TEGAS.CO., NUSANTARA – Pemilu atau pemilihan umum merupakan ajang pencapaian tertinggi dalam sistem demokrasi. Kontestasi pemilu bahkan menjadi indikator berhasil atau tidaknya sebuah negara dalam menerapkan demokrasi. Partisipasi publik dalam pagelaran ini menjadi indeks penilaiannya.
Dalam pengertiannya, demokrasi merupakan sistem politik terbuka. Seorang pemimpin dipilih langsung oleh rakyat, dimana pemimpin akan menjalani kontrak politik dengan rakyat. Segala kebijakan di landaskan pada kepentingan rakyat atau bisa di bilang kekuasaan berada ditangan rakyat. Tidak ada kekuasaan absolut atau teokrasi. Hingga kini sistem politik demokrasi masih dicap sebagai sistem terbaik. Lalu benarkah, demokrasi seindah pengertiannya atau hanya sebuah fatamorgana?
Maka marilah kita tengok fakta demokrasi sekarang. Pemilu misalnya, ajang 5 tahunan ini kian lama kian mendapat respon negatif dari masyarakat. Hal itu dilihat dari semakin tingginya angka golput. Terbaru di kota Balikpapan angka golput dalam pagelaran pilkada mencapai 41 persen. Lalu jika demokrasi menjadi sistem politik terbaik saat ini mengapa masyarakat enggan menyalurkan hak suaranya?
Tentu saja ini ada pada ketidak sesuaian wacana demokrasi dengan aplikasi atau penerapannya di lapangan. Dalam pemilu, pemimpin memang di pilih oleh rakyat secara langsung, namun siapa calonnya, tidak semua orang bisa maju. Mengapa? Karena kontestasi pemilu memerlukan biaya besar untuk self promotion atau personal branding bagi si calon. Mengandalkan ketokohan ataupun gelar tidak cukup menarik perhatian masyarakat. Maka modal besar diperlukan. Terjawab sudah siapa-siapa saja yang bisa menjadi calon, orang berduit atau seseorang yang disokong oleh orang berduit (para kapital/penguasa).
Hal ini akhirnya juga menjawab kepada siapa nantinya kebijakan sang pemimpin itu akan berpihak. Masihkah pada kepentingan masyarakat sebagai pemilik kedaulatan atau telah berpindah pada para kapital yang telah menyokong sang pemimpin?
Well, jika melihat kebijakan yang telah dihasilkan selama ini. Adakah kebijakan yang berpihak pada rakyat? Dengan jelas penulis katakan TIDAK. Jika memang asas “Dari rakyat, olwh rakyat, untuk rakyat” masih ada. Sudah barang tentu masyarakat tidak perlu berdemo panas-panasan menolak berbagai kebijakan yang ada karena sang pemilik kedaulatan enggan diatur dengan kebijakan tersebut. Namun kenyataannya, kebijakan tersebut tetap saja ketok palu dan finish bahkan tak jarang di tengah malam disaat masyarakat tertidur lelap. Ibarat mencuri kesempatan alias takut ketahuan.
Maka wajar saja sikap apatis masyarakat akan pagelaran pemilu setiap tahunnya terus terjadi. Bahkan tak jarang golput menjadi pemenang. Ini karena sebagian masyarakat sudah paham bahwa pemilu dan demokrasi tidak akan memberi perubahan apapun. Kontrak politik antara pemimpin dan rakyat berubah menjadi kontrak politik antara pemimpin dan pengusaha. Masyarakat hanya cukup diperlukan untuk mendulang suara selebihnya say goodbye.
Selain itu demokrasi menjadi ladang subur politik kekuasaan atau oligarki kekuasaan. Mereka yang ada di jajaran pemerintahan adalah orang-orang yang menjadi kolega atau dekat dengan sang pemimpin. Buktinya pun tak perlu dicari jauh-jauh. Reshuffle kabinet baru-baru ini memperlihatkan sangat gamblang. Bagaimana kursi pemerintahan diduduki oleh orang-orang yang tak sesuai dengan kompetensinya. Bahkan ini merambat hingga ke struktur bawah. Lalu jika sudah seperti ini masih menilai demokrasi sebagai sistem politik terbaik?
*Islam Adalah Sistem Politik Terbaik*
Islam berisi segala syariat yang mengatur seluruh sendi kehidupan manusia. Tak terkecuali dalam sistem pemerintahan dan politik. Politik Islam bersandar pada kewajiban kepengurusan terhadap hajat hidup umat. Meringankan dan memfasilitasi umat dalam memenuhi kebutuhan dasarnya merupakan tugas utama khalifah atau pemimpin. Selain ada aspek-aspek yang memang menjadi tanggung jawab negara dalam memenuhinya secara langsung, seperti kesehatan, pendidikan dan keamanan.
Selain itu dalam politik Islam, calon pemimpin atau khalifah merupakan representasi dari sosok yang didamba oleh umat karena keshalihan, tanggung jawab, dan memenuhi syarat sebagai seorang pemimpin. Prosesnya pun tidak akan berbelit layaknya sekarang, cukup dengan baiat. Mudah dan murah tanpa perlu menghambur uang rakyat sekian milyar.
Politik Islam andil dalam mencerdaskan umat. Karena umat senantiasa ikut mengawasi jalannya pemerintahan, sehingga pemimpin tidak akan lalai dalam menentukan kebijakan. Oligarki kekuasaan pun tidak akan ada dalam politik Islam karena orang-orang yang duduk di pemerintahan adalah orang yang ditunjuk oleh khalifah sesuai dengan keahliannya. Siapapun yang lalai dengan tanggung jawabnya akan menerima konsekuensi sekalipun itu khalifah.
Jika dalam demokrasi kedaulatan ditangan manusia, maka dalam politik Islam kedaulatan ditangan syara. Karena hukum Allah adalah hukum paling adil bagi manusia karena berdasarkan wahyu Allah. Tidak akan mungkin salah dalam menyelesaikan problematika umat. Berbeda jika hukum diserahkan pada manusia. Penuh tipu daya dan akan selalu condong pada kepentingan dan hawa nafsu seperti yang terjadi sekarang.Wallahu a’lam bishawab
Penulis: Siti Subaidah (Pemerhati Lingkungan dan Generasi)
Editor: H5P
Komentar