Opini

Stunting Semakin Genting, Islam Punya Solusi ?

Vikhabie Yolanda Muslim, S.Tr.Keb (Praktisi Kesehatan)

TEGAS.CO., NUSANTARA – Indonesia, negeri dengan semboyan gemah ripah loh jinawi, yang menggambarkan betapa kaya dan suburnya alam negeri ini, tampaknya berbanding terbalik dengan fakta yang ada. Salah satunya dapat terlihat dari permasalahan dan tantangan stunting yang kian hari tampak genting serta belum menemukan jalan keluar yang benar-benar efektif. Kondisi ini terlihat dari naik statusnya Indonesia menjadi rangking 4 dunia dan rangking ke 2 di Asia Tenggara dalam kasus balita stunting. Sungguh peringkat yang sama sekali bukan untuk dibanggakan. Dalam hal ini, anggota Komisi IX DPR RI, Netty Prasetiyani mengatakan bahwa angka prevalensi stunting di Indonesia masih jauh dari target yang ditetapkan WHO. Ia pun menambahkan, bagaimana bisa SDM unggul dicetak jika stunting masih menghantui para generasi bangsa (pikiranrakyat.com).

Menurut Data dari Riskesdas Kemenkes (Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan) Tahun 2019, tercatat sebanyak 6,3 juta balita dari populasi 23 juta atau 27,7% balita di Indonesia yang menderita stunting. Jumlah ini terhitung masih jauh dari nilai standar WHO yang seharusnya di bawah 20%. Dari data diatas, tentu sebutan negeri dengan kekayaan melimpah berbanding terbalik dengan fakta masih banyaknya anak bangsa yang menderita kekurangan gizi. Pertanyaan demi pertanyaan tentu berkelebat dalam benak dan pikiran kita. Mengapa permasalahan stunting di negeri ini pun tampaknya menjadi problem yang sulit untuk diatasi ? Bukankah seharusnya dengan kekayaan alam yang melimpah ruah, pemenuhan gizi menjadi hal yang mudah untuk dibenahi ? Lantas mengapa program-program yang dicanangkan dan dijalankan pemerintah belum mampu menurunkan angka stunting secara signifikan ?

Lantas jika melihat hal ini, ada beberapa poin penting yang dapat diurai dan dikupas terkait kondisi stunting yang menimpa generasi negeri.

Pertama, stunting merupakan permasalahan yang kompleks. Sedangkan solusi yang ditawarkan selama ini cenderung sebagai solusi parsial dan belum mampu mengatasi akar permasalahan. Program yang telah dikeluarkan pemerintah seperti 1000 HPK (Hari Pertama Kehidupan), pelihara satu ayam tiap keluarga, hingga pembentukan UU Pembangunan Keluarga nyatanya belum mempan mengatasi kekurangan gizi kronis di bawah bayang-bayang sistem bernama sistem kapitalis yang saat ini digunakan dunia. Kondisi ini terjadi tidak lain karena paradigma kapitalis menjadi landasan berpikir para penguasa negeri. Adapun sistem kapitalis menjadikan materi satu-satunya yang menjadi perhatian. Maka wajar, kebijakan yang dikeluarkan belum sepenuhnya memprioritaskan kesejahteraan rakyat.

Lalu yang kedua, sistem kapitalis faktanya makin memperparah permasalahan stunting di dunia pada umumnya, dan Indonesia pada khususnya. Melambung tingginya harga bahan pokok dan kebutuhan hidup membuat para wanita khususnya ibu-ibu turut banting tulang demi membantu suami memenuhi kebutuhan rumah tangga. Para ibu yang harusnya fokus menjaga asupan gizi diri dan calon bayinya justru dipusingkan dengan bekerja di luar rumah. Para ibu yang harusnya fokus mengasuh bayi dan balita, banyak yang menelantarkan tanggung jawab pengasuhan dan bertambah payah pula dengan adanya peran tambahan untuk keluar dari himpitan ekonomi. Hal ini menyebabkan hak anak semakin terbengkalai, dan pemenuhan asupan gizi pun jadi tak beraturan dan luput dari perhatian sang ibu. Akhirnya banyak anak negeri yang mengalami defisiensi gizi hingga mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangannya. Padahal usia bayi hingga balita ialah periode emas yang harus mendapat perhatian ekstra dan asupan gizi yang baik.

