang yakinnya pada prinsip qadha dan qadar membuat mereka memilih jalan yang salah. Kematian memang menjadi ketentuan Allah. Tapi cara mendapatkan kematian adalah pilihan. Pilihan inilah yang akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt. Apakah cara kematiannya diridai oleh Allah atau bahkan sebaliknya.

Di saat yang sama orang tua justru merasa pusing ketika berusaha untuk menggantikan posisi guru dalam PJJ ini. Orang tua bukanlah guru yang harus bisa mengajarkan segala jenis mata pelajaran. Orang tua pun terkadang mengalami kesulitan dalam mendampingi anak belajar, utamanya terkait pengumpulan tugas-tugas dan penggunaan gawai yang harus bergiliran. Orang tua dengan segala pekerjaan pribadinya yang tak ada habisnya terpaksa mencurahkan tenaga pula untuk “mengerjakan” tugas anak. Walhasil, banyak orang tua curhat di media sosial, meminta agar sekolah dibuka sehingga anak-anak bisa belajar kembali bersama gurunya. Ini bukan sekedar keluhan, melainkan bentuk protes atas kegagapan negara dalam mengakomodasi kebutuhan belajar anak di era pandemi. Sebab, seharusnya negara punya mekanisme yang baku, murah dan memudahkan semua pihak. Bila hal ini tidak segera diatasi, bukan tidak mungkin akan banyak kasus-kasus menyimpang anak dan kekerasan yang terus berulang.

Perlu Solusi Jitu

Kesulitan pelaksanaan PJJ disebabkan kultur belajar-mengajar yang jauh dari kultur menuntut ilmu dalam peradaban Islam. Konteks sekolah saat ini lebih didominasi oleh tujuan sekuler kapitalistik yang berbasis materi. Jalan hidup pelajar dirancang seperti: sekolah yang pintar, dapat nilai ijazah yang bagus, lantas cari pekerjaan yang gajinya besar. Berbagai kurikulum pembelajaran diberikan demi mengejar gelar. Akibatnya kebutuhan belajar sebagai sarana untuk menyerap ilmu, tergantikan oleh nilai-nilai materi. Atas dasar inilah, dunia pendidikan mencetak calon pekerja professional. Bukan mencetak calon-calon ilmuwan yang menguasai berbagai bidang. Kondisi pandemi, membuat sistem pendidikan tak mau rugi. Baginya, meliburkan anak-anak dari tahun ajaran baru, berarti kerugian untuk segera mencetak lulusan pekerja.

Di sisi lain, nafas kapitalistik itupun menjangkiti para pelajar. Terpatri dalam diri mereka, bahwa semangat belajarnya sekedar untuk mendapatkan nilai. Mereka hanya fokus mengerjakan tugas, bukan mengejar ilmunya itu sendiri. Sehingga, suasana haus ilmu dan haus belajar sendiri lemah.

Sistem pendidikan islam menjadikan keimanan sebagai landasannya. Para siswa akan dikuatkan keimanannya. Dengan keimanan inilah, mereka dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Mengenai biaya pendidikan, baik di masa pandemi atau tidak, akan ditanggung negara, yang pembiayaannya berasal dari pendapatan negara, baik kekayaan negara atau kekayaan umum. Kekayaan negara dapat diperoleh dari fa’i, kharaj, jizyah. Sedangkan kekayaan umum diperoleh dari pemanfaatan SDA. Jika belum mencukupi dapat diperoleh dari kekayaan individu (para dermawan) yang menginfakkan harta mereka untuk pendidikan. Jika belum mencukupi juga bisa dengan cara menarik dharabah (pajak) pada muslim laki-laki dan mampu. Dengan solusi ini, tentunya siswa tidak akan memikirkan kesulitan fasilitas pendidikan. Mereka tak mudah stres karena keimanan yang dimiliki. Semua itu bisa terwujud jika kita kembali kepada sistem Islam yaitu aturan Allah Swt. Dzat Yang Maha Sempurna. Wallahu a’lam.

Penulis: Zuharmi Hamaku, S.Si (Pengajar dan Pemerhati Pendidikan Anak)
Editor: H5P