Trah Keluarga Naik Tahta Dipanggung Pilkada

IMG 20201224 WA0009
Mia Annisa (Founder Kajian Muslimah MQ Lovers Bekasi)

TEGAS.CO., NUSANTARA – Ajang pemilihan kepala daerah pada Rabu, 9 Desember 2020 kemarin semakin mempertegas pemimpin-pemimpin baru di daerah terpilih baik sebagai wali kota, bupati, gubernur atau ketua DPRD dimenangkan oleh mereka yang berasal dari trah keluarga yang sudah lebih dahulu menduduki jabatan strategis di pemerintahan.

Sekalipun banyak yang mengelak, trah keluarga begitu mendominasi dipanggung Pilkada tahun ini. Ini dibuktikan oleh hasil riset Nagara Institute menunjukkan ada 124 calon kepala daerah pada Pilkada 2020 memiliki trah yang sama dari para petahana. Temuan itu didapatkan setelah KPU menetapkan pasangan calon kepala daerah Pilkada 2020.

Rinciannya, 50 calon bupati, 30 calon wakil bupati, 20 calon wali kota, dan 8 calon wakil wali kota. Kemudian, 5 calon gubernur dan 4 calon wakil gubernur. (https://amp.kompas.com/nasional/read/2020/10/15/17280341/)

Nampaknya para petahana mencoba membangun dinasti baru ditengah kerajaannya saat ini dengan mengangkat anak bahkan istrinya sebagai putra mahkhota dan ratu demi melanggengkan kekuasaannya. Tentu untuk memuluskan proyek tetap berjalan partai politiklah satu-satunya sebagai alat kendaraan agar sampai menuju singgasana. Seperti dengan menunjuknya sebagai ketua partai, dewan penasihat dan masuk sebagai anggota partai.

Mereka yang saling berafiliasi nyatanya sukses besar dalam pemilihan. Melihat data hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei, pasangan Gibran Rakabuming Raka-Teguh Prakosa menang telak dengan mengantongi 80% suara di Pilwakot Solo dari lawannya FX Suparjo. Di Pilwakot Medan, pasangan Bobby Nasution-Aulia Rachman juga unggul lebih dari 53% suara. Sekalipun Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto menampik kemenangan Gibran dan Bobby secara telak dari pesaingnya hasil hati nurani rakyat, bahwa rakyat melihat dengan jerning ketimbang termakan isu kampanye negatif dinasti politik.

Terpilihnya Gibran dan Bobby tentu rekor baru bagi Jokowi selama menjabat sebagai presiden. Bahwa ia berhasil mengangkat anak dan menantunya sebagai putra mahkota.

Borok dinasti politik di era Jokowi memang kentara sekali. Tak hanya dilevel yang paling tinggi seperti tingkat presiden, bobroknya demokrasi dengan slogan dari, oleh dan untuk rakyat nyatanya terjadi hingga spektrum yang berada dibawanya telah berhasil mengebiri peran publik sebaliknya kepentingan kelompok akan senantiasa diakomodir benar adanya.

Sebut saja kontestasi di Tangerang Selatan, tiga keluarga terkemuka saling berhadapan dengan satu paslon yang dipimpin oleh putri Wakil Presiden Indonesia, Ma’ruf Amin, satu lagi termasuk keponakan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan yang ketiga termasuk keturunan dari klan lokal yang kuat.

Di Kediri, Jawa Timur, putra Pramono Anung, sekretaris kabinet Jokowi, mencalonkan diri tanpa lawan, salah satu dari 25 balapan di mana elit lokal telah bekerja sama untuk memastikan tidak ada kandidat yang bersaing. (https:/Ismatamatapolitik.com/)

Proyek politik keluarga memang berlangsung turun temurun dan bukan hal baru lagi. Praktik-pratik kotor semacam ini sudah terjadi sudah sejak tahun 2005. Ini dinyatakan oleh Politikus Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Saan Mustopa.

Kemudian, kata Saan, undang-undang (UU) Pilkada juga ada kaitannya dengan Dinasti Politik. Ia menuturkan, banyak pengalaman dari 2005 sampai sekarang, proses untuk mendapatkan dukungan, maju sebagai calon Kepala Daerah dengan 20 persen persyaratan untuk Gubernur, Bupati, Wali Kota.
(https://m.akurat.co/id)

Apa yang tidak mungkin dalam demokrasi selama orang-orang yang maju dalam kontestasi memiliki akses utama dari trah kekuasaan, punya orang dalam atau hubungan kekerabatan bisa menang. Maka kapasitas dan kualitas tidak lagi diperhitungkan. Lawan yang memiliki kredibilitas gampang saja untuk digulingkan.

Politik dinasti hari ini serangkaian jurus sakti untuk mengarahkan regenerasi kekuasaan bagi kepentingan golongan tertentu (contohnya keluarga elite) tujuannya tetap mengamankan dan mempertahankan kekuasaan disuatu negara.

Kekuasaan merupakan tanggung jawab untuk mengurusi umat adalah sesuatu hal yang utopia dan mahal dalam sistem demokrasi. Lumrah, jika banyak ditemukan para pemimpin menjabat bukan semakin memupuk ketaqwaan melainkan kekayaan. Terpampang jelas masih banyak masyarakat tidak sejahtera, hidup terlunta-lunta tapi keluarga petahana semakin kaya, kroni dan kerabat makin makmur, masyarakat makin miskin.

Dinamika politik dinasti tentu memperburuk citra demokrasi. Sistem yang digadang-gadang sebagai “win-win solution” tak mampu berbicara banyak ditengah konflik konstalasi politik di Indonesia. Selama basisnya tidak dicabut hingga keakar-akarnya politik akan selalu salah kaprah. Politik harus didudukan pada hukum Syara’ yaitu kedaulatan ada ditangan syariah, bukan pada pandangan sekulerisme, memisahkan agama dari kehidupan sehingga keikutsertaan manusia membuat hukum terbuka lebar.

Sebagaimana yang telah digambarkan oleh Imam Al-Ghazali terkait agama dan politik tidak bisa dipisahkan sebab keduanya saling berintegrasi.

“Agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan runtuh, dan segala sesuatu yang tidak berpenjaga niscaya akan hilang dan lenyap.”

Pandangan ini yang seharusnya diadopsi agar kekuasaan yang dikatakan sebagai pengelolaan masalah internal dan eksternal umat, memberikan perhatian kepadanya, dan bekerja demi seluruhnya. Ia berkaitan dengan aqidah dan akhlak serta bertujuan untuk melakukan perubahan tetap pada relnya.

Sebagaimana Rasulullah saw. bersabda:

فَاْلإمَامُ رَاعٍ وَ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Seorang imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Semua hanya terselenggara jika kita menyingkirkan demokrasi sekuler dari kehidupan dan menjadikan Islam dalam pelukan. Wallahu’alam

Penulis: Mia Annisa (Founder Kajian Muslimah MQ Lovers Bekasi)
Editor: H5P