Ketiga, problem stunting ini tidak bisa diserahkan begitu saja pada masing-masing keluarga atau individu. Dalam hal ini, negara tentu memiliki peran besar dalam membersamai rakyatnya yang terjerat berbagai kesusahan. Namun, yang tampak saat ini justru pemerintah seolah berlepas tangan dan membiarkan rakyat berjuang sendiri, terlebih kini saat pandemi. Bantuan sosial yang disalurkan pemerintah banyak yang tidak tepat sasaran dan hanya dinikmati sebagian golongan. Disaat yang sama, rakyat diminta pula untuk menjaga gizi ditengah berbagai kesulitan ekonomi yang menghimpit. Hal ini juga menunjukkan bahwa kapitalisme menempatkan pemerintah hanya sebagai fasilatator terhadap permasalahan yang ada di tengah masyarakat.

Yang keempat, dibutuhkan solusi yang komprehensif dan sistemik, serta mencabut akar permasalahan. Dalam hal ini akar permasalahan yang harus dicabut yakni ada pada sistem kapitalis itu sendiri. Berbagai solusi yang ditawarkan pemerintah terlihat belum menampakkan hasil, disebabkan solusi tersebut digencarkan dibawah sistem kapitalis yang justru menjadi akar segala permasalahan. Pada hakikatnya, pengentasan masalah gizi bukanlah semata-mata hanya ditujukan untuk memiliki SDM sehat yang dapat berperan aktif dalam perekonomian negara sebagaimana tujuan akhir dari negara dengan sistem kapitalis, yang hanya menjadikan materi segala solusi tiap permasalahan. Tetapi lebih dari itu, pengentasan stunting ditujukan dalam memenuhi kebutuhan asasi rakyat atas dasar memenuhi perintah Sang Pencipta, yakni sebagai hamba Allah yang menjadi penerus kehidupan di muka bumi.

Bertolak dari sistem kapitalis, Islam tentu punya langkah solusi yang komprehensif atas setiap problematika kehidupan. Dalam kaca mata Islam, permasalahan stunting merupakan kewajiban negara yang wajib untuk dituntaskan, karena merupakan bagian dari tanggung jawab negara kepada rakyatnya. Hal ini telah disabdakan oleh Rasulullah saw, ” Kamu semuanya adalah penanggungjawab atas gembalanya. Maka, pemimpin adalah penggembala dan dialah yang harus selalu bertanggungjawab terhadap gembalanya” (HR. Al-Bukhari, Muslim).

Stunting berkaitan erat dengan masalah kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, untuk mengatasinya negara pun wajib menjamin kesejahteraan rakyatnya. Salah satu metodenya yakni negara menerapkan sistem ekonomi Islam yang berbasis dengan sistem islam secara kaffah atau keseluruhan. Di dalam sistem ekonomi islam, negara ialah pihak yang wajib memperhatikan kesejahteraan setiap individu rakyatnya agar terpenuhi kebutuhan pokoknya tanpa terkecuali. Meliputi kebutuhan pangan, sandang, hingga papan, juga meliputi kebutuhan tambahan berupa kebutuhan sekunder dan tersier. Dengan menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok dan tambahan seluruh rakyat tanpa terkecuali, angka stunting tentu dapat diminmalisir bahkan hingga 0%.

Di dalam Islam, fungsi negara ialah murni sebagai ra’in (pengurus) warga negaranya baik muslim ataupun non muslim. Pemimpin di bawah sistem islam ialah orang yang benar-benar bertanggung jawab atas rakyatnya. Bukan sebagai fasilitator semata seperti dalam sistem kapitalis yang digunakan saat ini. Hak mendapatkan pemenuhan pangan dan gizi merupakan hak setiap rakyat, termasuk di dalamnya hak anak-anak yang akan menjadi generasi penerus peradaban. Tentu saja hal ini akan mampu tercapai dalam negara yang menerapkan sistem Islam secara kaffah dibawah naungan khilafah. Yang mampu atasi masalah tanpa masalah, bukan sekedar mimpi dan wacana belaka.

Penulis: Vikhabie Yolanda Muslim, S.Tr.Keb (Praktisi Kesehatan)
Editor: H5P

error: Jangan copy kerjamu bos